INTERMESO

JELANG ULANG TAHUN JAKARTA

Mimpi Disney Bung Karno di Pantai Ancol

“Marno, sebagai pemimpin, kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu 50 tahun yang akan datang. Kamu harus mampu membayangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatmu, rakyat Jakarta."

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 17 Juni 2017

Upacara serah-terima jabatan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dari Soemarno Sosroatmodjo ke Henk Ngantung di ruang sidang Balai Kota Jakarta pada September 1964 berakhir tak lazim. Serombongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong DKI Jakarta mendekati Soemarno, yang sebelumnya baru ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri.

Mereka lantas memberikan segumpal tanah kepada dokter yang juga jenderal bintang dua itu. "Supaya Bapak dalam jabatan yang baru selalu ingat akan Kota Jakarta," ujar salah seorang dari mereka seperti yang diberitakan harian Warta Bhakti pada 7 September 1964. Kenang-kenangan itu bukan tanah biasa. Tapi tanah dari proyek Ancol sebagai tempat wisata yang sedang dalam proses pengerjaan. Soemarno memang punya andil dalam memulai proyek taman rekreasi seluas 552 hektare itu.

Jauh sebelum pemerintah daerah Jakarta menggarap Ancol, menurut Direktur Rekreasi PT Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir Syahali, pantai di Teluk Jakarta itu sudah dilirik Gubernur Jenderal Hindia Belanda Adriaan Valckenier pada awal abad ke-17 untuk dijadikan tujuan wisata. Namun akhirnya Ancol dilupakan karena wabah malaria melanda kawasan tersebut. "Inisiatif akhirnya datang dari Presiden Sukarno pada awal 1960-an," ujar Sahir kepada detikX, pekan lalu.

Gaji pegawai belum terbayar, demikian pula tagihan rekening air dan listrik. Minta ke pemerintah DKI Jakarta tak memungkinkan juga saat itu.”

Soekardjo Hardjosoewirjo, Ketua Pelaksana Harian Proyek Ancol

Perahu wisata Pantai Ancol
Foto: dok. Zulfan

Pembangunan tempat rekreasi pantai memang menjadi salah satu obsesi Bung Karno. Soekardjo Hardjosoewirjo, yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Pelaksana Harian Proyek Ancol oleh Gubernur Soemarno, menyebut obsesi Bung Karno yang menggebu-gebu membangun Ancol diilhami lawatan ke Hawaii, Amerika Serikat. Rupanya Bung Karno terpesona oleh keindahan pantainya.

Versi lain menyebutkan Sukarno mendapat inspirasi membangun taman rekreasi di Indonesia setelah mengunjungi Disneyland di Anaheim, California, pada Juni 1956, di sela-sela lawatannya selama tiga pekan ke Amerika Serikat. Sukarno menjadi presiden pertama di dunia yang mengunjungi Disneyland yang baru setahun dibuka. Ada foto yang memperlihatkan Sukarno dan Guntur Soekarnoputra mengendarai Dumbo, salah satu wahana paling menarik di sana. Sama seperti putranya, Sukarno tampak sangat menikmati.

Apa pun versinya, kenangan dan ingatan akan pantai di Hawaii dan taman hiburan Disneyland membuat Sukarno sangat bersemangat. "Untuk mengamankan dan memperlancar pelaksanaan pembangunan Proyek Ancol, dijadikanlah proyek ini sebagai proyek mandataris," ujar Soekardjo dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol. Artinya, Proyek Ancol langsung berada di bawah kendali Presiden Sukarno. Semua menteri dan instansi terkait diwajibkan memberi dukungan.

Perintah pun diturunkan kepada Gubernur Soemarno. Soemarno dalam buku Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966 menyebutkan saat itu memang warga Jakarta tak memiliki tempat rekreasi pantai yang letaknya terjangkau. Untuk menikmati pantai, Soemarno dan keluarganya bahkan harus pergi ke Cilincing, beberapa kilometer arah timur dari Ancol.

Pasar Seni Ancol
Foto: dok. Ancol

Tak mudah untuk mencapai Pantai Cilincing saat itu karena, selain jauh dari pusat kota, akses jalan sempit dan jelek. "Timbul rasa cemburu orang Jakarta kepada orang Bandung, yang sehari-hari dapat menikmati pemandangan pegunungan yang indah. Sedangkan warga Jakarta yang dekat pantai sukar menikmati laut," ujar Soemarno. 

Menurut Soemarno, pemilihan kawasan Ancol bukan tanpa alasan. Gubernur kelahiran Jember, Jawa Timur, tersebut mengingatkan pada 1930-an Batavia dalam keadaan bahaya karena adanya epidemi malaria Tropika di Ancol. Sejak saat itu budi daya ikan dilarang. Ancol kemudian dibiarkan menjadi hutan belantara.

Namun, pada 1950-an, pemeliharaan ikan di kawasan yang sebagian besar masuk dalam wilayah teritorial Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) itu kembali marak. "Bahaya epidemi malaria dapat bangkit kembali," Soemarno menulis. Ia lantas meminta kepada presiden agar menukar kawasan Komando Daerah Maritim ALRI itu dengan wilayah di sebelah timur Jakarta By Pass sekarang, Jalan RE Martadinata.

Presiden merespons dengan cepat. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1960 tentang Peruntukan dan Penggunaan Tanah Ancol kemudian diterbitkan pada 23 Desember 1960. Aturan itu menyebutkan tanah Ancol berada dalam keadaan tidak produktif, bahkan berada dalam keadaan yang membahayakan kesehatan penduduk di tanah itu dan sekitarnya. Karena itu, negara diberi wewenang untuk menguasai dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.




Le Bridge Ancol
Foto: via YouTube

Batas-batasnya ditentukan sebelah timur dengan Pelabuhan Tanjung Priok, sebelah barat dengan Pelabuhan Pasar Ikan, dan selatan dengan Kanal Ancol. "Pembebasan tanah di Ancol dapat mudah dilaksanakan karena didasarkan pada Peraturan Keadaan Perang," kata Soemarno.

Menteri Keuangan Notohamiprodjo kemudian ditunjuk menjadi ketua berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 338 Tahun 1960. Sementara itu, Gubernur Soemarno sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan rencana proyek Ancol. Soemarno harus melaporkan secara rutin perkembangan proyek tersebut kepada Bung Karno.

Suatu ketika Bung Karno menyampaikan pesan kepada Soemarno seperti yang dituliskan Soekardjo dalam bukunya. “Marno, sebagai pemimpin, kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu 50 tahun yang akan datang. Kamu harus mampu membayangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatmu, rakyat Jakarta."

"Bukan untuk satu atau dua tahun ke depan, tapi 50 atau 100 tahun ke depan. Bagaimana kamu bisa memberikan tempat yang bisa membahagiakan rakyat Jakarta agar penduduknya menikmati hawa segar laut, bisa melihat cerianya anak-anak bermain di pantai, ditingkahi debur ombak, dan tiupan angin yang semilir.” 

Masuk dalam program nasional tak menjamin Proyek Ancol mendapat modal melimpah. Mimpi boleh besar, tapi apa daya isi kantong tak seberapa. Pemerintah pusat maupun daerah tak menjamin sumber pendanaannya. Saat itu kondisi keuangan pemerintah pusat, apalagi daerah, memang sedang seret. Padahal Bung Karno getol-getolnya mempercantik ibu kota negara dengan proyek-proyek besarnya. "Self propelling project, ‘proyek opor bebek’ menurut istilah orang Jawa," ujar Soekardjo.

Pantai Ancol
Foto: Arief Ikhsanudin/detikcom

Tercatat, dalam kurun waktu berdekatan, pemerintah mencanangkan proyek Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal serta proyek lainnya yang membutuhkan ongkos sangat besar. Kredit pinjaman dari pihak swasta pun sukar diperoleh. Pasalnya, hitung-hitungan dari sisi bisnis kawasan Ancol dinilai tak menguntungkan. Saat itu siapa yang berpikir untuk piknik menikmati pantai di tempat “jin buang anak” itu.

Akhirnya pengerjaan Proyek Ancol ditawarkan kepada kontraktor asing. Kontraktor dalam negeri tak ada yang lolos kriteria teknis apalagi dalam urusan pembiayaan. Penawaran pun diajukan kepada tiga negara, yakni Amerika Serikat, Jepang, dan Prancis. Pilihan akhirnya jatuh pada kontraktor dari Prancis, Compagnia Industriale de Travaux (Citra).

Tahap pertama Proyek Ancol dimulai pada Februari 1962. Rawa-rawa serta sebagian besar empang diuruk tanah. Kerja penimbunan itu dilakukan dengan cara menyemprotkan lumpur atau pasir yang disedot dari laut. Pekerjaan ini menghabiskan waktu kira-kira 3,5 tahun lamanya. "Jumlah material yang disemprotkan untuk menimbun 552 hektare kira-kira 12,5 juta meter kubik," Soekardjo menaksir.

Belum tuntas Proyek Ancol, Jakarta diguncang kasus pembunuhan jenderal-jenderal TNI Angkatan Darat. Disodok kiri-kanan, posisi Bung Karno makin terjepit. Merana pula nasib Ancol. Bank Dagang Negara berhenti mengucurkan utangan. Jangankan untuk mengongkosi Proyek Menara Bung Karno, untuk membayar gaji karyawan saja Soekardjo tak punya duit.

Bianglala, salah satu wahana di Dufan
Foto: dok. Idris Hasibuan

“Gaji pegawai belum terbayar, demikian pula tagihan rekening air dan listrik. Minta ke pemerintah DKI Jakarta tak memungkinkan juga saat itu,” Soekardjo menuturkan. Bagaimana akhirnya mimpi Bung Karno itu jadi kenyataan dan Ancol jadi Taman Impian Jaya Ancol? Silakan baca tulisan berikutnya.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE