Kepala BNP2TKI Nusron Wahid: TKI Harus Jalani Psikotes

Kepala BNP2TKI Nusron Wahid: TKI Harus Jalani Psikotes

- detikNews
Kamis, 30 Apr 2015 21:32 WIB
(Foto: dok detikcom)
Jakarta - Eksekusi mati terhadap dua tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi memang bukan yang pertama kali terjadi. Tapi yang menimpa Siti Zaenab dan Karni dua pekan lalu itu dinilai banyak pihak keterlaluan. Sebab, pemerintah Saudi baru memberikan kabar setelah eksekusi terjadi, sehingga pemerintah memprotes keras karena tindakan itu melanggar tata krama diplomasi dan konvensi PBB.

Namun Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Nusron Wahid justru menilai sia-sia protes terhadap pemerintah Arab Saudi terkait notifikasi eksekusi mati. Menurut dia, yang seharusnya diubah adalah aturan di Indonesia.

Pemerintah, kata Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor itu, seharusnya mengubah sistem kontrak kerja TKI di Saudi, dari yang bersifat individual menjadi kelompok atau perusahaan. Dengan sistem kontrak non-individual, Nusron optimistis para TKI di Saudi akan lebih terawasi dan terlindungi dari perlakuan semena-mena majikan mereka di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau hari ini, orang Indonesia yang bekerja di keluarga Arab mau pulang saja tidak bisa kalau tidak dapat izin dari mereka," kata Nusron kepada majalah detik, Kamis, 23 April 2015 lalu.

Di pihak lain, ke depan ia berencana untuk mewajibkan para calon TKI untuk menjalani tes kejiwaan atau psikotes. Dengan uji ini akan terdeteksi lebih dini tingkat kestabilan jiwa mereka jika menghadapi tekanan saat bekerja. Berikut wawancara lengkap dengan Nusron Wahid:

Eksekusi mati dua TKI menguatkan kesan tidak maksimalnya upaya pemerintah membela buruh migran?

Kalau dikatakan tidak maksimal, parameternya apa? Memang ada dua orang yang dihukum mati, itu tidak kita nafikan. Tapi bukan berarti pemerintah tidak optimal dan maksimal. Karena, memang kadar masalahnya itu rumit dan akut. Pada satu sisi, kita berhadapan dengan hukum di Arab Saudi yang sangat ketat keislamannya dan tanpa kompromi.

Kalau sudah menyangkut tentang kisas itu pada ujungnya sangat tergantung dengan proses pemaafan dari keluarga yang dibunuh. Segala daya-upaya apa pun, kalau memang tidak ada pemaafan, bagaimana? Karena, memang di mata hukum Islam dan di mata orang Arab, nyawa dibalas dengan nyawa.

Yang menjadi kelihatan tidak optimal itu karena ada pandangan masyarakat seakan-akan menyamakan negara di Arab Saudi itu, hukum di Arab sana itu, dengan hukum yang ada di Indonesia atau bahkan sama dengan hukum di negara-negara yang menggunakan prinsip demokrasi. Di Arab sana tidak ada demokrasi. Adat dan istiadatnya beda. Persoalannya, kenapa dulu kita mau berhubungan dengan negara macam ini? Kan kita tidak bisa memaksakan.

Upaya perbaikan ke depan seperti apa?

Perbaikannya hanya dua menurut saya. Satu, teman-teman tenaga kerja Indonesia sebelum berangkat itu harus lolos psikotes dulu. Selama ini tidak pernah ada psikotes. Supaya tidak ada gangguan jika ada tekanan pekerjaan di sana. Mereka akan kuat secara kejiwaan dan ada kontrol.

Kedua, sudah saatnya jenis pekerjaan apa pun, termasuk domestic worker, kontraknya tidak boleh dengan pengguna individu, tetapi dengan pengguna company. Kayaknya di Indonesia ini semacam model outsourcing.

Di sana kan menggunakan mekanisme hukum kafalah. Di dalam hukum kafalah itu kan ada kafil. Si majikan disebut kafil, yang bisa menguasai. Kalau ada sejuta tenaga kerja Indonesia, jadi berhubungan dengan sejuta majikan atau kafil.

Tapi, kalau kerja di company, hanya ada 50 company, jadi kita hanya berurusan dengan 50 kafil. Kalau kita blame satu, mereka pasti akan pikir karena akan mati bisnisnya. Tapi, kalau sejuta di-blame satu, ya mereka peduli amat. Saya tidak dapat dari kamu, saya bisa dapat dari yang lain juga.

Aturannya dari Indonesia?

Ya, orang Arab Saudi. Dan Arab Saudinya sudah mau dan bersedia.

Jika ada permasalahan, tanggung jawab siapa?

Perusahaan yang bertanggung jawab. Kalau ada komplain dari pengguna, dia komplain kepada company. Tidak serta-merta. Kalau ada komplain, nanti company itu yang narik. Kalau hari ini, orang Indonesia yang bekerja di keluarga Arab mau pulang saja tidak bisa kalau tidak dapat izin dari keluarga itu. Di bandara akan disetop.

Ibarat budak?

Ya, seperti budak. Semaunya majikan. Dia tidak bisa pulang sepanjang tidak mendapatkan izin dari kafilnya. Dia tidak bisa masuk penjara untuk menebus karena dia overstayer kalau tidak ada izin dari kafil. Mereka akan selamanya di sana kalau tidak dapat izin. Hanya muter-muter pindah tempat saja dalam kondisi ketidakpastian.

Kita tidak bisa memaksa Arab untuk berubah, wong itu hukum negara mereka. Sama halnya dengan Arab tidak bisa memaksa Indonesia untuk berubah. Yang ada, kita harus membuat aturan dan mekanisme, kalau kamu mau seperti ini silakan, kalau tidak mau terserah. Persoalannya, yang membuat peraturan itu siapa? Menteri Tenaga Kerja yang punya wewenang untuk membuat kebijakan itu.

Dengan melihat kondisi itu, tenaga kerja akan tetap dikirim ke Arab?

Sebetulnya begini, orang mau bekerja ke mana pun, itu hak mereka. Sepanjang dia punya model-model penempatan yang dianggap model itu melindungi warga negara Indonesia. Persoalannya, di Arab Saudi ini belum punya model perlindungan yang kuat karena sistem kafalah-nya. Apa yang disampaikan Anis Hidayah dari Migrant Care itu benar adanya, itu sistem perbudakan modern. Tetapi, kalau masalahnya itu hukum yang di sana, kita mau apa? Mau enggak mau kita ubah model kita tadi.

Pemerintah tidak bisa melarang bekerja di Arab?

Pemerintah memang tidak bisa melarang, tetapi wajib memberi tahu, ngasih tahu, β€œKalau kamu (TKI), jangan berangkat ke Arab karena di sana tidak aman.” Karena, tidak mungkin negara itu membiarkan warga negaranya masuk dalam kondisi kesengsaraan.

Masih ada 36 TKI yang terancam hukuman mati. Upaya apa yang akan dilakukan?

Tergantung kasusnya. Kalau kasusnya terkait masalah-masalah yang umum, seperti dia karena zina, sihir, atau karena melanggar tata aturan di sana, saya kok optimistis mereka bisa diampuni dengan pendekatan-pendekatan kepada pemerintah di sana. Tetapi, yang menyangkut pembunuhan terhadap diri orang lain di sana, mau tidak mau ada dengan pendekatan kepada keluarga yang dibunuh. Salah satunya dengan membantu tenaga kerja kita dalam konteks ganti rugi diyat itu. Itu salah satunya. Tetapi bagaimana caranya supaya ada minta maaf?

Benarkah masih ada tumpang-tindih tugas BNP2TKI dengan Kementerian Tenaga Kerja?

Saya tidak mengatakan tumpang-tindih, tapi karena peraturannya tidak segera dibuat. Kami kan hanya sebagai lembaga pelaksana, sebagai operator. Kementerian belum membuat perubahan aturan.

Sudah ada desakan ke Kementerian?

Saya sudah kirim surat supaya segera ada perubahan, tapi sampai sekarang belum ada perubahan itu.

Perekrutan tenaga kerja bukannya bermasalah juga?

Ya, sebenarnya banyak masalah.

Wewenang siapa untuk memperbaiki?

Kalau masalahnya di peraturan, ya Kementerian. Kalau masalahnya di implementasi, ya tempat saya.

Kalau di implementasi tidak bisa menjawab dan syaratnya hanya diubah peraturannya, ya Kementerian dulu. Sekarang itu yang masalah besar itu model penempatan, harus diubah bagaimana sebelum penempatan harus ada pendidikan dulu, kalau sekarang kan ada order baru ada pendidikan. Ibaratnya, ada lowongan menjadi wartawan baru ada sekolah wartawan.

Bagaimana dengan agen-agen penyalur nakal, bukan masalah besar?

Makanya tadi pendidikan tidak optimal karena dikejar setoran sama yang kasih duit.

Bukan wewenang BNP2TKI untuk menertibkan?

Itu wewenang kami, tapi kami tidak punya hak untuk mencabut mereka. Kami hanya ngasih sanksi peringatan sama melaporkan ke polisi. Sudah banyak yang kami laporkan. Sebulan itu rata-rata 40-60 orang. Secara kelembagaan, memang kami belum kuat peranannya, juga belum kuat sumber daya manusia.

Kami sedang berbenah. Kami memerlukan kewenangan (agar) dapat memberikan sanksi berat pada agen-agen tadi dengan bisa menutup. Sejauh ini yang ngasih sanksi itu Kementerian Tenaga Kerja. Tapi, yang tahu siapa yang brengsek, ya kita.

Kementerian tidak meminta rekomendasi dari BNP2TKI?

Seharusnya kan begini, secara undang-undang, kan Kementerian Tenaga Kerja itu lembaga yang buat kebijakan. Tetapi, dalam prakteknya, banyak mengambil wilayah operasional. Harusnya mereka ikhlas melepas hal-hal yang sifatnya operasional pada BNP2TKI. Dari dulu sampai sekarang masih tarik-menarik di permasalahan itu.

Karena persoalan anggaran?

Enggak ngerti saya... tanya ke teman-teman Kementerian Tenaga Kerja. Akibatnya, ini menjadi loophole, yang kemudian dimanfaatkan agen-agen tadi.

*) Wawancara ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 178

(pal/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads