Mengendap-endap menyisiri pepohonan perumahan elite di kawasan Jl Brawijaya, Jakarta Selatan. Dua bambu panjang ditenteng dengan salah satunya berujung jaring.
Badan kurus dengan tinggi sekitar 170 cm seorang pria paruh baya itu terus mendongak mengamati dedaunan. Adalah Royani (57) yang tengah mencari telur semut rangrang atau Oecophylla smaragdina, atau lebih dikenal dengan kroto.
"Saya nyari kroto buat sendiri saja awalnya. Buat mancing ikan. Tapi kadang saya juga jual ke teman saya yang jualan di pasar burung," tutur Pak Royani saat rehat siang, Kamis (19/6/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau belum biasa, biasanya digigit sedikit langsung bentol-bentol. Kalau sudah biasa kayak saya sih cuma gatal-gatal saja," ucap Pak Royani.
Sejak pagi Pak Royani baru mengumpulkan tak lebih dari setengah kilogram kroto. Semua terbagi dalam empat bungkusan koran yang dimasukan dalam plastik kresek hitam.
Bungkusan koran diikat rapat dengan karet agar semut-semut tak berlarian. Saat ini sulit mencari kroto di pepohonan.
"Cara mencarinya itu lihat saja daun-daun muda yang mengumpul di satu ranting pohon. Dari bawahnya kita tadahi dengan jaring, habis itu kita sodok dengan galah bambu biar pada rontok," papar Pak Royani.
"Nanti di rumah dipisahin lagi semutnya. Dibuka saja bungkusannya nanti kan semutnya pada pergi. Habis itu dimasukan kulkas biar nggak menetas telurnya," imbuh dia.
Dahulu ketika Jakarta tak terlalu tinggi polusi, telur-telur semut mudah dicari. Dalam sehari pasti terkumpul hingga 2 kilogram.
"Sekarang buat cari 1 kilogram saja butuh sampai dua sampai tiga hari. Di tempat yang sama kan tidak mungkin dicari lagi besoknya. Paling baru bisa minggu depan," ucap Pak Royani.
Satu kilogram kroto bisa dijual seharga Rp 120.000 ke pasar burung. Dalam sebulan setidaknya Rp 1 juta bisa dikantongi Pak Royani untuk kebutuhan keluarga.
(bpn/trq)