Pada tanggal 13 November 1998, Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan tewas ditembak pada peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Semanggi I. Kejadian itu kemudian mengubah hidup seorang wanita yang bekerja sebagai PNS di Sekjen DPR RI.
"Sejak Wawan meninggal, sepertinya hidup saya berubah. Saya menyadari saya harus turun ke jalan untuk mengetahui kenapa anak saya sampai ditembak," kata Sumarsih, saat ditemui di sebelah utara Monas, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (3/4/2014).
Rambut wanita berusia 61 tahun itu sudah memutih seluruhnya. Namun, semangatnya mencari jawaban atas kematian anaknya masih menggelora. Pada pertengahan April 1999, dia mulai turun ke jalan bersama dengan aktivis perempuan di Bundaran HI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun respon pemerintah saat itu, menurut Sumarsih, tidak membuat mereka menemukan titik terang. Pada periode 2005-2007, dia mulai aktif di Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Dia kemudian mengusulkan untuk membuat aksi rutin.
"Setiap hari Kamis dari jam 16.00 WIB sampai 17.00 WIB kami melakukan aksi diam di depan Istana. Pada mulanya yang mengikuti sedikit. Namun sekarang saya tahu di beberapa kota juga ada aksi-aksi serupa," kata Sumarsih.
Dengan mengenakan pakaian warna hitam dan payung warna hitam, Sumarsih dan puluhan rekan senasibnya rutin melakukan aksi di depan Istana. Warna hitam yang disepakati sebagai simbol itu bukanlah untuk menunjukkan kedukaan. Namun lebih kepada perjuangan mereka yang tidak akan pernah mengenal lelah. Tujuan mereka hanya satu: menuntut keadilan bagi para korban kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Bukan masalah politiknya yang berkaitan dengan itu, kan memang ada juga yang tapol. Tetapi dari sisi kemanusiannya. Ini murni yang benar-benar kami perjuangkan," kata wanita kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.
Ratusan minggu yang sudah mereka lewati. Ratusan surat pula dia kirim kepada presiden. Berbagai macam cara mereka perjuangkan untuk mendapatkan kejelasan. Sumarsih menyadari usianya beranjak tua dan tidak akan seterusnya seperti ini.
Namun, dia meyakini apa yang dilakukannya akan membuahkan hasil. Hingga akhirnya pada akhir bulan Maret tahun 2008, Presiden SBY bertemu dengan Sumarsih dan beberapa rekannya.
"Kemudian pada tanggal 29 September 2011, kami diterima Menkopolhukam, Bapak Djoko Suyanto dan Wamenkum HAM, Bapak Denny Indrayana. Mereka diberi tugas untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun kenyataannya tidak ada apa-apa. Terakhir saya dengar ada perkembangan dari Bapak Dipo Alam, kita tunggu saja hasilnya," harap Sumarsih.
(dha/trq)