- - Siapa pun, pasti sudah kenal serangga bernama nyamuk. Makhluk berukuran tubuh begitu kecil, meski belum sampai pada skala mikro. Sangat tidak imbang jika harus diperbandingkan dengan ukuran tubuh manusia, apalagi gajah dan dinosaurus yang sudah almarhum jutaan tahun silam. Karena kecilnya, sering kali kehadirannya -- meski dianggap pengganggu -- disepelekan manusia. Bahkan, selama ia tidak mengganggu, baik melalui gigitan moncongnya atau teror suaranya yang mendengung di telinga sehingga membuat orang susah tidur, manusia cenderung tak peduli. Dalam tidurnya yang lelap, manusia sering pula "merelakan" sekian mililiter darahnya disedot sang nyamuk. Dalam keseharian, manusia juga sering menganggap sepele nyamuk.Padahal, di balik bentuknya yang kecil dan relatif rapuh, nyamuk adalah salah satu makhluk Tuhan yang paling berbahaya. Bayangkan saja, gigitan satu ekor nyamuk spesies Aedes aegypti yang menjadi vektor demam berdarah dengue (DBD) bisa mengirim 50 orang ke rumah sakit. Bahkan di antaranya harus kehilangan nyawa. Atau lihat juga nyamuk jenis Culex, yang bisa menyebabkan kaki normal manusia membengkak sebesar kaki gajah karena ia memang salah satu vektor penyebaran penyakit kaki gajah atau filariasis.Setiap tahun, meski manusia dikaruniai kecerdasan untuk belajar dan menghindar dari musibah yang sama, tetap saja nyamuk selalu menjadi sumber masalah. Hari-hari terakhir ini, di sejumlah daerah di tanah air masih disibukkan oleh ulah si Aedes yang menebar virus dengue (baca dengi) dan merenggut ratusan korban. KLB (kejadian luar biasa) DBD yang diindikasikan oleh jatuhnya korban jiwa, selalu terjadi setiap tahun. Berbagai upaya sudah dilakukan, tapi korban terus berjatuhan. Dan biasanya, setelah puas menebar maut lewat DBD, keluarga nyamuk juga seolah "pintar", dengan menghentikan serangan DBD, tapi mengganti dengan serangan lain yang tak kalah berbahayanya, seperti cikungunya dan malaria. Pertanyaannya, apa memang nyamuk sulit diberantas?"Apa pun upaya manusia, sebenarnya tak bisa melenyapkan nyamuk. Dulu kita sempat dibuat bangga dan begitu yakin dengan DDT, semua jenis serangga, termasuk nyamuk bisa diberantas. Tapi nyatanya? DDT malah menimbulkan bumerang, bukan saja karena dampak lingkungan DDT yang luar biasa merusaknya, tapi juga memunculkan sifat resistensi pada serangga. Itu karena kita terlalu sombong, seolah-olah dengan program eradikasi, serangga pengganggu itu bisa dilenyapkan. Makanya, yang bisa kita lakukan adalah pengendalian, termasuk dalam urusan nyamuk," kata. Prof Dr. Ridad Agoes, dr. M.P.H., DAPE, ahli epidemiologi dan parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).Prof. Ridad adalah salah seorang dalam jajaran "manusia langka" di Indonesia. Maklum saja, sebagai seorang dokter, ia lebih memilih asruk-asrukan meneliti nyamuk daripada sekadar menjadi dokter spesialis yang setiap hari mengobati para pasien di rumah sakit atau tempat praktiknya. Di Indonesia sendiri hanya ada beberapa pakar yang menggeluti soal nyamuk. Selain Ridad, sebut saja Prof. Sulaksono dari ITB atau Prof. Sugeng Yuwono dari UGM, serta beberapa orang pakar lainnya."Saya memang lebih menyukai epidemiologi dan public health karena ingin memberi sesuatu yang berarti bagi banyak orang daripada sekadar ngurus satu dua orang pasien," demikian akunya dalam suatu kesempatan wawancara dengan "PR" di kantornya, Gedung Pascasarjana Fakultas Kedokteran Unpad, Bandung, belum lama ini.Meski dilahirkan di Jakarta pada 18 September 1940, Ridad tetap saja mengaku sebagai wong Cerbon yang tak lupa akan tanah leluhurnya. Darah pengabdiannya di bidang kesehatan sudah ia warisi dari sang ayah, seorang dokter ahli rontgen zaman Belanda yang terkenal dengan kedisiplinannya yang tinggi. Masa anak-anak hingga kelas 3 SD, ia habiskan di Cirebon, karena kebetulan saat itu sang ayah ditugaskan di Semarang. Setelah zaman normal, persisnya ketika Ridad kelas 3 SD, ia bersama keluarganya pindah ke Jakarta.Saat lulus SMA, Ridad sebenarnya ingin kuliah di ITB, tapi gagal. Kebetulan saat itu program kedokteran Unpad baru dibuka, ia pun mencoba mendaftar dan diterima. Karena lebih suka memilih ke epidemiologi dan public health, warisan sang ayah berupa peralatan kedokteran, termasuk alat rontgen, tak bisa ia manfaatkan. "Ayah saya meninggalkan sejumlah peralatan rontgen di Jakarta dan diserahkan ke sebuah rumah sakit Islam. Saya lebih suka asruk-asrukan ke lapangan," kata Ridad.Setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Unpad, Ridad sempat menjelajah ke sejumlah perguruan tinggi di berbagai negara. Di Jerman ia pelajari teknik perkembangan laboratorium kesehatan. Lalu di negeri jiran Malaysia ia mengambil parasitologi dan entomologi. Setelah mendapat gelar master dalam public health (M.P.H.) di Amerika Serikat, Ridad pun meneruskan sekolah di Kobe Jepang untuk Laboratorium Mikrobiologi. Ia juga pernah belajar epidemiologi penyakit tropis di Bangkok, Thailand. Hasil pernikahannya dengan Prof. Etty Roesmaryati Agoes, sang "professor nyamuk" ini dikaruniai dua orang anak. Berikut petikan wawancara lengkap dengan pria yang berpenampilan kalem dan ramah ini.
Bisa Anda jelaskan bagaimana sebenarnya posisi nyamuk di alam semesta?Sejak 400 juta tahun silam, sebelum manusia hadir di muka bumi, nyamuk sudah ada. Selama ratusan juta tahun mereka mengalami perkembangan kesempurnaan, sehingga bisa survive dalam berbagai kondisi alam. Tuhan sepertinya menciptakan bumi ini bukan untuk manusia, tapi serangga. Buktinya, nyamuk sebagai salah satu bagian dari serangga, bisa ada di mana-mana. Bukan main istimewanya.Pada periode Jura -- zaman Jurassik -- saat dinosaurus musnah, nyamuk bisa bertahan, sehingga mampu memiliki kemampuan adaptasi yang lebih sempurna. Misalnya nyamuk Aedes aegypti -- vektor virus dengue -- sudah sedemikian rupa menyempurnakan diri sehingga bisa hidup di kota modern, di bak mandi, dan talang air. Padahal, jenis Aedes albofictus masih hidup di hutan-hutan. Aedes aegyti evolusinya sudah sempurna, sehingga disebut juga nyamuk urban (kota). Sehingga, tanpa ada hutan pun mereka bisa hidup.
Aslinya spesies Aedes aegypti dari mana?Dilihat dari asal-usul dan tata bahasa, nama aegypti berasal dari Mesir. Mungkin dalam sejarahnya, terbawa ke Asia oleh orang-orang Arab Timur Tengah saat mencari rempah-rempah. Mereka singgah mulai dari Myanmar, Aceh, Malaka, hingga Maluku. Mereka membawa telur-telur nyamuk yang berada di tong-tong air. Di Mesir sendiri dan Sudan bukan virus dengue namanya, tapi lebih dikenal dengan yellow fever (demam kuning). Di sini tak ada yellow fever. Dengue sendiri berasal dari bahasa lokal Afrika yang artinya demam menggigil. Adaptasinya di kawasan Asia luar biasa, sehingga Aedes aegypti bisa mengalahkan Aedes albofictus atau yang oleh beberapa kalangan disebut Asian Tigers karena warna kulitnya yang belang-belang.
Bagaimana dengan perilaku nyamuk?Nah, ini yang unik. Dalam hal perilaku, sepertinya Tuhan juga sudah membagi-bagi wilayah kerja dan jam operasi masing-masing nyamuk. Ya, seperti pembagian kavling. Kawasan desa dengan sawah dan rumput, dikuasai albopictus. Sedangkan kawasan kota dengan tempat-tempat yang bersih dikuasai aegypti. Aedes aegypti ini lebih ganas, sehingga sering disebut vektor ganas. Caranya menghisap darah sedikit demi sedikit, tapi berpindah-pindah (multiple bitters), sehingga menjadi lebih berbahaya karena jika membawa virus bisa menyebar ke banyak orang.
Bagaimana kita bisa menentukan bahwa yang menggigit adalah Aedes aegypti, dan bukannya Culex?Yang patut diketahui adalah yang berbahaya itu nyamuk betina, karena merekalah yang menggigit manusia untuk kemudian menghisap darah. Darah itu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan zat putih telur nyamuk betina agar bisa mempertahankan regenerasinya. Sedangkan nyamuk jantan, pekerjaannya hanya menghisap sari-sari buah-buahan. Nah, yang unik, perilaku nyamuk Aedes aegypti ini mirip dengan jam kerja PNS. Waktu menggigit korban seperti jam kerja PNS, yakni mulai sekitar pukul 8.00 WIB sampai jam 12.00 WIB, lalu istirahat sebentar, dan sekira jam 13.00 WIB hingga sore hari, bekerja lagi. Setelah matahari terbenam, mereka pun istirahat. Nyamuk Aedes termasuk nyamuk rumahan, alias suka di indoor. Setelah itu, giliran jam kerja nyamuk Culex yang mulai bekerja pada malam hari, sementarta pada siang hari tidur.
Kalau begitu, siapa saja yang berpotensi terkena gigitan Aedes aegypti?Orang-orang yang banyak tinggal di rumah, anak-anak kecil yang tidur siang, serta kurang gerak, lebih potensial terkena serangan Aedes. Begitu juga dengan anak-anak sekolah, yang sanitasinya kurang bagus, mudah jadi sasaran Aedes. Makanya, yang penting adalah jangan diam jika di rumah, lebih baik banyak bergerak, karena Aedes lebih memburu sasaran yang diam pada saat jam makan mereka. Hasil penelitian saya juga memperlihatkan bahwa sekolah-sekolah yang buruk sanitasinya, sangat potensial dan ditemukan banyak kasus DBD. Misalnya bak mandi yang tidak dibersihkan dan anak-anak sekolah serta guru yang cenderung diam di kelas, sementara tubuh mereka relatif terbuka, mudah diserang nyamuk. Makanya, pakaian Muslimah yang lebih banyak menutup bagian tubuh, relatif memberi perlindungan dari serangan gigitan Aedes.Apa yang kita lakukan untuk mengurangi serangan DBD?Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan demam dengue. Vaksin juga belum diciptakan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah pencegahan dan pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Tapi, itu juga tidak mudah. Buktinya, pemerintah sudah berusaha banyak, tapi tiap tahun penyakit DBD terus muncul dan memakan korban. Bukan hanya DBD, tapi juga malaria oleh nyamuk Anopheles dan filariasis (kaki gajah) oleh nyamuk Culex.Kira-kira apa yang menjadi persoalan pokok, sehingga semua upaya itu sepertinya tak membuahkan hasil?Ibarat dalam perang, untuk bisa memenangkan peperangan, kita harus mempelajari musuh kita. Baik kekuatan, sifat-sifat, atau pun kelemahannya. Dalam kasus DBD, kita harus akui jujur, belum tahu betul karakter nyamuk dan virusnya. Sementara yang sudah kita pelajari pun belum diterapkan. Misalnya dalam kasus Aedes, dengan kemampuan terbang hingga 100 meter, maka tidak hanya cukup dengan penyemprotan di satu lokasi jika ditemukan kasus DBD. Yang harus dilakukan adalah program serentak di seluruh wilayah. Senjatanya sudah ada, tiap warga sudah punya, mulai dari alat fogging, semprotan, sapu nyere, hingga obat anti nyamuk bakar, dan oles. Tinggal bagaimana seluruh potensi dan kekuatan itu dimanfaatkan dengan serentak dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.Kita harus mengambil contoh pemerintah Cina saat negeri itu melakukan pembasmian burung gereja yang sudah mengganggu produksi pertanian mereka. Mereka berhasil membasmi burung gereja karena seluruh komponen masyarakat dilibatkan. Untuk bisa seperti itu, kita sebenarnya tak sulit. Apalagi di masa lalu kita juga sudah pernah melakukan program serupa, seperti dalam kasus pengendalian penyakit cacar. Mengapa sekarang cacar boleh dibilang sudah tak ada di Indonesia? Ya, karena kita dulu begitu serius dengan serentak melakukan program pembasmian cacar.Mestinya di Kota Bandung ini tidak perlu lagi ada kasus DBD karena orang-orangnya sudah pada pintar dan mengerti soal DBD. Dokternya juga banyak, rumah sakit pabalatak, pengasapan bisa dilakukan. Tapi mengapa masih juga ditemukan korban DBD? Karena kita menjalankan program setengah hati. Entah ya, mungkin kita harus menunggu bencana itu seperti tsunami, baru kita tergugah bersama-sama, mengerahkan seluruh kemampuan. Kita sudah benar melakukan pengendalian nyamuk, tapi keserentakan itu yang tak punya. Jangan hanya mengandalkan pemerintah.
Tapi, "fogging" juga seringnya tak efektif?Ya, kita memang sulit melakukan fogging secara menyeluruh. Banyak alasannya. Bukan saja ada bagian-bagian rumah yang selalu luput dan tak terkena semprotan karena dilarang oleh pemilik rumah, tapi juga banyak pemilik rumah yang terang-terangan melarang rumahnya disemprot. Jadinya, ya nyamuk di satu rumah atau bagian tertentu rumah memang mati, tapi karena rumah atau bagian rumah yang tak disemprot, jadilah nyamuk bersembunyi di dalamnya.
Bagian mana atau tempat-tempat apa saja yang potensial menjadi sarang nyamuk?Dari hasil penelitian saya, rumah-rumah yang berpenghuni dan diurus dengan baik, biasanya relatif aman bagi penghuninya. Tapi, bangunan-bangunan umum seperti masjid, sekolah, terminal, pasar, dan rumah-rumah yang tak berpenghuni, selalu ditemukan banyak nyamuk. Iklan-iklan di tv itu yang memerintahkan menguras bak mandi, tidak seluruhnya tepat. Harus dilihat dulu bak mandinya dan juga lokasi rumahnya. Bagi rumah yang sumber airnya melimpah, mungkin saja menguras bak mandi menjadi keharusan. Tapi bagi rumah-rumah yang berlokasi di daerah dengan sumber air sulit, menguras bak mandi itu sama saja dengan buang-buang air. Sudah air sulit didapat, begitu sudah terkumpul malah dibuang-buang, kan sayang. Makanya, bagi daerah yang sulit air, tidak selalu harus menguras bak mandi, tapi bisa juga dengan penambahan abathe.
Bagaimana dengan kampanye pencegahan DBD yang dibuat pemerintah atau kelompok tertentu?Kita kampanyenya asal buat. Beda misalnya dengan Singapura. Singapura selalu menguji terlebih dahulu setiap slogan kampanye yang akan disosialkan kepada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian itulah, baru kemudian dibuat slogan kampanye. Misalnya, dari hasil penelitian ditemukan nyamuk bersarang di talang-talang air rumah. Makanya, kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan pembuatan talang air di setiap rumah. Setiap developer diwajibkan mematuhi aturan itu, tanpa talang dan membiarkan air langsung jatuh, sehingga tak ada peluang bagi nyamuk untuk bersarang.
Bagaimana dengan ketersediaan zat penolak nyamuk secara alami?Zat penolak nyamuk memang ada. Yang buatan sudah banyak di toko dengan berbagai macam merek. Sedangkan yang alami, nenek moyang kita dulu selalu mengoles minyak kayu putih saat digigit nyamuk. Itu ternyata bukan saja mengamuflase bau badan sehingga nyamuk tidak tertarik, tapi juga sekaligus mengusir nyamuk.
Sikap masyarakat sendiri menghadapi nyamuk?Ini juga ada yang unik. Kita, kalau lihat laba-laba, satu saja, jaraknya jauh lagi, langsung merasa jijik, atau malah takut. Tapi, begitu melihat nyamuk, "cuek" saja. Asal tidak mengganggu, ya "cuek". Padahal, jangan sepelekan nyamuk, karena satu ekor bisa saja membunuh 50 orang. Jadi, sekarang pandangan masyarakat tentang nyamuk harus diubah, jika lihat seekor nyamuk, ingatlah 50 orang yang tergeletak tak berdaya di rumah sakit.
Apakah semua penyakit dengue gawat?Tidak. Pada umumnya gejala dengue adalah demam, ngilu, dan pusing. Orang lebih panik jika diklaim berpenyakit tifus. Demam itu sebagian besar dengue, sedangkan yang menimbulkan kematian adalah DBD dengan puncaknya pada syndrome shock dengue (SSD). Sayangnya, tak ada sifat kekebalan jika seseorang sudah tergigit Aedes. Tak ada cross immunity terhadap vektor lain, yang justru terjadi adalah secondary infection (infeksi kedua) jadi lebih parah. Tapi ini masih dalam perdebatan banyak ahli.
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini