Foto : Ibad Durohman/detikX
Selasa, 25 Juli 2017Seiring dengan semakin meningginya matahari, puluhan perempuan tua dan muda mulai mendatangi rumah Suharja, 67 tahun, di Kampung Cegog, Desa Rancapinang, Cimanggu, Pandeglang, Banten. Satu per satu dari mereka masuk pekarangan rumah, yang di situ terdapat kebun kecil seluas 5 x 3 meter persegi.
Lahan yang dipagari bilah bambu itu ditanami beragam tanaman sayuran bayam, sawi, kacang panjang, terung, labu, cabai, tomat, kangkung, mentimun, jagung, dan lainnya. Di antara perempuan itu, ada yang membawa bibit tanaman dan media tanam.
Hari itu mereka akan mengikuti program penyuluhan pertanian di rumah Suharja, yang memang dijadikan sekolah lapangan. Sudah dua bulan lebih mereka mengikuti program Rumah Pangan Lestari (RPL), yang digagas oleh World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia.
“Bagaimana hasilnya, bagus nggak?” tanya Fajri, instruktur pertanian dari WWF Indonesia, kepada peserta sekolah lapangan RPL disaksikan rombongan WWF Indonesia, Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dan tim detikXpedition pada awal Juni 2017.
Seorang warga Cegog sedang menyamai bibit cabai.
Foto : Ibad Durohman/detikX
“Ada yang tumbuh, ada yang mati, tapi kebanyakan tumbuh,” jawab sejumlah ibu-ibu serempak sambil tersenyum.
Fajri bertanya kepada peserta RPL, siapa yang tanamannya tumbuh atau mati. Warga pun antusias mengacungkan jari telunjuknya. Mereka mengaku ada yang tumbuh bagus, tumbuh ‘kutilang’ (kurus-tinggi-langsing), dan ada yang malah mati. Fajri mencoba menganalisis kemungkinan tanaman kurang bagus dan mati akibat teknik pemupukan yang kurang pas dan kurangnya sinar matahari.
Ke-24 warga Kampung Cegog ini sudah dua bulan mengikuti program RPL dari WWF Indonesia. Mereka diajari bagaimana memanfaatkan halaman pekarangan untuk ditanami aneka macam sayuran. Dalam program RPL, warga diajari bagaimana melakukan penyemaian bibit tanaman, proses penanaman, pengolahan pupuk organik, pemeliharaan, hingga pemanenan.
“Saya senang banget ikut acara ini, Pak. Ada yang ngebimbing, hiburanlah gitu, kumpul sama teman atau saudara,” kata Ai Kurnia, 25 tahun, penuh sukacita mengikuti sekolah lapangan RPL bersama kaum perempuan di Kampung Cegog.
Baca Juga : Jejak Langkah Ekspedisi Banten Selatan
image for mobile / touch device
Lokasi penyemaian aneka bibit tanaman oleh para peserta program Rumah Pangan Lestari di Kampung Cegog.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Ai bersama 24 perempuan lainnya mengaku senang bisa menanam sayuran. Alasannya, RPL yang mereka ikuti akan menambah penghasilan dan bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Karena selama ini kehidupan hampir seluruh warga Kampung Cegog mengandalkan pertanian dan berladang dengan menggarap lahan di kawasan TNUK.
Selain padi, warga banyak menanam kelapa, cengkeh, petai, dan jengkol. Hanya, hasil panen yang diambil per tiga bulan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kebanyakan warga menggunakan sistem ngebon atau berutang ke warung.
Hasil pertanian atau ladang paling bagus hanya bisa dijual Rp 100-500 ribu per tiga bulan. Guna menutupi kebutuhan hidup itu, kebanyakan kaum pria di Kampung Cegog menyambi menjadi nelayan, tukang potong rumput, kuli bangunan, atau ikut proyek lain ke daerah lain.
“Makanya program WWF ini, insyaallah, kan jadi lestari tanahnya, dibantu pembimbing. Saya yakin ke depannya kita ingin maju lagi,” ucap Ai penuh harapan.
Ai beserta warga lainnya bercita-cita, ketika sayuran yang mereka tanam semakin besar, hasilnya bisa dijual ke Pasar Cibaliung, bahkan ke Pasar Pandeglang. “Saya mau jadi penjual sayur. Jadi panennya dijual ke kampung ini, kampung seberang kayak Aerjeruk, Rancecet, terus sampai Pandeglang, ke pasar gitu-lah,” Ai menambahkan.
Seorang warga Kampung Cegog sedang membuat kerajinan anyaman bambu sebagai salah satu mata pencaharian mereka.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Raci, 39 tahun, perempuan Kampung Cegog lainnya, mengutarakan hal serupa. Ia sebelumnya membeli sayuran kepada penjual keliling. Tapi, dengan hasil menanam sendiri di pekarangan rumah, ladang, atau sawah, ia berharap tidak lagi membeli sayuran. Apalagi nantinya lahan yang dia miliki dilengkapi berbagai jenis tanaman sayuran lainnya.
“Nanti mah bisa sedikit-sedikit dari hasil tanam sendiri, jadi nggak beli lagi. Sebenarnya lebih enak menanam sendiri, nggak ngeluarin duit,” kata Raci sambil tertawa.
Ai dan Raci menceritakan awal mereka mengikuti program RPL ini karena diajak Suharja, yang lahannya dijadikan pilot project oleh WWF Indonesia, khususnya WWF Ujung Kulon Project. Saat itu, hanya lima warga yang mengikuti program tersebut. Tapi lama-lama banyak warga lain yang tertarik. Setelah dua bulan ini, peserta bertambah menjadi 24 orang.
Kegiatan warga Kampung Cegog merupakan salah satu penguatan livelihood (penghidupan pertanian) masyarakat yang berhadapan langsung dengan kawasan TNUK. Masyarakat diajak untuk mengelola potensi sumber daya secara berkelanjutan untuk kepentingan hidup mereka sendiri.
Masyarakat yang berhadapan langsung dengan kawasan Taman Nasional saat ini dianggap sebagai elemen terpenting untuk ikut melestarikan alam, tidak jadi perambah, tapi juga dibekali bagaimana agar kualitas hidup masyarakat ikut meningkat. Karena itulah warga Kampung Cegog antusias mengikuti kegiatan sekolah lapangan pertanian organik dan agroforestry.
Warga Kampung Cegog menjemur cengkeh hasil panen di kebunnya.
Foto : Ibad Durohman/detikX
“Prinsipnya sustainable livelihoods (penghidupan yang layak). Di sekolah lapangan itu, mereka belajar bersama tentang pertanian ekologis,” jelas Social and Economy Coordinator WWF Indonesia Dwi Munthaha.
Coordinator Community Organizer WWF Indonesia Akhmad Fauzy menambahkan, program RPL berbasis sekolah lapangan ini diikuti oleh 19 desa yang mengelilingi kawasan TNUK. Desa terdekat dengan kawasan TNUK antara lain Desa Rancapinang di Kecamatan Cimanggu dan Desa Ujung Jaya serta Desa Taman Jaya di Kecamatan Sumur. Program ini sendiri baru dimulai awal 2016. “Di Kampung Cegog dan Aerjeruk ini kita masuk lagi sekitar Desember 2016,” kata Akhmad.
Berbeda dengan di Kampung Cegog dan Aerjeruk, yang lebih memanfaatkan tanaman sayuran, wilayah Desa Tamanjaya menggunakan sekolah lapangan tapi lebih pada pemanfaatan madu hutan. Begitu juga di Kampung Paniis, Desa Tamanjaya, programnya pada penanaman terumbu karang. “Jadi setiap desa atau kampung nanti beda-beda program pemanfaatannya,” ujar Fauzy.
Menurut Fauzy, paling tidak ada program yang bisa mengedukasi agar masyarakat tidak menggunakan produk yang membahayakan lingkungan. Pertama, meningkatkan pengetahuan dalam budi daya tanaman sayuran. Kedua, ramah lingkungan karena dekat dengan kawasan TNUK. Ketiga, meningkatkan ekonomi masyarakat. Program ini didukung Balai TNUK dan pemerintah desa setempat.
Rumah penduduk Kampung Cegog yang berbatasan dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Mayoritas rumah di kampung tersebut masih berbentuk kayu.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Untuk diketahui, dari informasi yang diterima tim detikXpedition saat berkunjung ke Kampung Cegog pada 29 Mei hingga 2 Juni lalu, hampir di semua desa penyangga di kawasan TNUK mengalami gagal panen. Hampir 70 persen kegagalan akibat wabah hama wereng cokelat.
Sayang, masih banyak warga desa yang masih menggunakan pembasmi hama kimia. Bahkan, ketika tim pencari jejak badak Jawa menjelajahi hutan kawasan TNUK di bagian selatan, kami mendapati petani menggunakan pupuk atau pembasmi hama yang menggunakan serbuk detergen yang dicampur bahan kimia lain, seperti merkuri.
“Justru yang tanpa pestisida kimia yang masih bisa panen sekitar 50-70 persen. Nah, dengan sekolah lapangan, pertanian organik ini punya dampak untuk meminimalkan gagal panen juga,” tutur Kang Imun, sapaan akrab Dwi Munthaha.
Reporter: Ibad Durohman, Deden Gunawan
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.