Perjuangan Tak Pernah Padam Eyang Wimo Sang Perintis Kemerdekaan

Perjuangan Tak Pernah Padam Eyang Wimo Sang Perintis Kemerdekaan

- detikNews
Rabu, 26 Mar 2014 09:44 WIB
Jakarta -

Menjelang petang hari itu sungguh istimewa bagi tiga orang bocah di bilangan Jakarta Pusat. Kakek mereka yang pejuang perintis kemerdekaan RI itu kembali akan menceritakan semangat perjuangan tempo dulu yang selalu seru.

Eyang Wimo Sumanto (88) masih mampu berdiri dengan tegak sambil mengenakan peci veteran lengkap dengan pakaian kebanggaan berwarna biru tua. Rambut Eyang sudah memutih, namun suaranya masih lantang ketika menyebut kata ‘penjajah’.

“Negara ini sudah merdeka secara konstitusional, tapi belum merdeka secara kesejahteraan!” teriak lantang Eyang Wimo saat membuka kisah perjuangan kepada cucu-cucunya di depan rumah sederhana miliknya, Jl Percetakan Negara IX, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tangan Eyang Wimo bergetar sambil menunjuk-nunjuk ke segala arah ketika bercerita. Nampak semangat yang tetap menggebu-gebu meski buku sejarah mengatakan bahwa zaman penjajahan telah lama usai.

“Tidak! Penjajahan masih ada sampai sekarang. Buktinya masih banyak yang belum sejahtera hingga sekarang. Saya pun masih terus berjuang untuk hidup. Padahal kami dulu juga ikut memperjuangkan kemerdekaan sehingga diberi gelar Perintis Kemerdekaan RI,” tutur Eyang Wimo.

Sebuah selempang kuning bertuliskan ‘Perintis Kemerdekaan RI’ yang dipakai Eyang Wimo menjadi bukti kesuksesan perjuangan. Namun rumah yang letak dapurnya saja berada di teras tak memperlihatkan kemerdekaan yang dicita-citakan dahulu.

“Dulu kami merebut kemerdekaan dari Belanda, Sekutu, dan Jepang agar dapat hidup sejahtera. Agar tidak lagi tertekan. Agar tidak lagi dipaksa melakukan hal yang tak diinginkan. Agar dapat bersekolah, dapat jaminan kesehatan. Tapi ternyata keadaan sekarang tidak jauh berbeda,” ucap Eyang.

Berkisahlah dia ketika pertama kali memutuskan untuk menjadi pejuang. Saat itu dirinya masih duduk di sekolah setingkat menengah.

“Dulu namanya IPI alias Ikatan Pelajar Indonesia. Kami diajari untuk melawan penjajah, lalu kemudian masuk ke Badan Keamanan Rakyat atau BKR, selanjutnya BKR diganti nama menjadi Tentara Rakyat Indonesia. Ada juga di daerah Jawa Timur memakai nama Tentara Rakyat Indonesia Pelajar yang disingkat jadi TRIP,” papar Eyang Wimo dengan mata menerawang berusaha mengingat kejadian puluhan tahun silam.

“Dulu kita tidak punya senjata api. Kita tempur dengan bambu runcing, tapi jangan salah kira kalau bambu runcing tak bisa melawan penjajah. Kalian tahu itu? Tentara Jepang pun angkat tangan menyerah ketika kami dulu di Magelang menyerbu dengan pasukan bambu runcing. Bagi mereka lebih baik diberondong peluru ketimbang dikoyak-koyak dengan bambu runcing rakyat Indonesia,” kata Eyang Wimo dengan bangga sambil memperagakan posisi memegang bambu runcing.

Tak ada teh manis hangat apalagi kue untuk menemani Eyang Wimo berkisah soal perjuangan dengan para cucu. Sehari-hari untuk makan saja Eyang Wimo dan keluarga hanya bergantung pada tunjangan veteran sebesar Rp 1.200.000 dan bekerja serabutan yang tak menentu hasilnya.

Betapa ironi melihat kondisi Eyang Wimo yang merintis kemerdekaan itu tapi amat sederhana hidupnya, dibanding dengan para generasi penerus yang hanya tinggal menikmati kemerdekaan dengan berfoya-foya. Terlebih lagi mereka yang mengaku memimpin negeri namun seolah tak mau mengakui keberadaan orang-orang seperti Eyang Wimo.

(bpn/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads