Kolong jembatan biasanya sering pula digunakan untuk berteduh dari sengatan mentari di tengah-tengah 'gurun polusi' Ibu Kota. Tak jarang para pengendara menemukan 'oase' di bawah kolong, seperti Kang Ade (47) salah satunya.
"Udah lama saya di sini. Ada kali belasan tahun. Ya gini-gini aja terus dari dulu," ujar Kang Ade di kolong jembatan Semanggi, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini namanya tuak aren. Dibikinnya pakai gula aren yang direbus. Kalau sudah dingin dikasih es batu terus dimasukin bambu ini. Jadi dingin terus," papar Kang Ade.
Mendengar kata tuak jadi terbayang sebuah minuman memabukkan. Memang bukan dikemas dengan botol beling, tapi kalau pun memabukkan mengapa tak ditangkap aparat?
"Ini nggak bikin mabuk. Cuma manis dan dingin saja, jadinya segar," ucap Kang Ade.
Segelas tuak aren dia jual seharga Rp 4.000. Dalam sebilah bambu itu bisa ada 15 sampai 20 gelas tuak.
"Tapi nggak setiap hari habis. Buat setoran ke bos Rp 50.000, jadi rata-rata tiap hari bawa pulang Rp 50.000," ujar dia.
Rupanya tuak itu bukan bikinan dia sendiri. Ada pemilik usaha yang tinggal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan yang memproduksinya.
Setiap harinya Kang Ade mengambil tuak di rumah bosnya yang tak jauh dari tempat dia tinggal. Dari situ dia berjalan kaki hingga kolong jembatan Semanggi.
Dalam sehari dia menjajakan tuak selama 12 jam. Untungnya untuk jenis minuman tradisional ini masih banyak peminatnya meski zaman terus bergulir.
(bpn/trq)