Sejak mula senja di hari itu belum satu jua pembeli kerupuk tengiri nan renyah yang dijajakan Pak Slamet (48). Tepi Jalan Joglo Raya, Jakarta Barat menjadi saksi bisu kegigihan Pak Slamet bersama beberapa tunanetra yang lain berjuang berjualan kerupuk.
Banyak terdengar laju kendaraan melambat yang rupanya hanya mengamat-amati perjuangan Pak Slamet namun tak berhenti untuk sekedar melipur asa Pak Slamet yang separuh pupus. Ada kalanya kemudian sebuah mobil berhenti tak jauh dari Pak Slamet duduk.
Dari mobil itu turun seorang laki-laki keturunan Tionghoa berkaus putih dan celana pendek. Rambut di kepala orang itu menandakan usia yang telah senja, namun badan dia nampak bugar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diraba tangan orang itu oleh Pak Slamet sebentar ketika berjabat tangan. Didengar dengan saksama suara pria yang berkacamata itu sebelum menyimpulkan.
“Pak Ayong ya?” tebak Pak Slamet.
“Hahaha.. masih ingat rupanya Pak Slamet. Gimana, sehat-sehat kan? Keluarga baik-baik kan? Ini saya bawa sedikit nih,” kata Ayong kemudian sambil menyerahkan plastik hitam kepada Pak Slamet.
“Terima kasih ya, Pak. Sudah sering sekali Bapak kasih saya seperti ini,” ucap Pak Slamet.
Ayong kemudian melanjutkan langkah ke arah penyandang tunanetra yang lain. Perlakuan sama pun dia berikan seperti Pak Slamet ke yang lain.
“Pak Ayong sering sekali kasih saya sembako seperti ini. Di saat pemerintah tak memberi perhatian sama sekali, orang-orang seperti Pak Ayong justru datang. Semoga Allah membalas,” tutur Pak Slamet dengan senyum bahagia.
Malam ini agaknya Pak Slamet tak membawa tangan hampa di hadapan keluarga di rumah. Pak Slamet telah mengantongi kebutuhan dasar yang sepertinya cukup untuk beberapa hari ke depan.
“Pak Ayong tidak mau kebaikannya dibesar-besarkan, katanya bantuan dia ini tidak seberapa. Tapi buat kami ini sudah sangat membantu mengurangi beban,” imbuh Pak Slamet.
Matahari masih sedikit mengintip perbuatan baik Pak Ayong tadi itu. Namun kerupuk Pak Slamet masih belum ada yang membeli.
Sebuah sepeda motor kemudian berhenti di hadapan Pak Slamet. Sang pengendara yang memakai baju koko itu kemudian menanyakan harga kerupuk yang dijual Pak Slamet sambil mengeluarkan sejumlah uang.
“Saya sering lewat sini, Pak. Ini ada sedikit rezeki buat Bapak, semoga bisa cukup membantu,” kata pria yang seorang Pegawai Negeri Sipil Kantor Wali Kota Jakarta Barat ini.
Ada lagi rupanya malaikat kota yang menghampiri Pak Slamet hanya sekedar membagi sedikit kesenangan. Membagi bukan berarti mengurangi kesenangan, tetapi justru menambah sehingga semakin banyak orang yang merasakan kesenangan bersama.
Senyum lebar Pak Slamet menggambarkan mata hati para malaikat-malaikat perkotaan itu yang terbuka lebar. Sesungguhnya para pemimpin yang tak memperhatikan orang-orang seperti Pak Slamet yang lebih cocok disebut ‘orang buta’.
“Mungkin pemimpin yang belum adil itu memang belum bisa melihat, semoga nanti mata hati mereka terbuka,” pesan Pak Slamet menutup senja hari itu.
(bpn/gah)