Β
Tapi Kepala BPPT Unggul Priyanto mencoba meresponsnya dengan santai. Ia menerjemahkan kritik Kalla itu sebagai strategi pemerintah untuk memberikan banyak pekerjaan kepada para anak buahnya.
Β
Menurut Unggul, banyak karya teknologi yang sudah dihasilkan BPPT. Sayang, masyarakat dan pemerintah sendiri sepertinya kurang mempercayai kualitas produk teknologi yang dihasilkan dan lebih suka membeli produk luar. Selain itu, dukungan politik dan ekonomi pemerintah maupun swasta kepada BPPT untuk melakukan riset masih jauh dari ideal. Β
Β
"Anggaran riset dan pengembangan harus ditambah. Sekarang sama Vietnam saja kita kalah," kata Unggul kepadaΒ majalah detik di ruang kerjanya, Rabu, 19 Agustus 2015 lalu.
Β
Terkait wacana untuk mengubah status BPPT menjadi Badan Layanan Umum (BLU) seperti pernah dilontarkan Jusuf Kalla, dia menyebut hal itu lebih untuk memudahkan unit-unit di BPPT dalam mengelola keuangannya. Β
Β
"Kalau menggunakan anggaran pemerintah dengan cara swakelola, itu ribet," ujarnya.
Β
Berikut wawancara majalah detik dengan peraih Master dalam bidang "Integrated Design of Chemical Plant" dari Universitas Leeds-Inggris dan Doktor dalam bidang elektronik dan material dari Universitas Kyushu Jepang ini:
Β
Sebetulnya apa saja yang sudah dikerjakan BPPT bagi kesinambungan pembangunan bangsa ini?
Β
Capaian-capaiannya saya kira sudah cukup banyak. Kami punya pesawat tanpa awak yang sudah diproduksi PT Dirgantara Indonesia sebanyak tiga buah. Β
Β
Kami membuat bahan pangan untuk kondisi bencana alam. Kami juga sudah siap memproduksi perisalah yang merekam orang ngomong dan langsung diubah menjadi tulisan. Ini sudah diproduksi PT INTI dan laku dijual. Β
Β
Kemudian, sekarang kami membuat ADSP pengganti radar, terutama untuk bandara-bandara kecil yang tidak punya radar. Ada 260-an bandara di Indonesia, (tapi) yang punya radar kurang dari 30. Kami juga membuat ikan nila salina yang bisa dibudidayakan di air laut serta membuat garam untuk kepentingan obat-obatan, misalnya untuk infus.
Β
Kalau contoh-contoh di luar inovasi?
Β
Ada layanan teknologi yang paling sering disebut, itu adalah hujan buatan saat kekeringan, memadamkan api, dan mengisi waduk. Kami juga punya banyak balai pengujian, misalnya balai teknologi polimer, LAGG (Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran) yang menguji prototipe desain pesawat. Β
Β
Di Indonesia, balai ini cuma ada di BPPT. Lalu ada balai teknologi hidrodinamika di Surabaya untuk prototipe kapal. Ini balai terbesar di Asia Tenggara. Untuk jasa-jasa konsultasi, kami membantu membuat desain PLTU atau membuat desain pembangkit energi terbarukan, seperti biodiesel dan bioetanol.
Β
Kalau pembangunan infrastruktur, sejauh mana dukungan BPPT?
Β
Banyak, cuma kan mungkin kurang tersosialisasikan dengan baik, atau sudah kita sosialisasikan tapi orang tidak aware karena dianggap tidak penting. Saya sih menganggapnya seperti itu, terutama pemikiran di antara para pimpinan yang menganggap teknologi itu tidak terlalu penting, karena bisa beli. Saya sih menangkapnya seperti itu. Mereka tidak terlalu aware.
Β
Sejak krisis ekonomi 1997-1998, saya melihat adanya degradasi, terutama untuk penggunaan produk-produk dalam negeri. Inovasi dan teknologi karya anak-anak bangsa ini kurang dilihat dan kurang dianggap penting. Karena itu, kemudian macam-macam justifikasi orang.
Β
Dengan terlalu banyak membeli dari luar, seperti apa dampaknya terhadap penguasaan teknologi?
Β
Kalau kita ingin menjadi negara industri, penguasaan teknologi itu mutlak diperlukan. Kita tidak bisa hanya menjadi pembeli. Kereta api beli, pesawat terbang beli, kapal beli. Β
Β
Padahal kita punya banyak galangan kapal. Ada yang bilang kurang baik karena desainnya tidak bagus. Bahkan, yang menyedihkan, kita kadang-kadang jatuh pada perangkap yang kita buat sendiri. Harus tender, pokoknya yang lebih murah dan baik itu yang menang. Yang menang asing terus. Gimana coba? He-he-he.
Β
Kita sangat tergantung barang modal dari luar dan sekarang kan efeknya muncul. Orang berpikir, kalau timah itu bisa dijual dalam bentuk pasir timah, mengapa tidak dijual dalam bentuk pasir? Akibatnya ekspor Indonesia sangat tergantung pada bahan mentah dan kita impor bahan modal. Β
Β
Kalau barang yang berteknologi itu nilainya sudah berlipat-lipat. Contohnya pasir besi, satu ton harganya paling berapa. Tapi, begitu dia jadi mobil, sudah berapa harganya. Β
Β
Waktu era Pak SBY memang belum terasa karena dipicu tingginya harga bahan mentah yang mengikuti tingginya harga minyak. Harga minyak saat itu masih sekitar US$ 120 per barel. Batu bara ikut naik, CPO ikut naik, karet alam ikut naik. Β
Β
Begitu harga minyak anjlok, semua harga bahan mentah ikut anjlok. Saya bilang Indonesia lagi kena musibah. Sementara, harga barang-barang modal, seperti mesin, tetap atau tidak banyak berubah. Akibatnya ekspor kita mengalami penurunan. Terjadi defisit.
Β
Kondisi penguasaan teknologi kita sekarang seperti apa?
Β
Ya, parah. Karena, itu tadi, kita kurang apresiatif pada produk dalam negeri. Kita kurang memandang pentingnya penguasaan teknologi, bahkan tidak percaya (pada kualitas). Tapi, anehnya, sama barang Tiongkok ya percaya. Padahal banyak barang Tiongkok yang kualitasnya kalah sama kita. Β
Β
Seharusnya ada perlakuan khusus terhadap teknologi kita. Semua negara melakukan hal yang sama. Jepang itu berasnya bisa 10 kali harga beras Indonesia. Dan beras dari luar tidak gampang masuk ke Jepang.
Β
Perlakuan khusus apa yang dibutuhkan?
Β
Dari sisi industri, harus ada perlakuan khusus terkait pajak. Anehnya beberapa komponen masuk ke Indonesia pajaknya tinggi, tapi kalau barang yang sudah built-up atau utuh, pajaknya rendah. Β
Β
Kedua, (dalam) tender kalau perlu 20 persen lebih mahal dengan kualitas yang sama tidak apa-apa, kita menangkan produk dalam negeri. (Tapi) sekarang hal seperti itu bisa kena masalah hukum. Ada lagi beberapa pernyataan yang bilang (dalam negeri) belum mampu. Akhirnya semua beli.
Β
Ketiga, anggaran riset dan pengembangan harus ditambah. Sekarang sama Vietnam saja kita kalah. Kita masih 0,08 (persen) dari GDP. Malaysia sudah mencapai 1 persen, Singapura 2 persen, Jepang 2,5 persen, Vietnam hampir mendekati 1 persen. Β
Β
Desain-desain dan inovasi itu datangnya dari riset. (Tapi) sekarang peneliti dibayar murah, tidak dihargai. Orang kan jadi males. Ngapain capek-capek sekolah kalau tidak dihargai. Akhirnya mereka bekerja di luar negeri.
Β
Idealnya, berapa anggaran untuk riset dan pengembangan?
Β
Kita tidak usah jauh-jauh mengejar Jepang, setidaknya Malaysia saja. Belum lagi penggunaan anggaran disamakan dengan yang bukan penelitian. Misalkan kalau ada kegagalan, ketidakberhasilan, bisa masuk ke ranah hukum itu. Katanya pemborosan uang negara. Namanya penelitian itu bisa gagal atau berhasil.
Β
Bagaimana dengan sokongan swasta?
Β
Swasta-swasta di Indonesia lebih banyak trader. Kalau bisa broker, ya broker saja. Lebih senang beli barang terus dia jual di sini. Β
Β
Sebenarnya BUMN itu diharapkan jadi motor. Karena, kita itu lengkap, misalnya pembangunan pembangkit listrik di era 10 ribu mW, komponen dalam negerinya hanya 20 persen. Itu maksimum. Jadi, kalau nanti kita bangun yang 35 ribu mW beserta transmisinya, itu menghasilkan belanja sekitar Rp 900 triliun. Β
Β
Coba misalkan separuh saja dari Rp 900 triliun itu dibelanjakan dalam negeri, itu sangat besar pengaruhnya pada tenaga kerja, produktivitas industri manufaktur, dan juga peningkatan pengalaman industri kita.
Β
Kalau dipaksa, komponen dalam negeri bisa sampai 50 persen. Tergantung juga, semakin advance pembangkitnya, bisa semakin turun. Sekarang itu industri manufaktur banyak yang nganggur karena enggak ada order. Padahal kita sedang membangun pembangkit 35 ribu mW. Β
Β
Ini kan jadi kayak antitesis saja. Katanya mau bangun banyak, mana? Kok malah banyak yang tutup, enggak dapat order. Nanti, begitu bangun, boiler-nya dari Tiongkok. Padahal kita sudah bisa bikin boiler. Pipanya dari Tiongkok, kabelnya dari Tiongkok. Alasannya murah.
Β
Benarkah ahli-ahli di BPPT hanya dijadikan tukang stempel dalam kasus-kasus tertentu?
Β
Mungkin ada. Kemudian menjadi kasus. Saya tahu yang dimaksud. Tapi itu persentasenya kecil. Di mana-mana ada yang nakal, ada yang enggak perfek. Itu bukan policy dari BPPT. Kadang-kadang ada yang dikira tukang stempel tidak sekadar stempel, lo. Istilahnya clearing house. Menanyakan benar enggak teknologinya proven. Itu jangan dikira stempel saja. Tidak gampang itu. Itu diperlukan supaya tidak sembarangan beli teknologi dari luar.
Β
Misalkan ada alat seperti e-KTP. Kita memang belum siap teknologinya, kemudian BPPT diminta (mengkaji) di antara sekian macam vendor, alat mana yang baik. Bahkan, sampai cara makainya di lapangan, BPPT turut terlibat. (Tapi) e-KTP kemudian dianggap gagal, ada masalah hukum dan dihentikan. Itu salah yang menghentikan. Kalau saya (menilai), tidak (gagal).
Β
Kemudian, kalau mau memulai yang baru lagi, modal baru, keluar uang lagi. Itu salah menurut saya. BPPT sebagai lembaga teknologi tidak berpolitik. (Kalau) ada yang salah, ya dihukum dan diadili. Tapi jangan dijustifikasi semua jelek.
Β
Pemerintah mewacanakan perubahan status BPPT menjadi BLU. Ada plus-minusnya?
Β
Saya menangkapnya semua penugasan BPPT itu di-BLU-kan. Misalnya BPPT diberi lima tugas untuk konsultan: energi, air bersih, IT, transportasi, dan maritim. Ya sudah, unitnya yang lima itu di-BLU-kan. Β
Β
Kenapa pemerintah mewacanakan BLU? Supaya lancar pengelolaan keuangannya. Kalau menggunakan anggaran pemerintah dengan cara swakelola, itu ribet. Karena, misalkan BPPT sekarang membuat konsultan tentang jembatan, dapat uang, itu harus kontrak dan uangnya tidak bisa langsung dipakai. Disetor dulu ke bendahara Kemenkeu. Kalau mau pakai, harus mengajukan proposal. Dengan BLU, uang itu bisa langsung dipakai dan dikelola dan setiap tahun diaudit oleh BPK.
Β
Tapi, kalau seluruh BPPT di-BLU-kan, itu tidak ada aturannya dan BPPT bisa turun pangkat. BLU itu hanya unit eselon dua seperti rumah sakit. Lalu, kalau semua BPPT di-BLU, yang lain kerja apa? Yang bikin hujan buatan memang bisa bikin konsultan apa di situ? Saya sudah klarifikasi ke Menteri PAN, beliau sependapat. Β
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 195, 24 Agustus 2015). Edisi ini mengupas tuntas Rizal Ramli, "Si Rajawali Ngepret". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Di Balik Petaka Trigana", Internasional "Siapa Pria Berkaus Kuning?", Ekonomi "Padamnya Batu Bara", Gaya Hidup "Pria pun Jalani Operasi Dada", rubrik Seni Hiburan dan review Film "Welcome to Me", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Halaman 2 dari 1











































