Kesehatan di zaman apapun selalu menjadi prioritas manusia. Sudah suratan takdir manusia untuk selalu menjaga kesehatan, biar bagaimana pun caranya asalkan sehat sentosa.
Biar kata rumah sakit mahal selangit, pasti ada saja alternatif lain untuk menjaga kesehatan warisan turun temurun leluhur Nusantara. Adalah Mbok Tuminem (54) yang masih bertahan menggendong jamu sejak 37 tahun silam, selama itu pula dirinya dan keluarga belum pernah sakit keras.
“Dulu pertama jadi bakul jamu gendong seperti ini mulai umur saya 17 tahun. Waktu itu diajak saudara-saudara saya yang sudah duluan jualan jamu di Jakarta. Ya di sini ini, dari dulu jualan di daerah Mampang sini saja,” kata Mbok Tuminem di tengah-tengah kebun TOGA Kelurahan Kuningan Barat, Kecamatan Mampang, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Biasalah, kadang masyarakat masih banyak yang menganggap kalau penjual jamu itu identik sama yang saru, tapi kan itu tergantung masing-masing orangnya. Kalau memang iman kita kuat ya harusnya tidak masalah,” kata Tuminem.
“Saya juga dulu waktu masih gadis itu jualan jamu umur 17 tahun juga banyak yang menggoda. Biasanya bercanda begitu awalnya, asal kita bisa batasin diri sih tidak masalah. Paling banyak dulu yang godain saya itu di daerah Pancoran,” imbuh Tuminem.
Tuminem yang telah memiliki empat anak pun mengesampingkan anggapan miring itu. Menggendong botol-botol jamu dengan bakul yang diikat kain rupanya mampu menghantarkan semua anaknya lulus hingga tingkat sekolah menengah kejuruan.
Sambil berikhtiar mewujudkan kesehatan murah, Tuminem pun mampu mengumpulkan setangkap demi setangkap Rupiah. Tak perlu menuntut yang macam-macam kepada suami, Tuminem tetap setia menemani.
“Suami saya itu bisa dibilang masih nganggur. Paling-paling cuman sekali-sekali ke sawah di kampung. Karena kan memang orang tuanya itu dari dulu petani, jadi ya nerusin bertani. Apalagi sekarang sudah semakin tua, jadi susah nyari pekerjaan lain,” ucap Tuminem.
Asal suami dan anak-anak sehat sudah cukup terbayarkan jerih payah Tuminem menggendong jamu setiap hari. Selama badan masih sehat, baginya menjajakan jamu tetap akan berlanjut meski anak-anaknya sudah bekerja.
“Lumayan satu hari berangkat pagi sama sore bisa dapat bersih Rp 100.000, alhamdulillah selalu laris jamu buatan saya ini. Berangkat pagi dari jam 07.00 WIB pulang jam 11.00 WIB, habis itu istirahat lalu berangkat lagi jam 14.00 WIB sampai jam 17.00 WIB,” kata Tuminem yang semasa kecil hanya sempat mengenyam separuh bangku sekolah dasar.
Siang itu pun Tuminem tengah bersiap berangkat menuju Pasar Mampang untuk menjajakan kembali seteguk sehat dari segelas jamu. Jika lelah menghampiri, kamar kost petakan ukuran 3 x 4 meter persegi siap menampung Tuminem sejak dahulu usianya 17 tahun.
(bpn/trq)