"Sulit memahami apa yang dilakukan MA," kata mantan hakim kontitusi Harjono kepada wartawan di Kompleks Istana, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (5/1/2014).
Harjono merupakan salah satu anggota majelis hakim yang menghapus Pasal 268 ayat 3 KUHAP itu. Namun putusan MK ini digunakan para gembong narkoba untuk menunda eksekusi mati sehingga MA mengeluarkan Surat Edaran MA tentang PK cukup satu kali. Berikut wawancara lengkap dengan Harjono:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sulit memahami apa yang dilakukan MA itu dari segi dasar hukum maupun teorinya. Kalau teorinya memang MA menjalankan UU, MK mempunyai kewenangan untuk menguji, apakah UU itu masih harus mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak. Ketika dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat, mestinya selesai di situ. UU digantikan keputusan MK.
Struktur ketatanegarannya seperti itu sekarang.
Lalu bagaimana dengan PK berkali-kali yang dipakai oleh gembong narkoba?
Saya melihat persoalan PK ini persoalan pelaksanaan hukuman mati, untuk yang bukan hukuman mati tidak ada masalah. Persoalan hukuman mati ini masih dilematis, ada yang tidak setuju ada yang setuju.
MK pernah memutuskan hukuman mati ini boleh tapi sangat selektif sekali. Terkandung kehati hatian, jangan sampai terjadi error in persona, seperti Sengon- Karta dulu. Kalau tidak digunakan dengan hati-hati, maka ada korban ketidakadilan.
Kalau bicara kepastian, kepastian untuk siapa? Kepastian bahwa sesorang tidak dihukum kalau tidak melakukan sesuatu. Inti PK berkali kali itu kepastian bahwa hukuman itu jatuh kepada mereka yang sepatutnya untuk dihukum. Oleh karena itu kalau hambatannya dipersoalan hukuman mati, di dalam menjatuhkan hukuman mati kita bisa ambil beberapa alasan, pertama jelas untuk pembunuhan yang tertangkap tangan dan berencana, novum tidak akan ada lagi, atau narkoba, dia membawa sendiri, ditangkap, itu jelas.
Hukuman mati yang dijatuhkan karena adanya petunjuk petunjuk, itu yang jadi masalah. Kalau ada aturan, aturan bagaimana memeriksa ada novum baru atau tidak, bukan dihilangkan semuanya, satu kali saja.
Untuk kasus narkoba, kemungkinan adanya novum baru?
Tergantung pemeriksaan di pengadilan, kalau jaksa bisa membuktikan, sudah ada bukti konkret, kuat, beyond reasonable, tidak ada keraguan sama sekali, tapi ada hal penjatuhan pidana disebabkan karena petunjuk saja, kalau ada kesalahan, terbuka untuk novum.
Kalau konteks sekarang, terpidana mati narkoba tertunda eksekusi matinya karena PK berkali-kali bagaimana?
Kalau tidak mengajukan PK jangan nunggu-nunggu, eksekusi saja. Yang mengajukan PK kan hanya beberapa, tidak ada alasann. Kalau tertunda karena PK itu kita lihat kasus per kasus, apa iya. Kalau kasus lain diperiksa saja, sangat mudah untuk menentukan itu novum atau bukan, karena hukuman mati itu pasti hakim yakin betul dengan bukti- buktinya.
Tidak ada alasan untuk menunda eksekusi ?
Kalau alasannya itu, bisa dilakukan secara teknisnya. Tapi persoalan intinya ini sudah dalam struktur ketatanegaraan kita bahwa UU bisa dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh MK. Kalau itu bisa dinafikan dengan surat MA, ini bagaimana struktur teori ini, jadi rusak.
SEMA harusnya ditarik atau gimana?
SEMA harus perbaiki, bukan menyatakan 1 kali, tapi mengatur bagaimana novum itu diatur, itu betul novum baru nggak? kalau ternyata novumnya yang dihadirkan saksi yang pernah hadir, ngga usah karena pernah diterima, kan sering tuh.
(mpr/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini