Jakarta - PBI mengenai penilaian kualitas aktiva produktif tujuannya bagus. Tapi, kalau diberlakukan seketika dikhawatirkan para penerima kebijakan akan
sock dan tidak aplicable. Kenapa kalangan perbankan gelisah dengan PBI ini? Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/2005 mengundang perhatian masyarakat, khususnya kalangan perbankan. Meski ada pro dan kontra, BI tetap bersikeras menjalankan peraturan tersebut. Tapi, BI berjanji akan me-
review kembali peraturan ini pada tahun depan. Hal krusial apa sebenarnya yang ada di dalam PBI ini hingga membuat kalangan perbankan merinding? Apa implikasinya bila peraturan ini tetap dijalankan? Inilah komentar Elvyn Gahadi Masassya, Direktur Kepatuhan PermataBank, kepada InfoBank, pertengahan bulan lalu. Petikannya:
Menurut Anda, apa yang menjadi kontroversi dalam PBI No. 7/2/2005, khususnya tentang kolektibilitas aktiva produktif? Sebenarnya PBI itu tidak hanya memuat tentang kolektibilitas aktiva produktif. Masih banyak hal yang dimuat PBI itu dan pantas untuk mendapat perhatian serta
concern buat praktisi. Misalnya, tentang surat berharga, penempatan atau pinjaman antarbank, dan agunan yang diambil alih. Tapi, karena aspek kredit lebih menonjol, maka itu yang ramai diperbincangkan. Secara umum, PBI ini filosofinya memang bagus. Tujuannya agar bank-bank menjadi
prudent, konservatif, dan
in the long run akan menjadi rambu-rambu yang bagus buat perbankan. Tapi, kalau itu diberlakukan seketika di mana pelakunya tidak siap, bisa jadi akan terjadi shock dan menjadi tidak
aplicable karena masalah teknis. Artinya, kalau dipaksakan, akan sulit untuk diimplementasikannya.
Hal teknis apa yang menjadi masalah dalam menyesuaikan kolektibilitas aktiva produktif? Pertama, perlu waktu bagi bank mencari informasi ke BI tentang kolektibilitas debitor di bank lain. Katakan, suatu bank punya debitor 100.000, berarti, harus ada 100.000 informasi yang diperlukan. Nah, kalau bank mengurus itu terus, bisnis dia ’
kan bisa terganggu dengan debitor bersangkutan. Kedua, dalam konteks
adjustment (penyesuaian) yang ada tiga
approach, yaitu
one debtor concept, one project concept, dan
one obligor concept. Esensi pengertian
one debtor concept adalah bank harus memberlakukan kolektibilitas yang rendah atau sama terhadap suatu debitor yang memiliki rekening di beberapa bank. Misalnya, si Badu punya kredit di bank A untuk membiayai
engineering yang berlokasi di Jakarta. Sedangkan, kredit di bank B untuk membiayai perkebunan di daerah. Nah, kalau kredit di bank A kolektibilitasnya dua, tapi di bank B kolektibilitasnya tiga, maka bank A harus meng-
adjust kolektibilitasnya menjadi tiga. Yang menjadi
debatable dan pertanyaan, bagaimana bisa dua proyek, dua
cash flow, dua kondisi, dan dua kolateral yang terpisah tapi dimiliki satu debitor kolektibilitasnya harus sama?
Kenapa debatable? Karena, PBI ini ’
kan tidak men-
declare secara spesifik. Nah,
suggest saya agar bank lebih mudah menerapkan harusnya ada contoh kasus atau industrinya seperti apa. Kalau sekarang, menurut saya, isi pasal itu lebih bersifat
umbrella. Artinya, belum mendetail. Meski detail itu harusnya ada di surat edaran (SE), tapi di SE itu sendiri ’
kan belum sampai ke sana. Saya bisa paham dan bisa menerima
one debtor concept kalau misalnya debitor itu melakukan
side screenning atau untuk proyek sindikasi.
Side screenning artinya, kredit dari sini untuk dipakai proyek sana atau kredit dari sana untuk dipakai proyek sini. Sedangkan, kalau diterapkan untuk proyek sindikasi yang artinya proyek dan
cash flow-nya sama, tapi karena jumlah kreditnya besar, bank bisa patungan. Jadi, dalam konteks
one debtor concept, menurut saya, masih perlu untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah perlu persamaan kolektibilitas.
Hal apa lagi yang menarik dalam kualitas aktiva produktif?Yang menarik adalah penyesuaian kolektibilitas bank yang dikaitkan dengan periode keterlambatan bayar. Sebelumnya, kredit dianggap macet kalau dia menunggak 270 hari. Sedangkan, sekarang menjadi lebih pendek, yaitu 180 hari. Implikasinya, kalau bank punya debitor dengan kolektibilitas golongan tiga, dengan peraturan ini, mungkin akan bergeser ke golongan empat. Implikasi selanjutnya akan mengakibatkan bank harus membentuk
provision lebih besar untuk setiap kolektibilitasnya. Dan, pada gilirannya akan mengakibatkan kemampuan bank untuk memupuk laba menjadi berkurang. Memang, bagi bank yang sudah membentuk
provision lebih besar dari peraturan BI tidak akan mengalami implikasi yang terlalu dahsyat. Karena, implikasinya cuma kelebihan
provision, yaitu menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan sebelum PBI ini diimplementasikan. Tapi, kalau bank yang
provision-nya pas-pasan, mau tidak mau, dia harus siapkan provision tambahan. Nah, buat bank-bank yang seperti ini, potensi dia untuk menaikkan profit agak berkurang.
Bagaimana dengan penyesuaian kolektibilitas one projek concept? Untuk hal yang satu ini, saya bisa terima karena
cash flow dan pengelolaannya sama. ’
Kan tidak mungkin suatu proyek sebagian bagus, sebagian
nggak. Itu
make sense.
Kalau one obligor concept? One obligor concept ’kan belum diberlakukan di sini dan tidak disebutkan dalam PBI. Yang baru berlaku adalah
one debtor concept dan
one projeck concept. Menurut saya,
one obligor concept kalau diimplementasikan harus lebih berdasarkan pada masing-masing perusahaannya. Misalnya, si Badu punya tiga perusahaan di bidang yang berbeda, kredit dari bank yang berbeda, kondisi usahanya berbeda, dan badan hukumnya berbeda. Tapi, tentunya tidak terlalu
fair kalau disamakan kolektibilitasnya.
Bagaimana dengan aspek perlakuan terhadap surat berharga dalam PBI ini? Di dalam PBI itu disebutkan bahwa bank-bank hanya boleh memiliki surat berharga yang dikategorikan golongan lancar. Dalam artian, jika surat berharga itu diperdagangkan di pasar modal dan juga memiliki
rating investment grade minimal dalam satu tahun terakhir. Namun, dalam praktiknya, tidak semua
bond atau surat berharga mendapatkan
rating dalam satu tahun terakhir. Biasanya, surat berharga atau
bond di-
rating pada saat mau dilepas ke
market atau pada saat perusahaan meng-issue. Nah, kalau surat berharga sudah masuk pasar modal, sedangkan dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) tidak ada persyaratan untuk me-
rating setiap tahun, tentu si
issuer tidak akan melakukannya. Nah, masalahnya,
bond tadi sudah dibeli bank dan jumlahnya cukup banyak. Kalau dia tidak di-
rating setiap tahun, maka tidak boleh dianggap lancar dan bank harus membentuk
provision terhadap itu. Tapi, kalau bank tidak mau membentuk
provision, berarti harus jual surat berharganya. Kalau bank harus jual surat berharga seketika, sedangkan
demand-nya
nggak ada di
market, ’kan bisa jual rugi (
cut loss).
Kalau masalah dari aspek penempatan atau pinjaman antarbank? Di perbankan itu sangat mungkin terjadi risiko sistemik. Kalau pinjaman yang diberikan kepada suatu bank dan bank itu kemudian masuk dalam pengawasan khusus, maka bank yang memberikan pinjaman harus menyiapkan
provision. Masalahnya, kita
nggak tahu bank mana yang nanti akan masuk pengawasan khusus atau bermasalah. Yang tahu cuma BI karena bisa setiap saat melakukan pemeriksaan pada setiap bank. Dalam kaitan ini, mungkin bisa sebagai suatu wacana yang dipertimbangkan, yaitu BI membuat
rating bank secara resmi tapi tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan khusus ditujukan kepada bank-bank. Karena sifatnya rahasia, bank tidak boleh membocorkannya kepada masyarakat. Memang, ini bisa menimbulkan pro dan kontra. Tapi, setidaknya, BI bisa memberikan
clue atau sinyal bahwa ada bank-bank yang berpotensi untuk bermasalah sehingga informasi ini bisa ditangkap oleh pelaku di industri perbankan.
Ada saran agar PBI ini lebih disempurnakan? BI bisa me-
review kembali kalau memang PBI ini tidak
applicable. BI bisa melakukan koordinasi dengan Bapepam atau industri lain yang tidak ada di domain industri perbankan. Sehingga, regulasi yang dikeluarkan itu
inline dan saling men-
support. Selain itu, BI bisa memberi kesempatan kepada perbankan untuk meng-
extend implementasinya lebih panjang dari yang sekarang, tidak seketika dan tidak serta merta. Saya kira, satu tahun waktu yang cukup buat bank untuk melakukan
preparation menjalankan PBI ini. Khusus tentang penyesuaian kolektibilitas agar menjadi lebih mudah diimplementasikan, sebaiknya infrastruktur makro kita lebih disiapkan lagi seperti adanya pusat informasi yang disebut dengan biro kredit atau sistem informasi debitor. Saat ini ’
kan biro kredit itu belum terealisasi. Yang ada adalah pola untuk mencari informasi debitor secara
one on one. Ini ’
kan membutuhkan waktu dan belum bisa seketika. Memang, PBI ini mengacu kepada Basel II Accord dan
no wonder bahwa substansinya bagus. Perubahan itu ’
kan ada dua
approach, yaitu secara radikal atau secara gradual. Secara radikal bisa efektif kalau pelakunya
ready dan infrastrukturnya mendukung. Tapi, perubahan radikal bisa menjadi kontradiktif kalau pelakunya tidak
ready dan bisa mengganggu stabilisasi. Maka, sebaiknya perubahan dilakukan secara gradual. Ini ’
kan bukan merupakan hal yang baru karena cukup banyak PBI sebelumnya dalam penerapannya juga tidak serta merta atau seketika.
Sebagai pelaku apakah Anda akan mematuhi peraturan ini? BI memiliki otoritas sebagai regulator dan pelaku di industri perbankan wajib untuk mematuhi itu (peraturan). Tapi, bukan berarti tidak ada
room untuk me-
review berdasarkan kondisi di lapangan yang aktual. Tujuannya agar BI bisa mengimplementasikan dengan baik dan bagi bank bisa bermanfaat. Jadi, filosofinya bukan mau menghindari dan bukan tidak mau melaksanakan, melainkan bagaimana pelaksanaannya
smooth dan semua tujuan tercapai.
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini