Ketua Tim Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Mas Achmad Santosa mengakui menghadapi tantangan yang luar biasa berat dalam memberantas illegal fishing. Menteri Susi tidak mau mengambil langkah setahap demi setahap, dia memilih tidak berkompromi. Salah satunya memberlakukan moratorium izin kapal baru.
Sejumlah pihak yang merasa dirugikan berusaha mendongkel Susi dari posisi menteri. Ada yang menawarkan Rp 5 triliun agar Susi mundur. Otaโpanggilan akrab Mas Achmadโyakin Susi tidak akan tergiur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini wawancara Bahtiar Rifai dari majalah detik dengan Mas Achmad Santosa di kediamannya, Kamis, 14 Mei 2015 lalu:
Bisa diceritakan upaya penyuapan Rp 5 triliun agar Bu Menteri Susi mundur dari menteri?
Sekarang naik (jadi) 5 T, ya. Saya tidak tahu tuh, padahal saya mengikuti (berita) setiap hari. Saya juga tidak tanya.
Apakah tawaran Rp 5 triliun itu ada kaitannya dengan kebijakan Menteri Susi dalam memerangi illegal fishing?
Saya itu orang baru soal illegal fishing. Memang hari demi hari saya dan kawan-kawan mencoba memetakan persoalannya, dan how serious, seberapa serius kejahatan ini. Kemudian siapa aktor dan pemainnya. Dan seberapa besar negara dirugikan.
Semakin ke sini semakin kami sadari, memang luar biasa kompleks permasalahan illegal fishing dan pencegahan serta pemberantasannya. Luar biasa juga ternyata jejaring mereka. Oleh sebab itu, langkah Ibu Susi itu berani, jelas, dan radikal.
Ibu kan tidak sekadar menawarkan gagasan pembaruan yang incremental, setahap demi setahap, pelan-pelan. Ibu kan sangat radikal. Penerapan moratorium izin kapal baru itu suatu tawaran kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang cerdas, menurut saya.
Mengapa moratorium izin kapal baru merupakan langkah yang cerdas?
Coba bayangkan, ada 1.132 izin kapal, yang terdaftar saja nih izin eks kapal asing. Saya melihat awalnya ada 1.132. Nyata-nyata satu izin itu dipakai oleh 3-5 kapal. Jadi, kalau moderate saja, artinya ada 4.500 (kapal) yang menggunakan izin. Lalu kapal yang tidak ada izin itu ribuan juga. Jadi kapal itu bisa jadi ada 8.000 sampai 10 ribu-an. Saya tidak main-main.
Bayangkan secara kasar total kapal yang menangkap ikan legal atau ilegal. Yang legal itu belum tentu benar, ada yang unreported. Sedangkan yang legal pun dimanipulasi, satu izin dipakai untuk beberapa kapal. Jadi kurang-lebih ada 10 ribu kapal. Kesepuluh ribu kapal itu memiliki ukuran 100 sampai 400 gross ton. Ambil tengahnya 200 gross ton.
Bayangkan, kapal-kapal ini memiliki kemampuan membawa, menangkap, dan menjarah ikan luar biasa besarnya. Saya yakin, walaupun kapal berizin, yang izin sudah dimanipulasi, itu kebanyakan tidak didaratkan hasil tangkapannya, tetapi langsung dibawa ke luar negeri. Dan lebih gila lagi, sudah ukurannya 300-400 gross ton, ada yang 500 gross ton kapal tangkap itu, kemudian dia berputar-putar di laut teritorial maupun di zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Berputar-putar di situ, sudah penuh hingga ratusan ton (ikan), dia masukkan ke kapal angkut, kapal angkut yang tonasenya 5.000-6.000 gross ton di tengah laut, dibawa langsung. Jadi, kalau Bu Susi mengatakan, dengan moratorium izin dan penindakan yang efektif itu bisa menyelamatkan setahun, menurut saya sih, angka konservatif dari Bu Susi, itu mencapai Rp 300 triliun.
Tantangannya berat sekali, ya?
Memang luar biasa tantangannya itu, dan kapal-kapal eks asing yang gede itu sedikit yang dibuat di Indonesia. Kebanyakan dari Cina, Thailand, Filipina, Taiwan. Ada dari Jepang, tapi tidak terlalu banyak.
Kapal-kapal itu yang terdaftar, yang 1.132 itu, hampir keseluruhan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Tapi diduga sebagian, saya tidak bisa katakan sebagian besar atau sebagian kecil, sebetulnya yang mengontrol semua pengoperasian untuk kegiatan ini perusahaan di luar sana. Jadi kita hanya menjual izin. Ngapain capek-capek menangkap ikan, mengusahakan, bikin unit pengolahan ikan? Jual saja izin untuk satu kapal atau dia tugasnya membuat izin itu jadi beranak. Satu izin jadi empat kapal. Jadi dia dapat setoran, mungkin juga ada pembagian tugas lain, itu diduga.
Dugaan lainnya adalah ada sosok figur yang tidak terdapat di akta perusahaan, ya beberapa orang kuat, saya tidak mau sebut, beberapa orang kuat. Di akta perusahaan tidak ada namanya, tapi sebetulnya dia yang berkuasa. Jadi bendera Indonesia kapalnya, masuk ke perairan lain benderanya diganti, namanya ditutup, sehingga dia bisa ke mana-mana. Modusnya double flagging. Double flagging, menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), itu equal dengan no flagging. Jadi (kapal itu) stateless dan bisa ditenggelamkan.
Keterlibatan orang besar seperti apa dalam bisnis ini?
Bukan orang besar, tapi perusahaan perikanan. Orang besar itu kan yang di belakang layar.
Mungkin mereka tidak tahu, orang besar itu sampai di tingkat operasional (tidak diketahui keberadaannya), dalam magnitude problem. Jadi Bu Susi itu melakukan radical movement dengan step yang menurut saya tegas dan berani, berdampak langsung. (Adanya) moratorium kan (izin) berhenti langsung, sudah enam bulan teriak (minta izin) diperpanjang (lagi).
Dan Ibu jelas, hasil analisis kita dijadikan bahan dan dasar pengembangan kebijakan yang lebih, bertumpu pada tiga hal. Pertama yang memperkuat sovereignty (kedaulatan), kedua sustainability (kesinambungan), ketiga welfare dari masyarakat, terutama nelayan. Yang ketiga itu sedang disiapkan. Jadi moratorium itu langkah berani.
Apakah ada ancaman?
Satgas belum enam bulan, ancaman fisik sih tidak ada, mudah-mudahan. Menurut saya, tantangannya adalah kita harus berani mengatakan tidak pada perusahaan yang ingin bertemu dengan kita. Banyak benar, ya perusahaan yang di Tim Anev (Analisis dan Evaluasi), yang diaudit.
Perusahaan kapal Haifa melaporkan Menteri Susi ke polisi. Bagaimana tanggapannya?
Saya tidak melihat mereka sangat kuat. Biasa saja. Mereka mencoba mencari beking.
Tapi sebenarnya saya meragukan bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan terhadap Haifa ini sudah benar. Saya sekarang melihatnya, misalnya, UU Pelayaran bisa dipakai, UU Kepabeanan bisa dipakai, UU Lingkungan Hidup bisa dipakai. UU Konservasi bisa dipakai, kenapa ini tidak dipakai?
Kemudian, pada saat menggunakan UU Perikanan, misalnya, kenapa dipakai pasal ini, kenapa bukan pasal ini. Sekarang baru kelihatan. Mudah-mudahan ini hanya kekurangtahuan. Artinya, skill para penyidik itu perlu di-upgrade.
Kalau dia menggugat Ibu Susi, saya lihat gugatannya lemah. Kalau dia melaporkan Bu Susi, tak ada dasar. Ya, dicoba saja mungkin. Sekarang ini kan lagi musim lapor-melapor, mengadukan orang. Mungkin mereka berspekulasi. Menurut saya sih, hal seperti itu dilawan saja. Kalau kita sendiri menganggap mereka besar, mereka semakin merajalela. Lawan saja.
Apakah Satgas sudah mengidentifikasi siapa dan bagaimana para pemain perikanan ini?
Ada. (Terhadap) setiap pengusaha, Satgas punya profilnya. Dan itu bukan hanya yang ada dalam akta, yang di belakang layarnya pun kita punya profilnya. Kita harus punya itu dong, kita harus bisa mengkalkulasi. Pemain besar itu hanya 7 dari ribuan kapal yang ada di Indonesia.
Siapa saja?
Janganlah. Itu nanti bisa dikaitkan dengan (Rp) 5 T itu. Saya tak mau.
Posting soal Menteri Susi ditawar Rp 5 triliun itu sangat mengagetkan..
Itu soal integritas Ibu Susi. Saya tahu Ibu Susi tidak kebeli dan tidak mungkin. Dia itu pejuang. Uang itu untuk apa dibanding kehormatan? Dia orang yang mudah cari duit. Lihat sejarah bisnis dia. Dia orang cerdas. Dan otak bisnisnya luar biasa. Hartanya banyak. Apa lagi coba yang dia cari.
Ada anggota DPR yang minta Menteri Susi mundurโฆ.
Politikus yang minta Ibu Susi mundur itu pasti ada kaitannya dengan pengusaha perikanan. Siapa pun dia. Saya curiga ini. Seharusnya mendukung (Menteri Susi) kalau politikus betul ingin membesarkan bangsa.
*) Wawancara ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 181, 18-24 Mei 2015.
(irw/nwk)