INTERMESO

YANG SABLENG, YANG EDAN, DAN 212

"Ayah berangan-angan pengin punya satu karya, pahlawan Indonesia dengan kode angka tertentu."

Foto: LifeLike Pictures

Sabtu, 21 Juli 2018

Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?”Wiro mengangguk.

Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala larangan-Nya. Kau mengerti?

Itulah percakapan terakhir Wiro Saksana dengan gurunya, Eyang Sinto Gendeng. Hari itu, seperti ditulis Bastian Tito dalam bukunya, Empat Berewok dari Goa Sanggreng, Sinto Gendeng melepas Wiro setelah sekian lama berguru kepadanya. Kepada Wiro, Sinto Gendeng juga memberinya bekal senjata, kapak maut Naga Geni 212. “Gurunya gendeng, muridnya sableng,” kata Eyang Sinto Gendeng. Maka lahirlah Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, lebih dari 50 tahun silam.

Bastian Tito, penulis Wiro Sableng berdarah Minang itu, merantau ke Jakarta sejak masih remaja. Hidup di tanah rantau, Bastian, yang lahir pada 23 Agustus 1945, tak ingin membebani keluarganya di kampung. Untuk menopang hidupnya, ia memanfaatkan bakat menulisnya untuk menghasilkan uang. "Sepertinya ayah sudah mulai menulis waktu masih usia sekolah dasar," Vino G Bastian, salah satu putranya, menuturkan kepada detikX di kantor rumah produksi LifeLike Pictures di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Sabtu pekan lalu. "Ia pindah ke Jakarta untuk sekolah sekaligus cari uang."

Ayahnya kala itu, kata Vino, tergila-gila pada novel detektif James Bond 007, yang ditulis Ian Fleming. "Ayah berangan-angan pengin punya satu karya, pahlawan Indonesia dengan kode angka tertentu," kata Vino. Cita-cita Bastian itu akhirnya terwujud pada 1967 ketika novel Wiro Sableng, pendekar muda dengan senjata andalan Kapak Maut Naga Geni 212, masuk percetakan dengan judul Empat Brewok dari Goa Sanggreng. "Sebelum Empat Brewok itu, sebenarnya Wiro Sableng sudah ditulis. Tapi ceritanya tidak dimulai dari masa kecil."

Bastian Tito, penulis Wiro Sableng
Foto: dokumentasi pribadi

Vino masih ingat bagaimana ayahnya begadang semalaman demi menulis kisah Wiro Sableng. Suara balok huruf mesin tik menghantam pita karbon dan kertas mungkin bukan bunyi yang sedap di telinga pada malam hari. Namun, bagi Vino, suara itu ibarat dongeng pengantar tidur yang mengisi malam demi malam masa kecilnya dua dasawarsa silam. "Kalau kami sudah mau tidur malam, suara cetak-cetok mesin tik yang khas pasti mulai berbunyi," ujar Vino.

Ayah itu ngetik pakai sebelas jari.... Tapi sangat cepat."

Jam tidur malam Vino dan kakak-adiknya itu jadi semacam alarm pengingat bagi Bastian Tito untuk menuju ruang kerja. Memasukkan kertas ke gandaran mesin tik lalu menekan tombol demi tombol huruf pada papan tuts dengan kedua jari telunjuknya. "Ayah itu ngetik pakai sebelas jari," kata Vino sambil tertawa. "Tapi sangat cepat." Dari jurus ‘sebelas jari’ Bastian Tito itu muncul karakter-karakter pendekar tangguh seperti Wiro Sableng, Mahesa Edan Pendekar dari Liang Kubur, Mahesa Kelud Pendekar Pedang Sakti Keris Ular Emas, dan Boma Gendenk.

Untuk penerbitan novel-novel Wiro Sableng, pria kelahiran kota Padang itu mempercayakan kepada Usaha Penerbitan (UP) Lokajaya, yang membuka kios toko buku di Kompleks Pasar Inpres Senen. UP Lokajaya pada masa itu masyhur di kalangan para penulis buku. Tercatat novelis seperti Motinggo Busye dan komikus Raden Ahmad Kosasih pernah menerbitkan buku-buku mereka di Lokajaya.

Cetakan pertama novel Wiro Sableng dibuat dengan format mungil seukuran buku cerita silat Asmaraman S Kho Ping Hoo. Besarnya kira-kira seperempat kertas ukuran kuarto dengan kertas kuning yang tipis. Baru setelah dicetak ulang, Wiro Sableng kemudian muncul dengan ukuran yang bertahan sampai judul terakhir, Jabang Bayi dalam Guci. Hingga Bastian meninggal pada 2 Januari 2006, sudah 185 seri Wiro Sableng lahir dari tangannya. Bersama SH Mintardja dan Kho Ping Hoo, Bastian adalah master cerita silat negeri ini.

Setelah berkali-kali ‘main’ di layar televisi, pada Agustus nanti, film superhero Wiro Sableng, yang dibintangi oleh putra Bastian, Vino Bastian, Sherina Munaf, Yayan Ruhiyan, dan Marsha Timothy, akan tayang di bioskop.

Saya sering melihat, kalau dia lagi menulis terus lupa nama jurusnya, kamusnya itu dia buka lagi."

Vino G. Bastian, putra Bastian Tito dan pemeran Wiro Sableng

Sebagian buku Wiro Sableng karya Bastian Tito

Novel Wiro Sableng seperti cerita silat pada umumnya, berkisah tentang pertarungan pendekar yang baik melawan kebatilan. Judul perdana Wiro Sableng, Empat Berewok dari Goa Sanggreng, dibuka dengan kisah tentang seorang orok yang kedua orang tuanya dibunuh, lalu diselamatkan seorang guru silat sakti bernama Sinto Gendeng. Bayi ini diberi nama Wiro Saksana, dilatih ilmu kanuragan di atas Gunung Gede dan setelah berusia 17 tahun baru turun gunung untuk menuntut balas.

Kisah-kisah Wiro Sableng banyak mengambil latar belakang tempat di Pulau Jawa, meski sang penulisnya sendiri lahir dan besar di Sumatera Barat. Rupanya dalam tubuh Bastian masih ada garis keturunan suku Jawa yang berasal dari ayahnya. "Makanya Ayah cukup tahu soal tradisi Jawa walaupun terbatas," kata Vino.

Sadar akan keterbatasan itu, Bastian rajin mencari referensi dari buku-buku untuk modal penulisannya. Beragam bacaan dilahap penggemar grup musik The Doors dan The Beatles itu, mulai sejarah sampai cerita humor, untuk memperkuat imajinasinya. Tak hanya itu, untuk memperkuat detail-detail cerita yang ditulisnya, Bastian bekerja bak seorang peneliti dan wartawan.

Ia tak segan mendatangi daerah yang ingin dimasukkannya dalam sebuah cerita. Biasanya perjalanan untuk meriset itu dibalut dalam liburan panjang keluarga. "Kami sering banget road trip naik mobil. Ayah menyetir sendiri. Anak-anaknya ya senang saja kalau diajak jalan-jalan ke berbagai kota," ujar Vino. "Bagi ayah, jalan-jalan itu sekaligus sebuah cara untuk meriset. Kamera dan buku catatannya pasti tak pernah lepas."

Rasa ingin tahu Bastian yang besar membuatnya tak pernah melepaskan kesempatan untuk berburu ide dan bahan cerita. Prinsipnya, ide bisa datang kapan dan di mana saja. Bahkan ketika ditugaskan perusahaan tempatnya bekerja ke luar negeri sekalipun, cerita Wiro ikut bersamanya. Dari perjalanannya ke China, lahir tiga seri Wiro Sableng, yakni Lima Iblis dari Nanking, Pendekar Pedang Akhirat, dan Pendekar dari Gunung Naga.

Begitu pula saat Bastian bertugas ke Jepang. Perjalanan tugas ke Negeri Sakura ini pun menghasilkan tiga judul kisah Wiro Sableng: Pendekar dari Gunung Fuji, Ninja Merah, dan Sepasang Manusia Bonsai. "Kalau pergi ke sana (China dan Jepang) khusus untuk riset, saya rasa tidak. Waktu itu tiket ke luar negeri mahal sekali. Ayah pasti memperhitungkan biaya, apalagi dia juga punya tanggungan keluarga," kata Vino.

Ketekunan Bastian dalam hal riset tak lantas menumpulkan daya imajinasinya. Ratusan karakter, baik kawan maupun lawan Wiro Sableng, muncul dengan nama-nama unik dari 185 judul novel Wiro Sableng yang sempat tercetak. Belum lagi proses penciptaan puluhan, bahkan ratusan, nama-nama jurus, pukulan sakti, ilmu, dan senjata milik Wiro Sableng serta tokoh-tokoh lainnya.

Sadar akan kesulitan yang bakal menimpanya untuk menghafal dan mengingat sebegitu banyaknya nama yang tercipta, Bastian membuat katalog khusus. Pernak-pernik tiap-tiap karakter ditulis dengan tangan pada selembar kertas lepas, kemudian disatukan dalam sebuah map. "Saya sering melihat kalau dia lagi menulis terus lupa nama jurusnya, kamusnya itu dia buka lagi," kata Vino.

Bastian tak cuma menulis novel Wiro Sableng seperti yang banyak dikenal orang. Saat masih duduk di bangku kuliah, pria yang menurut Vino gemar berpenampilan dendi dan rapi dengan celana model cutbray dipadu dengan sepatu bot mengkilap itu pernah menjadi wartawan di sebuah majalah hiburan bernama Vista. Bastian juga pernah mengisi rubrik khusus di harian Pos Kota. "Setelah lulus kuliah, ayah memilih kerja kantoran, bahkan sempat mengambil gelar master business administration," ujar Vino.

Saat memutuskan kerja kantoran Bastian harus beraktivitas di dua dunia berbeda. Konsekuensinya, ia harus disiplin soal membagi waktu. Begitu juga dengan membagi perhatian kepada empat anaknya. Namun, untuk Bastian, keluarga tetap nomor satu. Tak pernah waktu liburnya di akhir pekan dipakai untuk menulis novel.

"Pada hari kerja, pagi-pagi ayah antar anak-anaknya sekolah. Hari libur selalu untuk kami," kata Vino. "Ayah bertemu novelnya kalau kami sudah tidur saja." Rutinitas itu terus dijalankan Bastian. "Saya masih sempat lihat dalam sebulan ayah bisa menghasilkan lebih dari satu judul, sampai akhirnya satu judul bisa berbulan-bulan karena faktor usia."

Berbicara soal novel Wiro Sableng juga tak bisa dipisahkan dari Lokajaya, yang setia menerbitkan buku Wiro Sableng sampai judul pamungkas, Jabang Bayi dalam Guci. Pemilik Lokajaya, Hartawan, menuturkan Bastian punya kebiasaan menyambangi kediamannya untuk berdiskusi, terutama sesaat sebelum naskah novel Wiro Sableng rampung. "Pulang kantor mampir ke rumah. Biasanya kami ngobrol dua-tiga jam," kata Hartawan kepada detikX.

Beragam topik mereka bahas, mulai penyelesaian sampai rencana gambar sampul depan. Lazimnya, kata Hartawan, sampul dulu yang dipesan ke pelukis sebelum buku masuk percetakan. "Lukisan di sampul depan saya yang arahkan pelukisnya, termasuk gambar sosok Wiro seperti apa raut wajah dan perawakannya," ujarnya. Selain sebagai penerbit, Hartawan merangkap penyunting naskah bagi novel Wiro Sableng. Naskah yang diberikan Bastian dicek kembali sebelum masuk percetakan. Hubungan Bastian dengan dia, menurut Hartawan, tak sekadar penulis dan penerbit, tapi sudah seperti sahabat, bak keluarga. Makanya Bastian terus setia menerbitkan buku-bukunya di Lokajaya.

Lukisan sampul untuk judul ke-186 dengan judul Jenazah Simpanan sebenarnya telah selesai diorder Hartawan pada awal Januari 2006. Bahkan sudah diserahkan kepada percetakan. Tapi tiba-tiba ia menerima kabar Bastian Tito meninggal dunia. "Akhirnya kami batalkan pembuatan sampulnya, karena memang naskahnya belum selesai," katanya. Hartawan pun menolak ketika ada permintaan melanjutkan proses penerbitan novel Wiro Sableng ke-186 tersebut. Baginya novel Wiro Sableng telah selesai saat Bastian Tito tiada.


Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE