Sekarang Saya Menantang Sekularisme

Berakhir Pekan dengan Achdiat K. Mihardja

Sekarang Saya Menantang Sekularisme

- detikNews
Senin, 07 Feb 2005 20:18 WIB
- - Akan terlalu panjang jika diuraikan secara lengkap siapa lelaki kelahiran Desa Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 yang telah bermukim 43 tahun di Australia ini. Peran dan sepak terjang pemikirannya dalam khazanah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia modern, sejak masa Pujangga Baru dan Polemik Kebudayaan di tahun-tahun 1930-an hingga masa Jepang dan revolusi fisik di tahun 1940-an, tidaklah bisa diabaikan.Sebelum keberangkatannya ke Canbera pada tahun 1961 untuk mengajar di Universitas Nasional Australia, perjalanan hidup lelaki tamatan HIS Bandung (1925) dan AMS Bagian Sastra dan Kebudayaan Timur Solo (1932) ini nyaris tak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan pergulatan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Tak hanya karena kiprahnya di lapangan kesusastraan dengan sejumlah karyanya, termasuk yang kemudian menjadi monumental seperti Atheis (1949) atau editorialnya untuk buku Polemik Kebudayaan (1948). Sejarah mencatat kiprahnya dalam lapangan pendidikan dan kebudayaan secara luas.Maka Achdiat K. Mihardja adalah sosok yang menjadi representasi suatu masa di belakang, ketika berbagai arus pemikiran serta ideologi-ideologi besar bertarung di negeri ini dan memengaruhi penjelajahan khazanah pemikiran para elite modern negeri ini. Dan mungkin karena itulah kedatangannya ke Kafe Potluck Bandung, (30/11), disambut antusiame.Tubuhnya sudah lemah dan seluruh rambutnya memutih. Tapi, tidak dengan semangatnya. "Jika tahun 1949 dulu saya menantang Atheisme, maka sekarang saya menantang sekularisme!" katanya dengan suara bergetar.Berikut percakapan kami di lobi sebuah hotel dengan putra Kosasih Kartamiharja, suami dari Suprapti (87), ayah dari 4 anak, 10 cucu, dan 7 cicit ini.Sudah begitu lama Anda tinggal di Australia, bagaimana Anda melihat perkembangan yang terjadi di Indonesia?Sebagai salah seorang pejuang revolusi, saya tentu menyimpan keinginan negara ini mesti adil. Sebagai negara atau bangsa yang bebas dan merdeka, juga di dalamnya tersimpan keinginan secara politis dengan mendasar pada falsafahnya, yakni Pancasila. Cita-cita saya pada negara ini adalah negara kesatuan Bhinneka Tunggal Ika tapi juga ber-Pancasila.Lalu sekarang bagaimana Anda melihat kenyataannya?Dibandingkan dengan masa lalu yang dekat, kira-kira sepuluh tahun yang lalu atau jauh ke belakang di zaman Orde Baru, presiden yang baru sekarang tampaknya memberi optimisme. Terus terang, di dalam rasa frustrasi itu saya tetap optimis. Optimisme saya ke arah sana. Orde Lama dan Orde Baru memang banyak menimbulkan rasa frustrasi. Tapi, mungkin itu memang proses sejarah yang harus kita lalui.Optimisme itu berangkat dari mana?Ya, saya melihat adanya potensi pada kesadaran untuk meraih kemajuan. Tetapi, pada fase-fase tertentu kesadaran dan potensi tersebut secara kuat mengalami situasi naik-turun. Sekarang, dengan presiden yang baru mungkin kesadaran dan potensi tersebut akan naik. Sebelumnya, banyak hal yang mengendurkan terutama dalam segi akhlak manusia Indonesia. Khususnya para pemimpin yang masih dikotori oleh korupsi.Sebagai orang yang tinggal berpuluh-puluh tahun di Australia, apa sih makna Indonesia buat Anda?Ya, sebagai tanah air, dong. Pokoknya saya sebagai nasionalis masih memiliki nasionalisme orang Indonesia, walau sudah berpuluh tahun di negeri orang. Saya tidak pernah menjadi warga negara asing. Saya masih orang Indonesia dengan perasaan dan akhlak orang Indonesia. Satu kali pun saya tidak pernah berpikiran untuk menjadi warga negara asing.Anda adalah editor dari buku Polemik Kebudayaan yang terkenal itu. Bisa Anda ceritakan latar belakang polemik kebudayaan tersebut pada waktu itu?Ya, pertama sebagai konklusi bagi saya, polemik itu penting dan perlu, tapi harus juga melahirkan suatu kesimpulan. Bagi saya secara budaya, kesimpulannya yaitu mengikuti filsafat Sanusi Pane bahwa antara budaya Timur dan Barat itu, yang disimbolisasikan dengan Faust (Barat) dan Arjuna (Timur), harus ada perkawinan. Ambil yang baiknya dari Barat dan buang yang jeleknya.Tapi juga demikian dengan budaya Timur yang pada umumnya lebih feodalistis. Dan Barat, lebih bersifat demokratis dan kapitalistis. Nah, itu harus dikawinkan. Menurut saya konklusinya perkawinan itu harus merupakan kebudayaan yang modern demokratis tapi juga berketuhanan.Kayaknya waktu itu polemik tersebut seru sekali, yah?Ya, seru dalam arti pemikiran. Tapi, saya kira hal itu bisa dibaca dari buku Polemik Kebudayaan. Jadi, terutama yang ekstrem adalah pendirian Sutan Takdir Alisyahbana yang menyepak segala macam yang berbau ketimuran dan menerima Barat seratus persen. Jadi kritiknya pada kita yang Timur, Timur itu kelemahannya kurang intelektualisme, egoisme, dan materialisme.Lalu menurut Anda bagaimana sekarang kita melihat polemik tersebut. Apa masih penting?Karena soalnya sekarang sebagai bagian dari budaya Timur, Indonesia secara potensial memiliki Pancasila dan itu kekuatannya ada dalam konsep ketuhanannya. Di Barat tidak ada sama sekali konsep ketuhanan secara ideologi. Yang ada adalah filsafat kapitalisme yang didasarkan kepada ideologi politik dan sosial ekonomi yang pada bagiannya melahirkan sekularisme yang menyepelekan Tuhan.Dan karena itu juga dulu mengapa Anda merasa harus menulis novel Atheis?Ya, betul. Sebagai orang yang berketuhanan, saya tidak setuju dengan atheisme, komunisme, anarkisme, dan semacamnya itu. Jadi itulah mengapa saya sebabnya saya menulis novel Atheis itu. Nah, sekarang komunisme boleh dikatakan melempem tidak agresif seperti zaman saya dulu. Sekarang yang muncul adalah ideologi filsafat sekularisme yang berdasarkan sikap pandangan hidup dari orang Barat yang kapitalistis.Anda beruntung sekali karena hidup pada suatu masa di mana terjadi pertarungan dahsyat dari berbagai ideologi besar, yah?Iya. Waktu itu suatu keuntungan bagi saya. Dan di tengah semua itu dulu saya sudah punya pendirian, anti-atheisme. Dan sekarang saya anti-sekulerisme.Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa ternyata Anda adalah salah seorang pendiri Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Bisa Anda jelaskan hal itu?Ya, saya seorang pendirinya. Sekira tahun 1948 ketika Belanda dan perjuangan kemerdekaan hampir melempem, sehingga Bung Hatta yang melihat kelemahan semangat dan tenaga kekuatan kita berkurang, berpikir bahwa kita harus cepat mengadakan persetujuan dengan Belanda agar ia tidak terlalu menekan dan diadakanlah KMB. Hasilnya adalah kompromi, berupa negera RIS, tapi kan kita ingin negara kesatuan. Nah, pada zaman itulah saya melihat ada sekelompok sastrawan yang kemudian dinamakan Angkatan '45, di antaranya Chairil Anwar, Asrul Sani, dan lain-lain. Saya dan kawan-kawan, di antaranya AS. Darta, M.S. Azhar, Nyoto, dan sebagainya, melihat bahwa sastrawan-sastrawan itu terlalu dekat dengan orang-orang atau politikus Belanda, terutama Doulf Verspoor.Kami curiga dia itu seorang spion Belanda yang ingin menanamkan pengaruhnya lewat para sastrawan. Chairil, Asrul, dan kawan-kawannya itu kami lihat memang dekat dengannya. Bahkan saya lihat Doulf Verspoor bermain mata dengan mereka. Melihat gelagat semacam itu saya mengajak AS. Darta, M.S. Azhar, dan lain-lain untuk mendirikan grup tersendiri yang tidak dekat dengan Belanda, yang kemudian kami beri nama Lekra, dan kemudian itu berjalan. Lantas tahun 1950 kami juga mendirikan International PEN Club Cabang Indonesia. Dan kebetulan saya diangkat sebagai ketuanya. Sesudah Lekra berdiri saya dikirim ke Eropa menghadiri pertemuan International PEN Club, tapi ketika saya di Eropa itulah, tahu-tahu AS. Darta, dan lainnya, pada tanggal 17 Agustus 1950 mendeklarasikan bahwa sastrawan-sastrawan Lekra itu menjadi onderbouw PKI. Saya tentu saja kaget. Kalau kawan-kawan mau bersama-sama satu kereta api menuju Moskow atau Peking, saya lebih baik memilih meloncat turun saja di Jakarta dan tidak mau ikut lagi bersama mereka.
**
Dalam usia 94 tahun sekarang, kenangan apa yang paling membahagiakan Anda?Yah, kenangan bahwa saya pernah berjuang untuk membentuk negara yang berdasarkan ketuhanan ini.Lalu apa ada yang Anda sesali?Oh, banyak, terutama yang menyeleweng-nyeleweng dari apa yang saya bayangkan. Terutama, ya, KKN. Itu mengecewakan saya sekali karena di dalam negara yang berketuhanan hal semacam itu sangat tidak pantas.Anda masih menulis?Ya, kira-kira sebulan yang lalu saya baru saja menyelesaikan sebuah buku berjudul Manifesto Kalifatullah yang akan diterbitkan oleh Mizan. Sekarang dunia dikuasai oleh ideologi sekularisme terutama berpengaruh atau yang dimanifestasikan dalam bentuk politik, dengan arti khususnya, politik internasional dan sosial ekonomi. Dan itu dikuasai oleh negara-negara Barat. Ini sesungguhnya adalah suatu proses terakhir dari perkembangan ideologi atau sikap hidup kebudayaan Barat sejak Renaisance abad ke-15 sampai sekarang. Barat itu hebat, tapi zaman sekarang, kehebatan otak, terutama otak Barat itu agak menyeleweng menjadi kehebatan sekularisme yang negatif. Ini tampak dari sikap hidup manusianya an sich satu per satu sebagai individu, seperti Presiden AS George W. Bush itu. Ia, kata orang, beragama sekali, ke luar masuk gereja setiap hari, tapi politik dan ideologi sosial-ekonominya, terutama politik internasional.Pada usia-usia Anda tumbuh dulu dalam proses penjelajahan intelektual, mungkin sekira pada tahun 1920-1930-an, siapa saja yang paling berpengaruh pada Anda?Sebetulnya saya banyak membaca saja. Sebenarnya semua berpengaruh tapi saya kritis. Semua pengaruh itu saya lihat dalam kaca mata Islam atau agamawi ketuhanan, sehingga saya punya kepribadian sendiri, kepercayaan sendiri, kekuatan, dan keyakinan sendiri.Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang mungkin paling sepuh saat ini, apakah Anda masih sempat membaca perkembangan karya-karya sastrawan Indonesia sekarang?Ya, itulah. Dengan usia sekarang yang menginjak 93 tahun lebih, terutama sejak dua tahun yang lalu mata saya sudah lolong, buta huruf, tidak bisa lagi dipakai membaca dan menulis. Tapi, untung pihak KBRI memberi sumbangan berupa tenaga seorang typiest. Jadi saya sekarang menulis lewat typiest komputer. Tentang perkembangan karya sastra Indonesia sekarang, dengan kondisi semacam ini saya sudah tidak mengikuti perkembangannya lagi. Tapi, kontak dengan penulis-penulis yang sudah tua-tua masih dilakukan, terutama dengan Atun (Ramadhan K.H.) dan Ajip Rosidi atau Taufiq Ismail.Sudah 43 tahun Anda bermukim di Australia, apa Anda masih merasa sebagai orang Sunda?Ya, tentu saja (tertawa). Tapi, pada tahun 2001 saya ikut menghadiri Konferensi Internasional Budaya Sunda. Menurut keyakinan saya, Sunda sebagai suatu kebudayaan harus berdasarkan Pancasila. Itu pendirian saya. Karena Pancasila menurut saya jauh lebih penting ketimbang ideologi kecil-kecilan, kedaerahan, dan sebagainya.Apa tidak ada keinginan untuk menghabiskan hari tua Anda di Tanah Air?Ada. Tapi, itu semua urusan Tuhan dan urusan saya juga. Melihat kenyataan saya dan istri saya yang sudah 87 tahun, serta kami sudah menikah 73 tahun, kami sudah merasa sangat bersatu. Kami sudah 43 tinggal di Australia dan sering kami berpikir, meski pun sadar bahwa mati itu bisa di mana saja sementara kenyataannya kami ada di Ausralia, saya sudah membeli tanah kuburan untuk kami berdua nanti (tertawa). Padahal mati itu kan bisa di mana saja. Tapi, bukan berarti saya ingin mati dan dikubur di Australia, ini hanya sekadar persiapan saja, kalau-kalau saya memang harus meninggal di sana. Tapi saya pikir, di mana saja, itu urusan Tuhan. (/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads