Seorang tua bertubuh kerempeng, berkulit legam, dan berambut mulai putih nampak sibuk mengayunkan arit ke sana ke mari. Dia itu adalah Mbah Muhridin (59) seorang tukang rumput yang sehari-harinya memberi makan sapi-sapi perah.
βDulu pertama saya kerja itu semua sapi punya bos saya ada delapan puluhan. Tapi sekarang tinggal empat belas. Kalau sudah habis sapinya nanti saya kerja apa lagi?β ujar Mbah Muhridin mulai khawatir ketika menyiangi rumput di siang Rabu (21/5/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi apa lacur ketika susu banyak yang diimport di negeri yang katanya agraris ini. Sedikit demi sedikit sapi-sapi milik majikan Mbah Muhridin berkurang karena biaya produksi tak sebanding dengan hasil yang diraih.
Padang rumput hijau nan segar pun mulai berkurang di Jakarta Raya ini. Tak segemuk dan seproduktif dulu lagi, semakin banyak pula sapi terjual. Tanah yang tadinya untuk kandang sapi juga telah dikonversi menjadi rumah untuk disewakan.
βSama lokal saja kita kalah sama Boyolali, apalagi kalau sama yang import. Semakin kalah lah kita. Kalau pun sapinya dipotong juga kalah sama harga sapi import yang harganya lebih murah, dagingnya lebih gemuk. Makin kalah saja kita mau ke mana-mana,β ucap Mbah Muhridin.
Masih ada belasan sapi yang harus diberi makan, Mbah Muhridin pun menyampingkan kekhawatiran. Sambil mengarit rumput, sambil dia lampiaskan uneg-uneg yang mengganjal dalam pikiran dia.
βSaya sebal sama koruptor itu. Kerjaannya bikin rakyat kecil kayak kita ini susah melulu. Dia enak-enakan makan duit korupsi, kita ngasih makan sapi saja sudah susah. Apalagi waktu ada korupsi sapi itu saya kesal sekali itu,β sebut Mbah Muhridin.
βPas ada korupsi sapi itu pas banget sapi-sapi bos saya semakin sedikit. Lama-lama kalau sampai habis mungkin saya pulang kampung saja lah. Balik jadi petani lagi yang hasilnya buat makan sendiri,β kata Mbah Muhridin.
(bpn/trq)











































