Ilustrator: Edi Wahyono
Sabtu, 17 Juni 2017Tak ada yang tersisa dari kejayaan Copacobana Casino. Gedungnya yang terletak persis di sebelah kiri Hotel Mercure, di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, tampak tak terawat walaupun pernah dipakai sebagai tempat fitness dan spa. Padahal puluhan tahun lalu, ini lah salah satu kasino di Jakarta yang selalu dijejali orang-orang berduit.
Laporan Majalah Tempo 21 Februari 1981 menyebutkan pada masa jayanya lantai dua gedung itu disediakan khusus untuk mengadu untung lewat permainan keno. Kursi yang ditempeli asbak berderet memenuhi ruangan besar, menghadap sebuah layar yang memancarkan nomor keno yang keluar pada suatu permainan.
Bagi pengunjung berkantong lebih tebal disediakan ruang VIP atau Royal Room yang terletak di sebelah kiri eskalator. Tak sembarang orang boleh masuk. Sekurang-kurangnya tiga penjaga akan meneliti tiap pengunjung. Hanya mereka yang sudah dikenal sebagai penjudi bertaruhan besar yang diperkenankan melewati penjaga.
Bangunan hotel di sebelahnya sebelum dijual bernama Hotel Horison. Tamu hotel itu sebagian besar para pengunjung kasino. "Kawasan itu dulu sangat tertutup, dijaga KKO Angkatan Laut," ujar sejarawan Rushdy Hoesein saat dihubungi DetikX.
Edmund Sutisna yang terlibat dalam proyek pembangunan Copacobana menyebut kasino tersebut selesai dibangun sekitar tahun 1975. Ia mengaku tak ingat lagi daya tampung kasiono tersebut. Yang pasti, kata Sutisna, mantan Direktur di Pembangunan Jaya, salah satu pemiliknya juga memiliki kasino di Djakarta Theater. Djakarta Theater saat itu dimiliki oleh Jan Darmadi, kini pengusaha properti dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam bukunya, Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia,menulis Atang Latief atau yang dikenal dengan sebutan Apiang Jinggo juga memiliki saham di kasino tersebut dan Hotel Horison. "(Pembangunannya) mestinya atas izin DKI atau Bang Ali," kata Sutisna pada detikX, pekan lalu.
"Ini sudah perintah Pak Harto. Judi harus dihapus, bukan dialihkan ke tempat lain"
Tjokropranolo, Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982Di sini, puluhan tahun lalu, pernah menjadi lokasi Kasino Copacabana
Foto : Pasti Liberti/Detikcom
Tak jauh dari Gerbang Barat Ancol juga berdiri Hailai. Menurut Sutisna, pada tahun 1971 kasino Hailai sudah beroperasi. "Proyek kerjasama Ancol dengan pengusaha Hongkong, Stanley Ho," ujarnya. Stanley merupakan Raja Judi di Makau dan salah satu orang paling tajir di Hong Kong. Soekardjo Hardjosoewirjo dalam bukunya, Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol, menulis saat itu Hailai menyediakan permainan olahraga lempar bola tercepat di dunia yang dipakai untuk taruhan. Selain itu di dalam gedung juga terdapat restoran dan night club yang terbaik dan termewah pada masa itu.
Hailai, ujar Soekardjo, bermula dari pertemuan Direksi Ancol dengan Antonio Rivero seorang pengusaha judi asal Filipina. Pertemuan tersebut ditindaklanjuti Gubernur Ali Sadikin dengan mengutus Soekardjo ke Filipina untuk menyelesaikan kesepakatan dengan Stanley dan Rivero. Rushdy menyebut zaman itu Hailai juga terkenal dengan prostitusi terselubung kelas atas. Tarifnya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. "Perempuannya ada yang didatangkan dari luar negeri terutama dari Thailand," ujar Rushdy.
Walaupun banyak sekali yang yang mengkritik, Gubernur Ali Sadikin jalan terus dengan keputusannya melegalkan dan melokalisasi perjudian di Jakarta. Selain Hailai dan Copacabana, juga ada kasino di Djakarta Theatre, Proyek Senen dan Petak Sembilan di daerah Glodok.
Bang Ali berkeras bahwa sikapnya itu memiliki landasan hukum. Undang-undang Nomor 11 tahun 1959 tentang Peraturan Pajak Daerah kata Bang Ali memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian. "Hanya saja gubernur-gubernur lain tidak berani melakukannya," ujar Bang Ali seperti yang dikutip dari Biografi Bang Ali Demi Jakarta 1966-1967. "Saya berani, untuk keperluan rakyat Jakarta."
Foto : getty images
Baca Juga : Mimpi Disney Bung Karno di Pantai Ancol
Menurut Bang Ali, DKI Jakarta saat itu benar-benar memerlukan dana untuk membangun jalan dan fasilitas umum. Tentu saja tak semua orang setuju. Tapi Bang Ali tetap kukuh pada pendiriannya. "Bapak-bapak kalau masih mau tinggal di Jakarta sebaiknya beli helikopter saja. Karena jalan-jalan di DKI Jakarta dibangun dengan pajak judi." Judi pun menurut Bang Ali hanya ditujukan pada golongan tertentu saja atau warga negara asing. "Kalau ada orang Islam yang berjudi itu bukan salah gubernur, tetapi keislaman orang itu yang bobrok. Dan sebagai umat Islam saya sendiri tidak pernah berjudi."
Berkat pajak judi saat itu, isi brankas pemerintah DKI Jakarta yang semula kering kerontang mulai terisi. Dengan pajak dari judi itu pula, Ali Sadikin mengongkosi pelbagai proyek di Jakarta seperti Taman Ismail Marzuki dan proyek perbaikan kampung-kampung. Ketika jabatan Ali Sadikin di Balai Kota berakhir pada 1977, para pengusaha judi kehilangan “pelindung” utamanya.
Pada April 1981, Kasino Copacabana di Ancol ditutup untuk selamanya oleh Gubernur Tjokropranolo. Gubernur berdalih bahwa penutupan itu merupakan perintah bos di Istana Negara. "Ini sudah perintah Pak Harto. Judi harus dihapus, bukan dialihkan ke tempat lain," kata Gubernur Tjokropranolo dikutip majalah Forum Keadilan, edisi Agustus 1995.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.