Warna-warni masyarakat ibukota selalu menarik dilihat meski kesibukan selalu membikin panas. Penat menahun rasanya akan sembuh bila diguyur sensasi dingin nan lembut.
Duduk di antara keramaian lalu lalang warga ibukota yang sedang menikmati suasana nostalgia, Herman (44) menawarkan sebuah sensasi segar dalam bakul bambu yang dipikul. Warna-warni agar-agar yang terbuat dari tepung beras nampak manis ketika diguyur segarnya santan.
“Ini namanya selendang mayang, minuman khas Betawi. Sudah jarang yang jualan begini soalnya dianggap sudah kuno. Saya jualan seperti ini sudah dari tahun 1990, hampir 24 tahun mungkin. Hanya dengan ini saya menghidupi keluarga saya,” kata Bang Herman di Taman Fatahillah, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Selasa (6/5/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak kuat menanggung hidup keluarga bila tetap tinggal di Jakarta, Herman memilih untuk memulangkan mereka ke Cirebon. Meski di sana pun tak ada pencaharian tamabahan, namun setidaknya biaya hidup jauh lebih murah.
“Saya biasa kirimi uang buat keluarga seminggu sekali, sekali kirim paling-paling Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Sisanya saya pakai buat modal jualan,” ucap Bang Herman.
Dalam sehari Herman mendapatkan uang sebanyak Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Separuh dari pendapatan itu dipakai untuk belanja bahan-bahan membuat selendang mayang di pasar.
“Kalau gula sih bisa disimpan lumayan lama, tapi kalau santan sama agar-agarnya sehari langsung basi. Jadi harus dibikin lagi buat besok. Sebenarnya membuat ini tidak lama kok. Paling-paling satu jam sudah jadi. Makanya saya masaknya pagi supaya bisa awet sampai malam,” kata Herman.
Awal Bang Herman memilih selendang mayang sebagai sumber penghidupan adalah karena jodoh. Mungkin memang kata ‘jodoh’ yang cocok untuk Bang Herman ketika menjatuhkan pilihan pada selendang mayang di tengah komoditas dagang populer lain.
“Awalnya saya sudah coba ke pekerjaan yang lain, tapi nggak ada yang cocok. Saya pernah coba jadi kuli bangunan tapi dua minggu cuman dapat Rp 25 ribu. Pernah nyoba jajanan lain seperti tauge goreng, kue pukis, dan tahu gejrot tapi saya tidak enak membuatnya. Jadi saya memilih selendang mayang ini. Kebetulan ada paman jauh saya yang jualan seperti ini,” tutur Bang Herman.
“Paman saya itu bilang kalau jualan selendang mayang itu modalnya kecil. Untungnya juga tidak banyak sih, tapi kalau ditekuni kan bisa lumayan juga. Dengan jualan ini saja saya bisa menanggung biaya ketiga anak saya, istri, dan orang tua saya,” imbuh dia.
Berawal dari berdagang keliling wilayah Pesing, Jakarta Barat hingga akhirnya berlabuh di kawasan Kota Tua. Kerusuhan Mei 1998 membuat dia berpindah lahan ke wilayah yang dirasa masih ramai peminat jajanan tradisional.
Dari sederet kawan-kawan dia yang menjual selendang mayang, kini hanya dia saja yang masih bertahan. Di kawasan Kota Tua pun hanya ada satu-dua orang lain yang menjajakan kuliner khas Betawi yang cantik lagi segar itu.
(bpn/trq)