Teten Masduki
Tak Rela Hak Asasi Rakyat Terampas
Minggu, 28 Agu 2005 08:26 WIB
- - Pada 31 Agustus 2005, seorang pria kelahiran Limbangan Garut 6 Mei 1963 akan tampil di podium Cultural Centre, Filipina. Bersama lima orang terkemuka lainnya dari kawasan Asia ia akan menerima penghargaan bergengsi tahunan, Ramon Magsaysay Award 2005. Penghargaan bergengsi yang mengambil nama mantan Presiden Filipina itu diberikan Yayasan Magsaysay kepada mereka yang dianggap telah memberi sumbangsih besar bagi kemanusiaan.Pria itu tak lain adalah Teten Masduki, pejuang antikorupsi yang tak kenal lelah dan takut menyerukan tampilnya birokrasi pemerintahan yang bersih dan transparan, bersih dari segala praktik korupsi dan kolutif. Pada Rabu (31/8), Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) ini secara resmi akan menerima anugerah tersebut berdasarkan kategori pelayanan publik. Sejak Jumat (25/8), Teten sudah berada di Filipina untuk menyampaikan serangkaian ceramah, dan menghadiri kegiatan lainnya.Warga Asia yang akan tampil dengan Teten adalah Jon Ungphakorn dari Thailand untuk kategori pelayanan pemerintah, Dr. V. Shanta (India) untuk pelayanan publik, Matiur Rahman (Bangladesh) untuk kategori jurnalisme, literatur, dan komunikasi, Sombath Somphone (Laos) untuk kepemimpinan masyarakat, dan Yoon Hye-Ran (Korsel) untuk rintisan kepemimpinan. Sebelum Teten, Yayasan Ramon Magsaysay telah memberikan penghargaan kepada 16 warga negara Indonesia, antara lain Nafsiah Mboi (dokter), Mochtar Lubis (wartawan), Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), H.B. Jasin (sastrawan), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), Pramoedya Ananta Toer (pengarang), Atmakusumah Astraatmadja (tokoh pers), dan Dita Indah Sari (aktivis buruh)."Saya memandangnya sederhana saja. Ramon Magsaysay Award bagi saya lebih merupakan penghargaan yang bermakna simbolik bagi seluruh upaya antikorupsi di dalam masyarakat, dan dalam kerangka luas melawan segenap penyelewengan kekuasaan. Ini sebuah dorongan spirit, selain bermakna encouragement (dorongan), juga menjadi protection (perlindungan) bagi saya," ungkap Teten Masduki, yang diwawancarai usai Diskusi "Mengembangkan Jurnalisme Anggaran" yang diselenggarakan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) di Bandung, beberapa waktu lalu.Pria lulusan IKIP (sekarang UPI) Bandung jurusan Matematika dan Ilmu Kimia pada 1987 ini memang berpembawaan tenang dan berpenampilan sederhana. Pertanyaan-pertanyaan "panas" menyangkut kasus korupsi di Indonesia dijawabnya dengan mimik muka tenang, tanpa beban, dan tak ada yang ditutup-tutupi. Setenang dan setransparan saat ia menjawab akan dikemanakan jumlah uang sebesar 56.000 dolar AS (harus dibagi dua dengan Dr. V. Shanta dari India yang mendapat kategori sama) dari Yayasan Magsaysay."Selain untuk pengembangan ICW, sebagian hadiah Ramon Magsaysay Foundation mungkin disimpan untuk dana pendidikan anak. Mereka punya harapan lebih besar dari saya," tegasnya.Sosok sederhana, low profile, dan nyaris tanpa ekspresi itu mungkin lumrah saja bagi mereka yang mengenalnya sejak lama. Jauh sebelum korupsi menjadi wacana publik yang kini sangat akrab di telinga --bahkan menjadi diksi yang menghiasi setiap isi pidato para pejabat, sehingga akhirnya tak lagi bermakna apa pun-- Teten sudah melakukan rintisan upaya pemberantasan dan kampanye korupsi, di tengah risiko besar represivitas rezim otoriter. Teten dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani di Kabupaten Garut Jawa Barat, dari ayah Masduki dan ibu Ena Hindasyah. Dalam situs tokohindonesia, dikisahkan ayahnya sering berpesan agar ia jangan jadi pegawai negeri atau tentara. Pendidikan SD sampai SMA berjalan apa adanya, tanpa perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Semula ia bercita-cita menjadi insinyur pertanian. Namun akhirnya, ia kuliah di Jurusan Matematika dan Kimia IKIP Bandung.Tapi, perhatiannya terhadap masalah-masalah sosial sangat menonjol. Bahkan, sejak SMA hingga saat kuliah, ia sering ikut kelompok diskusi, mempelajari masalah sosial. Sejak 1985, Teten mulai terjun di dunia aktivis. Pertama kali dia ikut aksi demonstrasi membela petani Garut yang tanahnya dirampas. Setelah menyelesaikan pendidikannya dari IKIP, dia direkrut LSM informasi dan studi hak asasi manusia. Dia memulai aktivitasnya sebagai staf peneliti pada Institut Studi dan Informasi Hak Asasi Manusia (1978-1989).Kemudian dia menjabat Kepala Litbang Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1989-1990). Dari sana, dia beranjak menjabat Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1990-2000). Ketika itu, dia makin banyak berhubungan dengan buruh. Apalagi pada saat yang bersamaan, dia juga aktif sebagai koordinator Forum Solidaritas Buruh (1992-1993) dan koordinator Konsorsium Pembaruan Hukum Perburuhan (1996-1998).Pada era reformasi, Teten aktif sebagai koordinator Indonesia Corruption Watch (1998-sekarang). Keterlibatannya di ICW didorong kegeramannya melihat merajalelanya korupsi di negeri ini. Dia pun telah mengungkap berbagai kasus korupsi, diawali dugaan kasus suap Andi M. Ghalib. Ada sekira 400-an kasus korupsi yang diungkap ICW ke permukaan.Selain penghargaan Ramon Magsaysay, suami Suzana Ramadhani ini juga pernah mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award 1999, Alumni Berprestasi IKIP Bandung 2000, serta Stars of Asia Opinion Shapers (2004) dari Majalah Business Week.**Usai diwawancarai oleh sejumlah wartawan, di sela-sela santap siang yang disediakan panitia diskusi, Teten Masduki menjawab beberapa pertanyaan "PR" seputar penghargaan Ramon Magsaysay, gerakan pemberantasan korupsi, termasuk sikap hidup yang dijalaninya. Berikut petikan sebagian hasil wawancara tersebut.Apa makna Ramon Magsaysay Award itu bagi Anda?Bagi saya, sederhana dan tidak memandangnya sekadar sebuah penghargaan. Award itu lebih merupakan bentuk simbolik penghargaan atas upaya-upaya yang telah dilakukan seluruh masyarakat dalam melawan abuse of power atau kesewenangan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang dan praktik-praktik korup dan kolutif. Memang secara hasil kita masih sangat jauh. Tapi, kalau melihat gerakan masyarakat tumbuh secara luar biasa, bahkan sampai tingkat kecamatan, spirit itu sudah tumbuh meskipun penegakan hukum ini baru dimulai dalam pemerintahan Presiden SBY, yang tidak muncul pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengacu pada kasus korupsi yang baru diproses di pengadilan dan kejaksaan, saya berani mengatakan bahwa 90%-nya adalah hasil desakan masyarakat seperti LSM.Secara pribadi, penghargaan ini saya anggap sebagai bentuk encouragement (dorongan) dan protection (perlindungan). Satu hal penting yang mereka sebutkan saat memberikan penghargaan, bahwa korupsi adalah masalah besar di Asia, termasuk Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan berbagai elemen kekuatan dalam masyarakat memiliki risiko besar untuk melawannya.Latar belakang pendidikan formal Anda Jurusan Kimia IKIP, "kok" malah terjun dan berkubang dengan LSM antikorupsi? Entahlah. Saya tidak pernah merancang diri untuk menjadi ini atau itu. Apa yang saya lakukan lebih karena ketidakrelaan saya hak-hak asasi rakyat terampas oleh tindakan serakah mereka yang memiliki akses pada kuasa dan dana. Di sisi lain, rakyat tidak memiliki ruang untuk menyampaikan keluhan dan protes atas penderitaan mereka. Karena itu, sejak bangku sekolah menengah atas, saya sudah sering mengikuti diskusi-diskusi kalangan aktivis. Bagi saya ini (keterlibatan dalam aktivitas antikorupsi-red.) bukan sesuatu yang luar biasa, tapi semestinya inheren dalam diri mereka yang berharap munculnya perubahan praktik birokrasi pemerintahan yang bersih.Ini pertanyaan usil. Saat ini ada dua pendekar antikorupsi yang menonjol asal Jabar, yakni Anda dan Kang Erry Riyana Hardjapamekas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi kok gaung pemberantasan korupsi di sini hanya sayup-sayup. Jabar bahkan termasuk salah satu provinsi terkorup di Indonesia?Saya kira tidak berhubungan sama sekali. Keberadaan saya dan Kang Erry dalam lembaga antikorupsi, di mana saya berada di luar kekuasaan, dan Kang Erry dalam lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang (UU), memang tidak dikhususkan untuk menyelesaikan kasus korupsi di Jabar. Kalau soal kenapa upaya pemberantasan korupsi seperti berjalan di tempat, maka yang harus ditanyakan adalah kinerja aparatur penegak hukum di Jabar.Bahwa saya dan Kang Erry Riyana kerap berdiskusi tentang kasus-kasus korupsi, termasuk Jabar, memang benar. Kita juga memiliki keprihatinan yang sama tentang status Jabar sebagai salah satu provinsi terkorup di Indonesia. Yang terpenting sekarang, sebetulnya adalah terus membangun upaya penyadaran publik untuk mau menuntut hak-hak normatif dan asasi mereka. Termasuk dengan memberikan tekanan politik pada saat penyusunan anggaran. Ini yang mesti dibangun.Apakah ini terkait dengan faktor kultural?Tidak juga. Apa bedanya Jabar atau Indonesia dengan Senegal yang juga tinggi korupsinya. Jangan campuradukkan persoalan kultur dan perilaku korupsi. Dalam konteks Indonesia, saya sependapat dengan Michael Johnson yang bilang bahwa korupsi adalah problem hubungan antara masyarakat dengan negara. Ada ketidakseimbangan antara kepentingan negara dan bisnis. Jika masyarakatnya lemah dan tidak punya kemampuan ideologi, korupsi akan subur. Contohnya, sekarang hanya ada perubahan dari korupsi oligarki menjadi korupsi multipartai. Inilah salah satu realitas yang harus dijelaskan.Karena itu, ICW mengambil posisi di situ. Makanya, kami membuat program perbaikan-perbaikan, dan dalam waktu bersamaan ingin membuka ruang publik yang lebih luas seperti mendorong UU Kebebasan Memperoleh Informasi atau UU Perlindungan Saksi, mendorong mengampanyekan legal standing dan class action agar rakyat bisa menggugat koruptor kalau nanti jaksa dan polisi lebih membela koruptor.Jadi apa yang mesti dilakukan?Reformasi kelembagaan dan semua instrumen penting antikorupsi yang di negara lain sukses, semuanya sudah ada di Indonesia. Dari UU Pencucian Uang, Komisi Ombusdman, KPK, dan sebagainya. Pendekatan institusional sudah ada, tapi menurut saya, sistem itu tidak berjalan optimal dan efektif. Soalnya, yang memegang masih orang-orang lama. Berapa persen orang baru di parlemen? Mungkin tidak ada 30%. Mayoritas masih kekuatan lama. Kapan ada pensiun massal di kejaksaan? Tidak ada! Bagaimana bisa sistem baru dijalankan oleh orang-orang lama?Jadi, saya tidak bisa mengusulkan harus melakukan apa. Ini bisa dilakukan kalau ada perubahan dalam struktur politik. Saya tidak bosan mendorong pemerintah melakukan hal ini itu. Kita tahu, sedikit sekali kasus korupsi yang akhirnya diproses secara hukum. Tapi paling tidak, kita memberikan ujian bagi mereka. Dengan begitu, kita bisa memberikan social sanction sehingga masyarakat bisa tahu. Makanya, kami concern mendorong adanya UU Pemilu. Sebab asumsi kami, kalau tidak ada perubahan politik maka enggak mungkin ada perbaikan. Contohnya sudah kelihatan ketika SBY terpilih. Sudah ada perubahan dengan berkurangnya korupsi. Sebagai presiden independen, beliau tidak harus berutangAda yang mengusulkan memberikan sanksi sosial bagi pelaku korupsi?Korupsi di Indonesia tidak bisa lagi disikapi hanya dengan pendekatan hukum dan moral. Upaya penegakan hukum terbukti tidak menuai hasil optimal meskipun dengan membuat bermacam perangkat hukum dan perundangan, sebab aparatur penegak hukumnya bermasalah. Demikian pula lewat pendekatan-pendekatan moral keagamaan. Doktrin agama menjadi tidak berdaya oleh perilaku hipokrit para koruptor. Siapa bilang koruptor tidak tampak salah secara ritual, sebab mereka itu secara kasat mata tampak rajin salat, puasa, pergi berhaji, dan kerap mengumandangkan ayat-ayat suci agama. Bukan ajaran agamanya yang salah, tapi memang penerapannya yang sudah salah kaprah. Para koruptor itu juga masih diberikan sanksi sosial diisolasi dari ruang sosial publik, bagaimana mau melakukannya? Mereka itu kalau bermain golf sudah memiliki komunitas tersendiri, bahkan kalau mengaji juga ada komunitasnya, memiliki kiai sendiri untuk "mencuci" dosa-dosa mereka. Jadi yang mesti dibangun sebetulnya adalah, penyadaran secara terus-menerus kepada masyarakat bahwa korupsi itu praktik yang bukan hanya memperkaya diri sendiri, tapi merugikan orang lain. Tindakan merugikan sistem ini yang harus disadari seluruh lapisan masyarakat. Kita harus terus membangun keberanian masyarakat untuk melawan aksi korupsi, sehingga masyarakat tidak lagi mendiamkan praktik korupsi dengan membuka kasus-kasus dari semua sektor perbankan, PLN, kereta api, Garuda, RRI, kesehatan, pendidikan dan pertahanan, BUMN, pemda, APBD, dan sebagainya.Antikorupsi harus menjadi gerakan sosial. Gerakan antikorupsi saat ini masih dalam proses pencarian bentuk, metodologi, ideologi, termasuk institusi. Sejak tujuh tahun metode yang kita terapkan, juga dipakai di mana-mana, belum diperbarui. Kita menyadari pemberantasan korupsi tidak mudah. Apalagi untuk konteks Indonesia. Semua sistem hancur, juga mentalitas masyarakat. Maka, perlu dipikirkan gerakan yang sifatnya jangka panjang. Obsesi saya, bagaimana menginstitusionalisasi gerakan ini, bukan gerakan sporadis, bukan sekadar menjadi whistle blower yang sifatnya insidental atau kasuistik, tetapi gerakan melembaga.Anda sering mendapatkan teror atau ancaman?Saya tidak pernah mau mengungkapkan hal itu. Sebab, saya hanya ingin terus membangun keberanian masyarakat. Kalau saya mengatakan itu, berarti saya bisa saja menurunkan spirit dan keberanian publik. Bagi saya, itu hanya bagian dari risiko apa yang saya lakukan.Ketidakpercayaan publik sering kali disebabkan oleh tidak satunya kata dan perbuatan, termasuk dari mereka yang bergelut dalam bidang yang kini Anda lakukan. Apa yang Anda lakukan untuk terus konsisten dengan apa yang Anda lakukan dan katakan itu?Yang terpenting seseorang itu harus menyesuaikan kebutuhan dengan pendapatannya. Jangan pendapatan pada standar tertentu, tapi kebutuhan hidup Anda di atas standar penghasilan Anda. Saya justru mencontoh mereka-mereka yang berpendapatan minimum, tapi tetap ikhlas menjalani hidup dalam kesederhanaan seperti para pegawai negeri berpendapatan rendah itu. Bahwa memang faktor gaji juga berpengaruh pada perilaku korupsi, tapi saya tidak setuju faktor itu menjadi penentu. Sebab, yang sering terjadi justru sebaliknya, korupsi dilakukan oleh mereka yang sudah berpendapatan tinggi. Itu disebabkan gaya hidup konsumtif dan tidak menyesuaikan pendapatan dengan kebutuhannya.
(/)