INTERMESO

Melacak Robot dan Rawing di Ujung Kulon (1)

Dua badak Jawa ditengarai berkelana ke kawasan dekat perkampungan di Cegog. Kami pun masuk ke hutan Ujung Kulon untuk melacak jejaknya.

Foto: Tim Monitoring Badak Jawa Taman Nasional Ujung Kulon

Senin, 17 Juli 2017

Berbicara tentang Banten tentu tak lepas dari ikon provinsi tersebut, yaitu badak Jawa bercula satu, yang hidup di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang. Tidak lengkap rasanya bertualang ataupun sekadar berwisata ke Banten apabila tak menyempatkan diri mengunjungi Ujung Kulon untuk mengenal hewan langka tersebut.

Maka tim detikXpedition pun menjelajahi hutan TNUK selama empat hari pada 30 Mei hingga 2 Juni 2017. Perjalanan ke TUNK merupakan rangkaian dari ekspedisi Banten wilayah selatan yang sempat tertunda. Pada bagian sebelumnya, kami singgah ke beberapa daerah terpencil di Lebak dan Pandeglang untuk memotret kondisi terakhir infrastruktur Banten selatan serta kehidupan masyarakatnya.

Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) adalah satu dari lima jenis badak. Di Indonesia, badak masih banyak dijumpai di hutan-hutan Aceh, Lampung, Bukit Barisan, dan Pulau Kalimantan. Namun badak Jawa di Ujung Kulon memiliki keunikan tersendiri karena merupakan satu-satunya yang bercula satu di dunia.

Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon di Jl Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Foto : Ibad Durohman/detikX


Itu hebatnya badak, nyoba-nyoba pagar disentuh. Masuk kepalanya, diangkat itu beton pagar, dia masuk.”

Sejak 1992, kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai taman nasional untuk melindungi habitat badak Jawa. Pada tahun itu juga, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains, dan Budaya (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) menetapkan Ujung Kulon sebagai warisan dunia. Hal itu karena badak sungguh langka dan masuk kategori sangat terancam (critically endangered) dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Berdasarkan informasi dari Kepala Balai TNUK Mamat Rahmat, jumlah badak Jawa di Ujung Kulon pada 2015 tinggal 63 ekor. Kabar menggembirakan datang pada 2016. Tahun lalu itu termonitor ada empat kelahiran baru badak. “Ditambah yang baru lahir tahun 2016 ini, maka menjadi 67 ekor,” kata Mamat ketika kami temui di kantor Balai TNUK, Jl Perintis Kemerdekaan No 51, Labuan, Banten, 30 Mei lalu.

Habitat badak Jawa menempati lahan seluas 40.000 hektare dari total 122.956 hektare kawasan TNUK. Badak lebih banyak hidup di area hutan lindung di Semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di bagian selatan dan timur lebih sedikit. Guna memantau badak, Balai TNUK memasang sekitar seratus camera/video trap di sejumlah titik di Semenanjung Ujung Kulon. Hal itu untuk mengetahui populasi, karakteristik, serta penyebaran badak.

Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Mamat Rahmat
Foto : Ibad Durohman/detikX

Agar badak lebih terlindungi, Balai TNUK bekerja sama dengan Yayasan Badak Indonesia membangun pagar Java Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). Pagar ini terbentang dari Kampung Cilintang Cimahi, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, hingga Blok Bangkonol, Kampung Cegog, Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, sepanjang 8,130 kilometer.

Belum lama ini muncul informasi dari warga bahwa ada dua badak dewasa yang melintas keluar dari pagar JRSCA di kawasan selatan Ujung Kulon. Badak itu diidentifikasi bernama si Robot dan si Rawing. Keduanya terlihat 'berjalan-jalan' di Kampung Cegog, yang langsung berbatasan dengan lahan hutan lindung TNUK.

Dulu di kawasan selatan banyak perambah hutan. Sejak ada pagar JRSCA, ada kemungkinan badak merasa aman dan kembali ke kawasan hutan di Cegog. “Itu hebatnya badak, nyoba-nyoba pagar disentuh. Masuk kepalanya, diangkat itu beton pagar, dia masuk. Lalu satu lagi dia masukkan kakinya ke sling, sampai putus itu sling. Dia keluar pagar, tapi selalu balik lagi,” imbuh Mamat.

Informasi mengenai pergerakan badak di Cegog juga didapat World Wildlife Found (WWF) Ujung Kulon. WWF sudah lama memulai program konservasi badak Jawa untuk membantu TNUK dalam menjaga kelangsungan hidup hewan tersebut. Selain menjaga populasi badak, WWF Ujung Kulon juga membuat program pemberdayaan masyarakat dan melakukan konservasi terumbu karang untuk menjaga kelestarian taman nasional.

image for mobile / touch device
image 1 for background / image background




Tim detikXpedition bersama TNUK dan WWF Indonesia  harus melintasi medan yang berat untuk sampai di Kampung Cegog, Desa Rancapinang. Jalan di Cegog belum tersentuh aspal hingga sekarang.
Foto : Ibad Durohman/detikX

Social and Economy Coordinator WWF Indonesia Dwi Munthaha melontarkan ide kepada kami untuk melakukan pelacakan terhadap dua individu badak yang bergerak ke Cegog itu. Kebetulan, daerah Cegog kurang 'terurus' dibanding, misalnya, daerah Semenanjung Ujung Kulon. Semenanjung Ujung Kulon juga sudah dikenal para wisawatan. “Jadi sekalian melihat kondisi masyarakat di sana (Cegog). Juga pengawasan terhadap lahan konservasi TNUK,” tuturnya.

Mamat juga mengakui kawasan selatan Ujung Kulon kurang terpantau. Sementara di belahan barat TNUK sudah terpasang ratusan camera/video trap, tidak demikian halnya di Cegog. “Silakan teman-teman kalau mau ke sana. Di sana rencananya akan dibuat wisata juga. Mudah-mudahan bisa ketemu, karena dua badak itu cenderung jinak dan nggak nyerang,” Mamat menambahkan.

Saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Selasa, 30 Mei 2017, itu, cuaca di Pandeglang sangat cerah. Setelah berbincang-bincang dengan Kepala Balai TNUK, kami bersiap-siap menuju Cegog, kampung di pesisir selatan Banten yang berjarak sekitar 88 kilometer ke arah tenggara Labuan. Sudah pasti kami tidak akan bisa masuk ke hutan dan melacak keberadaan badak itu sendirian.

Kami ditemani Koordinator Rhino Monitoring Unit/Rhino Health Unit (RMU/RHU) Balai TNUK Mochamad Syamsuddin. Tim WWF juga turun dengan kekuatan penuh. Mereka antara lain Species Coordinator WWF Ujung Kulon Project Ridwan Setiawan, yang lebih dikenal dengan panggilan Iwan Podol, Community Organizer WWF Ujung Kulon Project Oji Paoji, serta Dwi Munthaha atau Imung.

Suasana di Kampung Cegog, kampung yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon sekaligu paling ujung di barat daya Banten.
Foto : Ibad Durohman/detikX

Setelah melakukan rapat koordinasi di Balai TNUK, menggunakan tiga mobil, pada pukul 14.00 WIB rombongan berangkat menuju Kampung Cegog. Rombongan menempuh perjalanan kurang-lebih lima jam dan tiba pada pukul 19.30 WIB. Memang perjalanan lama karena, begitu kami masuk Kecamatan Cimanggu, infrastruktur jalan mulai rusak.

Lebih-lebih ketika memasuki Desa Tugu dan Desa Rancapinang, aspal jalan banyak yang terkelupas. Begitu masuk Rancapinang menuju Kampung Aerjeruk dan Cegog, kondisi jalan lebih parah lagi, nyaris tak beraspal alias hanya tanah dan bebatuan. Tak aneh bila wilayah selatan Ujung Kulon ini kurang terurus dan jarang dikunjungi pelancong, peneliti atau terekspos oleh media.

Setelah berjibaku dengan kondisi jalan yang berat itu, akhirnya rombongan sampai juga di Kampung Cegog. Kami singgah dan menginap di rumah salah satu warga yang menjadi binaan Balai TNUK dan WWF, yaitu Suharya (60). Rumahnya sering dijadikan posko kegiatan. Bersama masyarakat sekitar, kami membahas rencana perjalanan melacak badak esok hari.

Pertemuan rombongan detikXpedition, TNUK, WWF Indonesia, dengan warga Kampung Cegog untuk menggali informasi seputar dua individu badak Jawa yang sering dilihat oleh warga setempat.
Foto : Ibad Durohman/detikX

Menurut seorang warga Cegog yang disapa Pak Kato dalam pertemuan malam itu, sejak 2015 badak terpantau melintasi pagar JRSCA karena pagar itu belum dialiri listrik. Badak itu sering terlihat di Blok Cisereh. Bahkan, pada April 2017, warga melihat badak di dekat pos pemantauan TNUK. Wah, makin tak sabar rasanya untuk segera menerobos hutan TNUK, melacak jejak-jejak si Robot dan Rawing.

Pertemuan malam itu berlangsung hingga sekitar pukul 22.00 WIB. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan yang berat dari Labuan membuat mata kami tak lagi kuasa menahan kantuk. Terlebih, kami harus menyiapkan tenaga untuk kegiatan esok hari. Karena itu, kami pun terlelap di rumah Pak Suhaya, yang masih berbentuk panggung itu.

Bersambung...

Simak terus kisah perjalanan tim detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: M. Rizal, Ibad Durohman, Deden Gunawan
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE