INTERMESO

Asa di Tambang
Batu Akik Kalimaya

Untuk membuat lubang tambang batu akik Kalimaya, dibutuhkan biaya Rp 30 juta. Penambang mesti bertaruh dengan hujan, yang airnya menutup lubang batu Kalimaya.

Salah satu lubang tambang batu mulia di Desa Pejagan, Sajira, Lebak, Banten.

Foto: Ibad Durohan/detikX

Sajira, sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak, Banten, menjadi salah satu daerah yang cukup ternama di wilayah selatan Banten. Namanya tersohor seiring dengan bersinarnya tambang batu Kalimaya di kalangan pencinta batu akik di Indonesia.

Batu Kalimaya merupakan batu mulia yang hanya ditemukan di wilayah Banten, khususnya di dua kecamatan yang ada di wilayah Lebak, yakni Kecamatan Maja dan Sajira. Kecamatan Sajira berjarak 22 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Lokasinya berada di jalan raya Rangkasbitung-Bogor.

Kami pun berupaya melihat langsung penambangan batu Kalimaya yang ada di wilayah Sajira, tepatnya di Desa Pejagan, yang memakan waktu sekitar satu jam dari Rangkasbitung. Beruntung kami bertemu dengan Soleh, seorang petugas Hansip yang sedang bertugas di balai desa. Pria beranak dua ini bersedia mengantar kami menuju area tambang yang dikelola masyarakat setempat.

Untuk mencapai lokasi tambang, dari Desa Pejagan kami harus menempuh jarak 12 kilometer karena harus melewati Kampung Karoya, Desa Mekarsari. “Kalau lewat langsung Pejagan bisa saja. Tapi harus jalan kaki. Karena hanya jalan setapak dan licin,” begitu kata Soleh.

Hansip Soleh menemani perjalanan tim detikXpedition menuju area tambang batu akik di Kampung Cimalingping.
Foto: Ibad Durohman/detikX


Sudah sebulan ini saya nggak bawa uang pulang ke rumah. Habis buat anak-anak saja (anak buah) di lubang.'"

Soleh pun bergegas mengendarai sepeda motor bebek miliknya ke lokasi pertambangan. Dan kami mengikutinya dari belakang.

Jalan menuju Kampung Karoya cukup mulus karena melintasi jalan penghubung antara Lebak dan Bogor. Namun, begitu berbelok ke Karoya, jalanan tidak lagi beraspal. Hanya bebatuan berbagai ukuran.

Dari Karoya ke lokasi tambang, yakni Kampung Cimalingping, jaraknya sekitar 4 kilometer dengan kondisi jalan yang sempit dan menanjak.

Sebuah warung terbuat dari kayu dan beratap terpal biru yang ada di sekitar tambang menjadi tempat persinggahan pertama kami. Karena hanya di dekat warung itu mobil kami bisa diparkir.

Dari warung milik pasangan Haji Samudi, 52 tahun, dan Ratna itu terlihat sejumlah lubang di lereng bukit. Namun hanya ada dua lubang yang aktif di Blok Cigerendeng, Kampung Cimalingping, itu. Sisanya terbengkalai begitu saja. ”Sekarang sudah sepi, Mas. Lubang banyak terisi air karena hujan terus,” kata Samudi.

Tenda di sekitar tambang yang didirikan warga.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Gerimis yang turun semenjak memasuki Kampung Karoya masih terus mengguyur. Dengan langkah pelan karena jalan setapak begitu licin, kami pun mencoba melongok ke sebuah lubang yang terlihat masih aktif.

Empat orang yang ada di sekitar lubang bukan sedang mengambil batu, melainkan menguras air di dalam lubang. “Sudah dua minggu nggak bisa ngambil batu. Paling nguras air saja di lubang,” ujar Somad, warga Pejagan, saat dihampiri.

Sebuah ember berukuran cukup besar yang berisi air dan serpihan batu tampak diangkat beramai-ramai dengan tali tambang keluar dari lubang sedalam 20 meter tersebut.

Setelah melihat-lihat sejenak, kami pun beranjak pergi menuju sebuah lembah di Kampung Cimalingping dengan diantar Soleh. Menurut Soleh, lembah tersebut saat terjadi booming batu akik (2014-2015) sangat ramai dengan aktivitas penambangan dan para tengkulak (pedagang batu). Bahkan Gubernur Banten saat itu, Rano Karno, dan beberapa selebritas sempat mendatangi lokasi itu.

“Waktu booming batu, yang sering ke sini Daus Mini, Agus Kuncoro, dan vokalis band Wali namanya Frank,” tutur Soleh.

Aktivitas penambangan batu akik di sebuah lubang di Lebak
Foto: Ibad Durohman/detikX

Batuan cadas yang diangkat dari dalam tanah
Foto: Ibad Durohman/detikX

Batu akik biasanya tersembunyi di bebatuan cadas.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Namun, saat kami mendatangi lokasi tersebut, suasananya sudah sunyi sepi. Dari punggung bukit terlihat hanya satu lubang yang aktif. Puluhan lubang lain yang terhampar di area persawahan itu sudah tidak terurus.

Lubang tambang di lembah itu memang relatif dangkal, yakni 7-10 meter, sehingga calon pembeli yang sekadar ingin tahu kondisi di dalam lubang bisa mamasukinya.

“Daerah sini yang paling dangkal lubangnya. Kebanyakan dalamnya 7 meteran,” kata Supriyadi, seorang pemilik lubang yang sedang menunggui anak buahnya yang menguras air dari dalam lubang.

Setengah mengeluh, Supriyadi menuding hujan yang berkepanjangan di kawasan itu menjadi penyebab seretnya perolehan batu yang punya nilai jual tinggi di pasaran batu akik tersebut.

Ia pun terkenang saat batu Kalimaya masih banyak ditemui di dalam lubang sekitar tahun 2014. Saat itu Supriyadi dalam sehari bisa meraup Rp 3-5 juta dari penjualan batu.

Beberapa contoh batu akik yang akan diolah.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Namun, saat ini, pria yang sudah 7 tahun mencari batu Kalimaya itu menuturkan, untuk mendapatkan uang Rp 200 ribu per hari saja sulitnya minta ampun. Karena batu yang didapat kualitasnya tidak bagus.

Uang sebesar itu untuk kebutuhan sehari-hari anak buahnya yang masuk ke lubang, seperti untuk makan, rokok, dan kopi. “Sudah sebulan ini saya nggak bawa pulang uang ke rumah. Habis buat anak-anak saja (anak buah) di lubang,” ucap Supriyadi, yang mengaku sudah berhaji dan memiliki 2 hektare sawah dari hasil penjualan Kalimaya saat booming batu akik.

Penambangan Kalimaya menganut sistem bagi hasil antara pemilik lubang (bos) dan pencari batu yang masuk ke lubang. Pemilik lubang umumnya warga sekitar, yakni penduduk Desa Pejagan. Sedangkan penambangnya bisa dari desa lain, bahkan dari luar daerah.

Nah, setiap penambang yang mendapatkan batu, berdasarkan aturan yang berlaku secara tidak tertulis, wajib menawarkan dulu kepada pemilik lubang. Tentunya dengan harga lebih murah dibanding harga jual kepada tengkulak.

Selanjutnya pemilik lubang menjual kepada para tengkulak yang sering berkumpul di sebuah warung di Kampung Karoya atau pembeli yang datang ke lokasi tambang.

Seorang penambang hendak masuk ke lubang tambang batu akik yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Supriyadi mengaku mulai menambang Kalimaya sejak lulus SMA. Awalnya ia ikut membantu ayahnya yang juga memiliki lubang. Setelah punya modal, ia pun membuat lubang sendiri tujuh tahun lalu. Biaya yang dibutuhkan Rp 30 juta untuk penggalian lubang sedalam 8 meter.

Biaya tersebut untuk biaya operasional lima orang penggali serta biaya mesin pengisap udara dan peralatan tambang sederhana.

Namun nasib Supriyadi bisa dibilang masih mendingan dibanding Rahmat, pemilik lubang yang ada di sebuah lereng bukit di Kampung Cimalingping. Sebab, sudah dua bulan ini Rahmat hanya bisa berjibaku dengan air yang ada di dalam lubang miliknya yang berkedalaman 45 meter.

“Jangankan dapat batu, Mas. Nguras air saja sudah dua bulan tidak kelar-kelar. Soalnya, lubang saya tembus ke lubang penambang lain yang ada di bawah (lembah) yang kemasukan air,” jelas Rahmat.

Karena belum bisa melakukan pencarian Kalimaya, Rahmat pun meliburkan anak buahnya. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menghemat biaya operasional. Apalagi setiap hari ia harus membeli solar untuk mesin penyedot air. Setidaknya per hari ia harus menyiapkan puluhan liter solar.

Simak terus kisah perjalanan detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE