Jilbab Menggairahkan Pasar Tekstil

Berakhir Pekan Dengan H. Benny Soetrisno

Jilbab Menggairahkan Pasar Tekstil

- detikNews
Senin, 04 Jul 2005 20:11 WIB
Jakarta - "SELAMA orang masih menutupi auratnya, maka pasar tekstil akan tetap bergairah. Sebab, pakaian itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, kita harus bersyukur dengan semakin banyaknya wanita yang memakai jilbab. Wanita dewasa yang memakai jilbab, dibutuhkan empat meter kain untuk satu setelan. Berbeda dengan mereka yang memakai pakaian mini, yang membutuhkan setengah sampai satu meter bahan," kata H. Benny Soetrisno, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dalam perbincangan dengan "PR" di ruang kerjanya, di gedung Bhuwanatala Indah Permai (BIP) Jln. Gatot subroto Jakarta, Jumat (24/6).Lelaki kelahiran Cepu, 14 Juli 1950 ini mengaku cukup bergembira dengan semaraknya penampilan wanita Muslimah berjilbab sekarang ini. Namun, ia juga tidak begitu apriori terhadap wanita yang belum memakai pakaian seperti itu. "Yang memakai pakaian mini itu sifatnya sementara. Semacam fashion show saja. Entar juga hilang dan kembali menutup auratnya. Ibaratnya, ketika sekolah pacaran, lalu ketika memutuskan untuk menikah, tentu calon suaminya akan malu kalau calon istrinya masih saja memakai rok mini, mempertontonkan udelnya," kata Benny, yang juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) ini. Benny bukanlah tipe pengusaha yang pantang menyerah. Ketika dia dihadapkan pada dua pilihan untuk menyelamatkan industri tekstil akibat kesandung pinjaman ke bank, Benny pun tidak sembarang memilih. "Ada perusahaan Robby Tjahyadi yang sudah jalan dan ada juga perusahaan Edi Tansil yang baru mau jalan. Saya pilih yang sudah jalan, meski pinjaman macetnya mencapai Rp 1,1 triliun. Tetapi, saya bersyukur dalam waktu yang tidak terlalu lama, perusahaan mampu mengembalikan Rp 800 miliar. Bagaimana saya tidak bersyukur, perusahaan yang sudah hampir bangkrut nyatanya masih bisa bangkit kembali setelah dikelola mati-matian," kata Benny, ayah dari dua anak ini, menceritakan kembali mengenai pengambilalihan PT Apac Inti Corpora, di mana ia menjadi direktur utamanya.Sebagai wujud syukurnya, Benny pun kemudian menjadikan sebagian lantai VI gedung BIP menjadi masjid. "Ada juga yang minta agar dibuat bagus dan disewakan. Saya bilang saja, kalau mau menyewa, saya bagusin yang di lantai bawahnya dan akan lebih bagus lagi. Masjid seluas 600 meter itu kalau disewakan bisa menghasilkan Rp 720 juta setahun," ujarnya. Kini perusahaan yang dikomandoinya mampu menampung 12.200 orang tenaga kerja. Padahal, ketika diambilalih tahun 1995 hanya dengan 7.000 tenaga kerja. Omzetnya ketika diambil alih hanya Rp 350 miliar, meningkat menjadi Rp 2,2 triliun (2004). Semasa kuliah di Jerman, Benny mengaku sempat kerja serabutan. "Kuliah di Jerman itu kan gratis, tetapi biaya hidup tidak ada dan mahal. Sedangkan orang tua saya hanya memberikan ongkos berangkat. Maka saya bekerja serabutan, mulai dari pekerjaan berat sampai ringan. Yang berat, sempat menjadi penjaga mesin Ford, pernah menjadi tenaga pencuci kuda, cuci piring sampai bekerja di percetakan koran," ujar pengusaha ini. Berikut petikan wawancara "PR": Bagaimana masa depan industri tekstil nasional kita?Industri tekstil ke depan sih ada. Kan industri ada karena ada pasar. Dari jumlah penduduk, pasar di Indonesia tidak kecil, tetapi tak sebesar Cina dan India. Tetapi masuk lima besar dalam penduduk dunia. Tinggal masalah pendapatan. Kalau pendapatan naik tentunya penduduk akan membelanjakan busananya lebih banyak dan lebih mahal. Tetapi, walaupun dia tak punya uang, tekstil itu kan kebutuhan dasar, pasti dia beli. Harus menutupi auratnya.Sepanjang orang masih menutupi auratnya maka itulah pasarnya tekstil. Jadi, kalau mau melihat hal yang empiris pada saat program 100 hari SBY atau pada masa-masa kampanye putaran pertama presiden agar lakukan sesuatu dalam 100 hari, itu penyelundupan tekstil berkurang sekali dan itu dirasakan sangat mendorong gairah pasar tekstil dalam negeri. Tetapi setelah program 100 hari SBY usai penyakit lama kambuh lagi. Yang menyelundup jalan lagi, sehingga terasa sekali pasar turun. Memang di Indonesia ironis sekali, ada pejabat yang menanyakan kepada saya, "Pak Benny buktinya apa (penyelundupan-red). Namanya menyelundup mana tidak ada buktinya. Kalau kita tahu ada buktinya, pasti ditangkap. Ini sama saja orang yang zinah itu, melacur. Mana buktinya. Sama-sama setuju lakukan dosa itu. Bagaimana?"Kalau diadakan suatu pengawasan dan sanksi yang ketat terhadap penyelundupan pasti akan tertangkap. Dan orang tidak akan melakukannya. Sebab, hukum dunia itu hukum yang harus dilakukan adalah diberi hadiah atau dihukum. Jangan tanya lagi hukum akhirat itu sudah pasti. Apa yang dilakukan untuk mencegah penyelundupan itu?Hukumnya harus ada dan tegas. Dulu API pernah usulkan agar UU kepabeanan itu diamendemen. Diamendemen pada sisi bahwa apabila terjadi kesalahan fisik maupun administrasi dalam pemasukan barang, itu namanya menyelundup. Harus ditetapkan karena KUHP bukan menyalahi persyaratan administrasi sehingga hanya dikenakan sanksi administrasi oleh kepabeanan. Itu ringan sekali. Ini sisi legalnya. Dari sisi fisiknya, teman-teman di bea dan cukai harus melakukan pengetatan terhadap pemasukan barang tekstil dan produk tekstil (TPT). Kalau dilihat dari struktur industri, industri pertekstilan di Indonesia sudah cukup lengkap, karena sudah ada mulai dari serat sampai pakaian jadi. Jadi bukan sepotong-sepotong.Berapa perkiraan kerugian yang dialami akibat penyelundupan tekstil itu?Waduh, kalau kerugian tekstil sih sebanding dengan jumlah korban PHK di industri tekstil dalam negeri dan kemacetan pengusaha tekstil dalam mengembalikan kredit ke bank. Kalau ada pasar, pengusaha tekstil tidak mungkin tidak mengembalikan pinjamannya ke bank, akan lancar. Kalau lancar, pasti tidak lakukan PHK terhadap karyawannya.Tapi apa sebatas itu saja yang menyebabkan PHK dan pengusaha tak bayar pinjaman?Ya, salah satunya faktor manajemen. Tapi, faktor utama manajemen seperti itu akibat frustrasi terhadap situasi. Tentunya, manajemen pertekstilan dulunya tidak masalah. Dulu memang ada kasus-kasus industri tekstil bangkrut karena faktor manajemen, seperti di Majalaya, Jawa Barat. Tetapi, sekarang ini sudah memasuki generasi ketiga. Yang seperti itu terjadi pada generasi pertama dan kedua. Sekarang kita juga masih impor bahan baku?Kita hanya impor kapas saja. Kapas itu sepertiga dari seluruh bahan baku tekstil yang dibutuhkan. Dua pertiganya sudah dapat diperoleh di dalam negeri. Nilai impor kapas sekira 600 juta dolar AS per tahun. Namun total impor tahun 2004 misalnya, mencapai 1,9 miliar dolar AS, yaitu 1,3 miliar dolar AS berupa impor suku cadang mesin-mesin pertekstilan. Meski nilainya sebesar itu, tidak masalah karena nilai ekspor yang diperoleh dari sektor tekstil sudah mencapai 7,6 miliar dolar AS (2004). Jadi, neto nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) itu mencapai 5,7 miliar dolar AS. Tahun 2005 ini ditargetkan akan mencapai 8,2 miliar dolar AS. Jadi, nilai ekspor yang dimasukkan sektor tekstil untuk republik ini masih di atas 5 miliar dolar AS, dan nilai itu juga dibutuhkan sektor otomotif, karena income industri otomotif rupiah. Dibutuhkan juga oleh sektor elektronika, telekomunikasi. Semuanya dijual dalam bentuk rupiah, tetapi barangnya dibeli dalam bentuk dolar AS. Juga industri pangan, misalnya kacang, kedelai, jagung yang diimpor dan pembeliannya dalam bentuk dolar. Seandainya kita (tekstil) tidak memberi kontribusi sebesar itu, dari mana dolar AS?Rupiahnya bisa menjadi Rp 15.000,00. Termasuk juga dibutuhkan industri surat kabar, karena masih impor bahan baku kertas. Tiap tahun nilai ekspor tekstil ditargetkan naik rata-rata 600 juta per tahun. Nilai ekspor tekstil untuk tahun 2010 sebesar 14 miliar dolar AS. Untuk mencapai target tahun 2010 itu, dibutuhkan investasi sebesar 13,5 miliar dolar AS. Itu sudah disampaikan kepada pemerintah, terutama kepada Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.Apakah target itu bisa dicapai?Kita optimis bisa tercapai. Tetapi, kita tidak jalan sendiri. Diperlukan kerja sama dengan semua pihak. Untuk mencapai itu memang tidak mudah, karena banyak hal lainnya yang juga mesti diperhatikan. Misalnya, biaya infrastruktur, khususnya pelabuhan mahal, yang menyebabkan investor masih segan. Pelabuhan mahal, karena dibuat sendiri oleh para anggota yang mengelola pelabuhan itu sendiri. Bukan mahal karena teknologi, karena kesalahan tidak sengaja. Tetapi, mahal karena disengaja, dan yang melakukannya tidak merasa bersalah dan secara objektif sebenarnya salah. Ini terjadi karena ada interes kelompok masing-masing. Mazhabnya lain, sehingga tidak pernah bersalah. Mazhabnya, serba benar.Jika melihat angka itu, posisi penerimaan dari ekspor tekstil itu bagaimana jika dibandingkan dengan sektor perkayuan?Sekarang ini, tetap nomor satu tekstil. Kalau neto, ekspor dan impor tekstil nomor satu. Dibandingkan dengan pendapatan negara dari sektor migas sekalipun, tekstil itu nomor satu. Itu kalau dilihat dari neto. Migas ekspornya 11 miliar dolar AS, tetapi impornya 7 miliar dolar AS. Apalagi kayu, kondisinya sekarang habis.Hambatan lain yang dirasakan di dalam negeri apa?Sekarang ini hambatan yang dirasakan adalah energi. PLN dengan segala kehebatannya juga ternyata masih mengalami kesulitan untuk melakukan investasi pembangkit. Lalu bahan bakar untuk industri tekstil juga sudah menyesuaikan dengan harga internasional, dalam pengertian harganya sama dengan harga di negara-negara yang tidak mempunyai sumber daya alam minyak bumi. Beli di Singapura dan di Indonesia harganya sama. Pertanyaannya, yang menang apa kita? Suku bunga bank juga belum kompetitif dibanding negara Asean saja. Terakhir, Tuhan memberikan posisi negara kita paling ujung dunia, jauh dari pasar. Secara geografi, kalau pasar itu ada di utara, kita paling jauh jika dibandingkan dengan pesaing kita RRC, India, Pakistan, dan Turki. Kita paling jauh, berada di usus buntu. Kita dekat dengan Australia, tetapi penduduk negara kanguru itu tidak lebih dari 20 juta orang. Kalau itu disadari, mestinya mencari faktor-faktor lain untuk bias menutupi ketidak kompetitifan kita itu. Seperti energi, harus ada kebijakan energi yang tetap bisa mendukung industri tekstil dalam negeri. Sumber energi kita bermacam-macam. Pertama, termahal BBM dan kita punya sendiri. Kedua, batu bara. Ketiga, air. Keempat, panas bumi. Panas bumi itu tidak akan pernah diekspor. Mulai dari Aceh sampai ke timur sana (Irian), hampir semua gunung itu menyimpan energi panas bumi, punya kawah. Tidak bisa diekspor, paling bisa dimanfaatkan untuk mandi air panas saja. Tidak ada artinya. Lebih baik dijadikan pembangkit listrik. Kalaupun mahal, tetapi jika untuk investasi jangka panjang, mestinya orang mau, asal investor tidak diganggu saja. Minyak dan batu bara boleh dijual (ekspor), tetapi energi panas bumi tidak bisa diekspor.Yang lebih murah lagi adalah sumber energi air. Investasinya mungkin mahal, terlebih membuat dam. Tetapi, dampak ikutannya banyak. Bisa mengairi sawah, perikanan, wisata, air minum bersih, listrik. Dampaknya banyak. Lalu, pembangkit mini hidro yang memanfaatkan air terjun yang banyak dijumpai di sejumlah daerah. Ini dibangun untuk mencukupi energi daerah setempat. Banyak air terjun di Indonesia. Tak perlu bangun dam.Hingga sekarang, berapa jumlah industri tekstil nasional kita dan berapa jumlah tenaga kerjanya?Yang terlibat langsung kerja (pabrik) 1,2 juta orang. Angka ini sudah berkurang sebanyak 200.000 orang akibat PHK sejak krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998. Mereka ini bekerja pada 2.669 industri/pabrik atau berkurang 130 akibat bangkrut/tutup sejak 1998. Rata-rata di pakaian jadi. Ini juga terjadi antara lain akibat membanjirnya pakaian selundupan. Kalau toko-toko pakaian jadi tidak menjual barang impor (setengah menyelundup dan selundupan) seperti dari Cina, industri pakaian dalam negeri akan ramai. Semua orang bicara tentang usaha kecil dan menengah, tetapi tidak tahu bagaimana menolong mereka. Kalau mau menolong, tak usah dikasih duit, tetapi pemerintah harus tegas memberantas penyelundupan pakaian jadi itu, sehingga industri pakaian jadi dalam negeri kembali lebih bergairah lagi.Bagaimana pandangan Anda mengenai bantuan Jepang untuk industri tekstil Jabar?Jepang itu memiliki program economic partnership programme (EPA). Free trade (perdagangan bebas) Indonesia dan Jepang ada di dalam EPA itu. Ketika berdialog dengan Jepang, saya pernah minta agar Jepang memberikan kredit yang digunakan untuk mengganti mesin-mesin tekstil yang umurnya sudah terlalu tua. Semua pihak harus diberi kesempatan. Perusahaan mesin di Jepang dapat pekerjaan, lembaga keuangan maupun leasing Jepang dapat pekerjaan. Sedangkan pengusaha Indonesia diberikan kesempatan mengganti mesin tua menjadi baru. Semua pihak, win-win, dong. Kita tidak minta kredit untuk membeli mesin Eropa, tetapi untuk membeli mesin buatan Jepang. Juga tidak minta mesin yang tidak ada, tetapi mesin yang tua diganti dengan merek Jepang yang sama, tetapi modal terakhir. (/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads