Sebuah pasar lama di tengah Kota Tangerang, Banten, menampilkan potret berbeda dari kawasan metropolitan di Jakarta. Sekelompok becak berbaur di keramaian itu dan salah satu di antaranya seorang pria Tionghoa duduk menatap rambu.
βSaya juga tukang becak di sini. Tapi baru sekitar empat tahun jadi tukang becak. Pendapatan jadi tukang becak tidak seberapa, tapi daripada tidak ada pekerjaan lain atau daripada tidak kerja. Minimal bisa buat makan sehari-hari,β kata pria Tionghoa yang bernama Teng San (52) itu saat matahari masih separuh terlihat, Senin (14/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
βSebelumnya saya jadi pendayung perahu kecil, sampan, di Sungai Cisadane. Tapi makin ke sini makin sedikit orang yang nyeberang naik perahu, jadi saya pindah ke narik becak saja. Tapi narik becak juga tidak ramai. Paling-paling sehari bisa bawa pulang Rp 50.000 kalau lagi ramai,β ujar Teng San.
βSaya beli becak ini dari teman saya yang punya dua becak. Waktu itu harganya dia kasih Rp 500.000. dia juga masih jadi tukang becak kok,β imbuh Teng San.
Besaran angka sekali perjalanan tak dipatok oleh Teng San. Dia menerima keikhlasan penumpang berapa pun itu.
βPaling jauh biasanya mengantar orang pabrik ke Batuceper dari sini (sekitar 8,8 km), itu dibayar Rp 25.000. Tapi jarang-jarang bisa sampai sana soalnya jauh dan biasanya orang lebih memilih naik ojeg,β ucap Teng San.
Teng San pun tidak sendiri sebagai pengayuh becak. Rekan-rekan seperjuangan dia juga mencari peruntungan pada kendaraan tradisional beroda tiga itu.
βJadi sistemnya antre, gantian kalau mau angkut penumpang. Karena ramai jadi ya tidak banyak juga yang didapat satu orang tukang becak,β kata Teng San.
Masih menunggulah dia sore itu berharap seseorang hendak bersantai dengan kendaraan tradisional. Lelah badan bukan halangan Teng San untuk pulang membawa secercah hasil untuk keluarga.
(bpn/trq)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini