"Perumnas dianggap sebagai pengembang biasa karena yang disubsidi cuma pembeli lewat KPR. Rumah dianggap komoditas komersial biasa, bukan lagi kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan," kata Himawan saat bersama jajaran direksi berkunjung ke redaksi detik pada Kamis, 10 September 2015.
Karena itu, harga tanah, infrastruktur, kredit konstruksi, dan lainnya, semua menggunakan pendekatan komersial, sehingga hanya masyarakat berpenghasilan tinggi yang bisa membeli rumah di perkotaan. Sedangkan yang berpenghasilan rendah hanya mampu mencicil rumah di lokasi yang jauh di pinggiran kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana Perumnas akan berkontribusi dalam program Sejuta Rumah yang dicanangkan Presiden Jokowi akhir April lalu? Bagaimana pula lahan yang kian terbatas dan amat mahal bisa didapatkan oleh Perumnas? Alumnus Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu membeberkannya dalam petikan perbincangan berikut ini.
Bagaimana peran Perumnas dalam mewujudkan program Sejuta Rumah?
Pada 1970-an, Presiden Soeharto mendirikan Perumnas dengan meniru Housing and Development Board (HDB). Bedanya, di Singapura, HDB diawasi langsung oleh perdana menteri dan punya dua institusi penyokong yang sangat kuat, yakni Central Provident Fund, yang membiayai dan meng-collect dana untuk membiayai public housing, serta Urban Redevelopment Authority, yang menguasai land (bank tanah). Hasilnya, saat ini 90 persen warga Singapura sudah memiliki rumah yang disediakan oleh HDB.
Pada era awal itu, Perumnas juga berhasil membangun perumahan besar-besaran di seluruh Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke. Misalnya di Depok, yang pada awal 1970-an cuma kelurahan, lalu di Bekasi, Antapani-Bandung, dan kota lainnya. Pada 1980-an juga sudah membangun konsep perumahan vertikal, seperti Rumah Susun Kebon Kacang, Tanah Abang, dan Klender, juga di Ilir Barat, Palembang. Hingga awal 1990-an, Perumnas dapat menyediakan 48 ribu rumah per tahun.
Namun, seiring berjalannya waktu, regulasi-regulasi berubah dan Perumnas dianggap sebagai pengembang biasa karena yang disubsidi cuma pembeli lewat KPR. Rumah dianggap komoditas komersial biasa, bukan lagi kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan.
Apa yang terjadi kemudian dengan perubahan kebijakan tersebut?
Cuma di Indonesia penyediaan public housing itu dilepas ke mekanisme pasar. Padahal, di Singapura, Jepang, Tiongkok, pemerintahnya pasti mengintervensi dari supply side. Akibat market mechanism itu, harga tanah, infrastruktur, kredit konstruksi, semuanya komersial approach-nya. Sekarang daya beli masyarakat, meskipun diberi insentif seperti KPR, makin lama makin tidak terjangkau.
Apalagi jika investor dan spekulan lahan makin menguasai lahan-lahan di perkotaan. Inilah yang menyebabkan lahan di Jakarta dikuasai sedikit pelaku besar. Di Surabaya juga seperti itu. Semakin miskin seseorang, semakin jauh lokasi rumah yang bisa dia beli. Akibatnya, para pekerja mencari petakan-petakan, kos-kosan, dan akhirnya terciptalah kawasan kumuh dan padat di kota-kota besar.
Terkait program Sejuta Rumah, apa prasyarat yang perlu dipenuhi agar Perumnas bisa kembali berperan optimal?
Perumnas harus ditempatkan kembali seperti semula, dengan merevisi peraturan pemerintah untuk memudahkan aspek penugasan, juga melindungi dari masalah lahan. Ini sebenarnya perannya sebagai land banking, developer, property management, dan pengelola kawasan rumah susun dan sebagainya. Itu yang kami usulkan. Di Singapura, harga perumahan rakyat 50 persen dari market price, bahkan lebih rendah lagi.
Β Di sana, begitu masyarakat membeli, bisa dijual lagi, tapi (harus) ke HDB lagi, bukan kepada pihak luar. Kalau di Indonesia, Perumnas selesai bangun, ya sudah, selesai, lalu diserahkan ke pemda. Bagi pemda yang memiliki anggaran cukup, mengelolanya bisa lebih bagus. Tapi yang enggak punya anggaran cukup harus berbagi sehingga perumahannya menjadi kumuh.
Saya melihat, kalau di sektor pangan peran Bulog sudah dimaksimalkan, di sektor papan, saya berharap Perumnas bisa didorong menjadi stabilisator harga untuk menjadi pionir membuka kawasan-kawasan baru seperti yang dulu dilakukan.
Bagaimana dengan tingkat kapasitas produksi yang ada?
Di beberapa national housing agency, tidak semuanya membangun. Dia bisa sebagai standby buyer seperti di India. Dia keluarkan spesifikasi, lalu ditenderkan. Lalu pengembang-pengembang bangun di seluruh provinsi, kemudian dibeli. Setelah dibeli, dia lempar ke pasar dengan harga yang lebih murah. Kalau di Indonesia ada 400 kabupaten kota, 1 kabupaten/kota bangun tower 1.000 saja, kita beli. Sudah 400 ribu. Jadi program sejuta rumah bisa diselesaikan. Kan tidak dikasih gratis ke masyarakat. Dalam PP itu sudah kita lengkapi bahwa Perumnas bisa menjadi standby buyer. Tentunya dibutuhkan pendanaan yang sangat kuat.
Peran Perumnas waktu dulu didirikan berfungsi sebagai urban development. Tidak hanya bikin rumah, tetapi membuat sebuah kota dan menata kota. Bagaimana menyediakan rumah di tengah kota bagi masyarakat, bukan menyediakan rumah jauh dari luar kota. Sekarang karyawan dan buruh menjerit karena ongkos transportasi mahal, biaya sewa rumah di tengah kota mahal. Ini yang sebenarnya konsep pembangunan rusun atau apartemen rakyat sebenarnya harus didukung secara maksimal oleh pemerintah daerah.
Di negara-negara lain juga seperti itu, ya?
Di Jepang, konsep pembangunan public housing itu standarnya harus 15 menit walking distance dari stasiun. Jadi dibuatnya dekat dengan simpul-simpul stasiun. Tanahnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Kalau kita sekarang malah disuruh wajib setor kepada pemerintah daerah. Kalau di sana, pemerintah daerahnya harus mengatur tata ruangnya dan 20 persen dikasih untuk public housing yang lokasinya tadi. Peran national housing agency di sana sangat powerful, sementara kita harus izin, bebasin sendiri.
Bahkan di Singapura, sekarang ini membuat permukiman untuk membuat situasi ketahanan politik ataupun menjaga masalah sosial. Seperti meluncurkan ethnic integration programme agar tidak ada bentrok antara keturunan India dan Melayu. Dalam sebuah tower itu harus di-blended, sehingga tidak terjadi I'm Malaysian, you're Chinese, but we are Singaporean. Terakhir HDB bikin konsep perpaduan usia. Kalau anak tinggal di tower dekat orang tuanya, si anak dikasih insentif. Supaya anaknya lebih produktif, cucunya dititipkan ke kakek-neneknya. Mereka ini sampai memikirkan seperti itu. Permukiman dipakai untuk membuat harmonisasi sosial.
Tapi lahan di kota-kota besar sudah dikuasai swasta. Bagaimana Perumnas akan menyiasati pengadaan lahan?
Banyak hal yang bisa dioptimalisasi, seperti lahan aset milik BUMN, lahan di pinggiran stasiun kereta, kantor-kantor pemerintah yang mungkin sudah bisa diefisienkan, lalu sisa lahannya dihibahkan untuk permukiman, juga lahan di kompleks instansi tertentu yang lebar-lebar. Juga lahan di sejumlah pasar tradisional. Kan bisa nanti dibangun 1-3 lantai untuk pasar, selebihnya untuk hunian, seperti di Hong Kong.
Kalau itu ditata ulang, peluangnya masih ada. Tapi memang harus ada kebijakan yang mengatur. Di beberapa negara sudah dilarang membangun landed house. Di Perumnas ini lahan yang diberikan tidak begitu banyak, jadi harus kami sendiri yang gerilya. Seharusnya bisa by policy. Tanah eks perkebunan dan sebagainya itu bisa dijadikan kota baru. Sekarang ini beberapa pengembang swasta itu land bank-nya lebih besar daripada kita. Di suatu tempat di Jakarta Utara itu pengembang swasta bisa memiliki lebih dari 3.000 hektare, sementara Perumnas total di Indonesia tinggal 2.000 hektare. Harusnya kita minimum (punya) 20 ribu hektare.
Untuk mengatasi pendanaan, kenapa tidak bekerja sama dengan Jamsostek, yang punya banyak simpanan?
Baik Jamsostek maupun institusi yang lain banyak memiliki dana. Tapi mereka juga punya aturan, hanya sekian persen yang bisa diinvestasikan. Ada juga institusi yang lain yang tidak punya uang tapi punya tanah. Memang sinergi antar-institusi belum menyatu. Saya sendiri lebih senang kalau ada kerja sama. Tapi mereka mungkin lebih senang bikin anak usaha. Harusnya sih kembali pada tugas pokok masing-masing.
Pemikiran tadi sudah disampaikan kepada Presiden?
Kalau bicara dengan beberapa menteri, sudah. Singapura bisa (menyediakan perumahan bagi 90 persen warganya) karena perdana menteri langsung turun tangan. Filipina yang mulai bangkit melakukan penataan, chairman-nya langsung wakil presiden. Thailand juga.
Khusus di Jakarta yang demikian crowded, apa masih mungkin dibenahi?
Bisa. Ahok saja bisa benahi Kampung Pulo. Kita tentu bisa juga dengan cara yang lebih baik.
Di beberapa negara, sekali membangun rumah susun itu 20 tower, yang dilengkapi dengan daerah komersial, belanja, sarana bermain, food court. Itu dinamakan memindahkan komunitas lama ke komunitas yang lebih baik. Tidak cuma bangun-bangun saja. Apa yang Perumnas lakukan di Klender, di beberapa tempat menggunakan proses itu.
Kalau rusun di Klender dan Kebon Kacang masih punya Perumnas?
HPL (hak pengelolaan lahan) masih Perumnas.
Ada rencana untuk peremajaan karena sudah kumuh sekali?
Rencananya memang menata ulang. Saat ini masih terjadi perdebatan dengan penghuni. Di beberapa tempat lain kita sudah bersepakat meremajakan, nanti mereka tidak perlu menambah biaya. Dapat tanggungan uang sewa selama proses pembangunan. Setelah itu mereka nantinya akan tinggal di tempat yang lebih baik dan pasti nilai komersialnya jauh lebih tinggi. Fasilitasnya kami perbaiki.
Namun kadang-kadang dalam satu kompleks itu pendapatnya berbeda-beda. Kalau sekarang cuma 4 lantai dan dihuni sekitar 600 keluarga, nanti bisa dibuat 20-25 lantai. Jadi daya tampungnya bisa 1.500-2.000 keluarga. Selain di Jakarta, (rusun) di Medan dan Palembang akan ditata ulang. Cuma negosiasinya yang alot di Jakarta.
BIODATA
Nama: Himawan Arief Sugoto
Tempat/Tanggal Lahir: Solo, 1963
Pendidikan
β’Β Β Β Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, 1990
β’Β Β Β Master in Project Management Universitas Indonesia, 2001
Karier
β’Β Β Β Representative & Civil Engineer di Shiraishi Corporation Japan General Construction, 1990-1995
β’Β Β Β Chief Operation Officer di PT Prosys Bangun Nusantara (Bakrie Group), 1995-2000
β’Β Β Β Presiden Direktur PT Prosys Bangun Persada (Prosys Group), 2000-2007
β’Β Β Β Direktur Utama Perum Perumnas, 2007 hingga sekarang
*****
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 200, 28 September 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Tragedi Mina Salah Siapa". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Menuju Bursa DKI Satu", Internasional "Setelah PM Lee", Ekonomi "Rizal Vs Lino", Gaya Hidup "Hijab di Australia Lebih Longgar, Lebih Kasual", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Intern", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!! (pal/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini