Menyusuri gedung-gedung bertingkat di Setiabudi, Jakarta Selatan, di siang hari ketika lalu lintas sedang macet-macetnya membuat siapapun mudah tersulut emosi. Terpaku di tengah-tengah pusaran pencakar langit itu, terdengar alunan merdu yang meredakan emosi.
Mengikuti lantunan halus itu yang makin lama makin keras suaranya, nampaklah sebuah kampung kecil di tengah kota dengan tulisan βKolintang Bapontarβ. Rupanya kampung itu menampung orang-orang kecil tak bertempat tinggal yang salah satu diantaranya seorang mantan preman bernama Ronny Syaifudin (62).
βSebelum numpang tinggal di sini, dulunya saya preman. Dunia gelap semua sudah saya rasain semuanya. Mulai dari narkoba, minuman keras, rampok, nyuri, sampai pembunuhan. Tapi akhirnya saya merasa itu semua hanya tumpukan dosa dan saya memilih untuk di sini,β kata Ronny di sanggar kolintang itu, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (30/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
βDulu waktu di jalanan nama panggilan saya βRonny Iblisβ, karena kalau saya marah itu siapa saja di dekat saya semua saya serang. Dulu nggak ada yang bisa berhentikan saya, semua semau saya. Kalau minum juga sampai dijulukin βtikus gotβ, soalnya kalau habis minum itu sampai tergeletak dalam got sampai dua hari,β ujar Ronny ketika mengenang masa kelam dia itu.
βSaya keluar masuk penjara sampai sembilan kali, apa malah sepulu saya lupa. Paling lama itu dua belas tahun di Nusa Kambangan karena kasus pembunuhan, paling ecek-ecek ya cuman setahun itu kasus penganiayaan. Tapi sekarang saya sudah kembali ke jalan yang benar,β imbuh dia.
Pada tangan kiri dia pun ada sebuah tato bertuliskan βRonny Iblisβ dengan tulisan latin. Tapi mata yang merah itu rupanya menyembunyikan getaran berkaca-kaca yang mengisyaratkan dirinya tak mau lagi mengulang masa kelam.
Sekarang ini dia tak lagi menjadi legenda hidup jalanan kejam. Pekerjaan serabutan yang diberikan pemilik sanggar apa pun bentuknya akan dia lakoni meski upah tak seberapa.
βDi sini saya diperlakukan dengan hormat, dengan layak, jadi apa pun pekerjaan pasti saya kerjakan. Di sini saya mengerjakan apa yang sebelumnya belum pernah, seperti nyapu, ngepel, semua termasuk angkat-angkat alat kolintang yang mau dipakai latihan. Kadang dibayar Rp 50.000, kadang Rp 70.000 sehari, atau kadang tidak dibayar juga tidak apa-apa,β kata Ronny.
βSaya lebih suka tinggal di sini, dihormati dan kalau salah ada yang negur. Di jalan juga saya dihormati, tapi dihormati oleh sampah-sampah masyarakat, jadi saya lebih memilih di sini,β lanjut pria asal Makassar ini.
Selembar demi selembar uang itu dia kumpulkan untuk membiayai hidup anak-anaknya. Semua anak-anaknya yang berjumlah sampai selusin tetap dihidupi meski telah hidup terpisah.
βJadi semua istri saya semua ada sebelas orang, anak ada dua belas. Tapi sudah hidup berpisah dari saya, karena saya tidak ingin hidup mereka ikut hancur. Tapi tetap saja saya mengirimi biaya hidup untuk anak-anak saya meski sebagian mantan istri sudah menikah lagi dan memulai hidup baru,β tutur Ronny.
Bahkan dengan mantan istri pun Ronny tetap menjalin komunikasi meski mereka telah merajut hidup dengan pria yang jauh lebih baik dari Ronny. Buat seorang Ronny kebahagiaan orang-orang tercinta adalah segalanya.
Kini Ronny hanya menggantungkan hidup dengan merawat kolintang di sanggar itu. Kalau ada pementasan dia akan mendapat upah lebih karena harus mengangkat alat musik khas Minahasa yang cukup berat itu.
βMemang dibandingkan dulu ketika saya jadi preman atau rampok, itu bisa ratusan juta saya dapat sebulan. Tapi apa yang saya dapat? Saya lebih merasa terhormat di sini, dididik budi pekerti, dan lebih manusiawi,β ucap Ronny.
(bpn/trq)