Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu: Perang Terbuka Belum Nyata

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu: Perang Terbuka Belum Nyata

PASTI LIBERTI MAPPAPA - detikNews
Rabu, 24 Des 2014 18:13 WIB
(Foto: detikcom)
Jakarta - Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu berbicara tentang ancaman pertahanan bagi Indonesia hingga pengawasan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Menurut Menhan Ryamizard, Indonesia belum menghadapi ancaman perang terbuka.

"Ancaman perang terbuka itu belum nyata. Sedikit sekali terjadi. Yang sangat nyata sekarang adalah teroris, perompak, pencurian ikan, dan energi. Berikutnya pelanggaran wilayah, bencana alam, dan penyakit. Ini harus kita perhatikan," jelas Ryamizard.

Berikut wawancara lengkap Menhan Ryamizard dengan Pasti Liberti Mappapa dari majalah detik pada Selasa (16/12/2014) lalu:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Visi maritim Presiden Jokowi apakah mengubah strategi pertahanan kita?

Secara mendasar tidak ada. Dari dulu ya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan kita. Jadi tidak ada perubahan yang mendasar. Hanya, beliau berfokus pada maritim.

Dari dulu Indonesia menjadi poros maritim dunia. Kalau dari barat mau ke timur, pasti lewat kita. Utara ke selatan dari daratan Asia ke Australia atau New Zealand lewat sini juga. Jadi sudah dari dulu. Tapi sekarang lebih difokuskan lagi, lebih disiapkan lagi. Namanya jalur seperti jalan tol itu harus disiapkan atau diamankan, sehingga jalur itu bagus.

Titik berat penguatan pertahanan kita ke depan pada matra laut?

Tidak boleh timpang, disinergikan. Harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Kalau berfokus pada laut tapi darat enggak kuat, tidak bagus juga, udara juga begitu. Laut tanpa udara susah juga. Jadi tidak mengubah fokus ke tiga angkatan itu.

Kemudian, untuk laut ini, dengan banyaknya tugas yang diberikan untuk melaksanakan apa yang dikehendaki Presiden, tentu ada penambahan-penambahan alutsista (alat utama sistem persenjataan): kapal-kapal, radar, dan lain-lain. Jadi pertahanan itu tidak boleh timpang. Harus nyambung.

Dengan begitu, otomatis anggaran pembangunan untuk TNI Angkatan Laut mendapat porsi lebih besar, dongโ€ฆPrioritas itu bukan berarti lebih besar. Tahun sekarang memang lebih besar. Tapi, kalau sudah cukup, pindah ke udara, ke darat. Tidak bisa besar terus, tidak boleh. Akhir-akhirnya kita ke darat. Kalau darat jeblok, gimana? Jadi harus sama.

Jadi tak perlu khawatir bakal ada potensi kecemburuan antarmatra, ya?

Tidak ada! TNI itu kompak.

Pencurian ikan itu salah satu gangguan bagi kita. Kita perlu menambah (alutsista), tapi tidak perlu yang berat-berat, seperti kapal tempur berat. Kapal patroli ringan dengan kecepatan tinggi yang bisa dibuat sendiri banyak, kok. Itu kita tambah. Udara kita perlu deteksi. Kemudian radar untuk mendeteksi di mana titik-titik kapal yang harus dikejar.

Berapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk mengamankan alur laut?

Cukup banyak. Tapi sekarang paling tidak kita cukupi dululah minimum essential force (MEF), itu dipenuhi dulu. Kalau mau terus-terus (ditambah), tidak akan cukup itu. Minimal sudah mampu mempertahankan kelautan dalam rangka mengamankan. Itu dulu yang kita penuhi. Karena setiap beberapa tahun, ada anggaran untuk itu. Anggaran sektor mana yang harus diperkuat. Jadi ada skala prioritaslah.
ย 
Kita membeli alat jangan sampai karena bagus, karena apa. Kita lihat hakikat ancaman, gangguan, hambatan, tantangan. Ancaman perang terbuka itu belum nyata. Sedikit sekali terjadi. Yang sangat nyata sekarang adalah teroris, perompak, pencurian ikan, dan energi. Berikutnya pelanggaran wilayah, bencana alam, dan penyakit. Ini harus kita perhatikan.

Dulu SARS (severe acute respiratory syndrome), sekarang ebola. Dulu tersebar tidak banyak, ke depan (virus) bisa lebih canggih lagi dan tersebar banyak. Ini harus diperhatikan.

Jadi anggaran yang disiapkan bukan (untuk) membeli senjata saja. Bagaimana satuan zeni (pun perlu) ditingkatkan kemampuannya, (dilengkapi) alat-alatnya. Kemudian (untuk) alat angkut, saya sudah bicara dengan pihak Amerika dan Australia bahwa kita akan membeli helikopter yang bisa mengangkut berat, salah satunya Chinook.

Jadi ini bukan untuk perang, tapi untuk kemanusiaan. Yang lain, seperti pesawat tempur canggih, untuk efek deterrent ya boleh-boleh saja. Tapi untuk kemanusiaan, (penanggulangan) teroris dan penyakit, ini penting. Ancaman perang besar itu kecil sekali.

Bagaimana dengan ancaman perang digital?

Sepuluh atau 12 tahun lalu saya sudah membuat buku perang modern. Perang modern itu bukan perang besar. Tapi ya cyber war. Itu kan banyak (pihak) terkait, Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), ada polisi untuk cyber crime. Tapi, kalau sudah mengancam negara, baru tentara.

Pembelian alutsista tahun 2015 sudah ditentukan?

Kita lihat dulu. Akan kita panggil kepala-kepala staf. Apa perlu kamu (beli)? Karena Kementerian Pertahanan kan melahirkan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan TNI. Kebijakan ini jelas dari atas, dong. Kita lihat apa ancamannya dulu. (Kalau) ancamannya kurang nyata, jauh, ya nanti saja. Perang (terbuka) masih jauh, kok. Yang dekat itu kayak teroris, perompak, maling-maling laut, cyber crime, dan penyakit.

Terkait pengadaan alutsista, KPK dimungkinkan untuk turut mengawasi?

Begini ya, yang ditakutkan adalah ini rahasia. Seperti kita membeli tank atau pesawat. Satu harganya 100, satu harganya 150. Orang pasti curiga, 150 ini ada tambahan apa, apa kelebihannya? Ini yang enggak boleh disampaikan. Seperti bom, kalau Indonesia beli 1.000, negara lain pasti ngitung. Kalau dipakai latihan habis 100, itu juga dihitung. Jadi itu rahasia, bukan masalah lindung-melindungi. Saya sudah bicara (dengan) teman-teman KPK.

Dalam perjalanan (karier) saya, dari dulu saya malas ngurus-ngurus begituan. Saya tidak pernah berurusan dengan rekanan. Kalau mau saya, saya tidak usah ngurus-ngurus begituan. Tapi ya Menteri Pertahanan menentukan kebijakan. Kita transparan sajalah. Tergantung kok, mau ada โ€œkapekaโ€ atau โ€œkapekeโ€ kek, kalau sudah nyelip sana, nyelip sini, enggak tahu juga.

Jadi di situ, ini rahasia negara, bukan rahasia untuk menutupi korupsi. Mudah-mudahan tidak ada korupsi. Kadang-kadang ada sedikit, tapi diembuskan seolah besar. Kalau kita sudah G to G (antarpemerintah), saya rasa tidak akan ada.

Selain penambahan alutsista, soal rencana pemekaran Kodam dan pembentukan Armada Tengah?

Itu masih dalam kajian. Kalau kodam, mungkin iya, karena (wilayah) terlalu besar. Contohnya, dulu di Kalimantan satu kodam. Panglimanya dari Balikpapan ke Kalimantan Barat harus ke Jakarta dulu. Sulawesi juga terlalu luas, padahal banyak masalah (seperti Poso). Papua juga begitu. Tidak bisa itu pangdam, mungkin selama satu tahun mengunjungi wilayahnya tidak akan selesai. Saking luasnya, saking susahnya perhubungan. Jadi semua bukan asal buat, tapi lewat kajian.

Selain infrastruktur, tentu akan ada penambahan personelnya?

Tidak ada tambah-tambahan. Kan sudah ada personel di daerah itu. Sama kayak dulu penggabungan dua kodam, personelnya ya itu-itu juga.

Anda sempat mengungkapkan agar Polri di bawah kementerian. Seberapa serius kajiannya?

Sebetulnya saya tidak terlalu bilang begitu. (Cuma praktek) di negara lain begitu. Ini kan berubah terus, lambat atau cepat. Mungkin juga polisi begitu, lambat atau cepat. Mungkin seratus tahun lagi, kita tidak tahu. Karena yang namanya demokrasi harus bisa mengubah itu. Mungkin selama sepuluh tahun lagi masih efektif begitu. Jadi saya tidak ujug-ujug bilang harus di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Jadi bukan ditargetkan terwujud dalam masa kepemimpinan Jokowi?

Enggak! Sebetulnya saya secara umum menyampaikan itu. Urusan saya kan pertahanan negara. Pertahanan negara adalah keamanan negara.

Wacana itu juga tidak terkait dengan kerapnya bentrokan polisi dengan tentara?

Itu sebetulnya pendekatan atasan ke bawah yang harus terus-menerus. Jangan sampai dikumpulkan, โ€œKamu jangan begini-begini, nanti saya tindak.โ€ Mungkin sebulan dua bulan tidak. Tapi berikutnya ada lagi. Pendekatannya itu, pemimpin harus ke bawah, menyelami yang di bawah.

Saya ke bawah terus. Kalau kontak senjata, saya bersama-sama mereka walaupun saya jenderal. Saya tahu bagaimana prajurit. Bagaimana perangnya, berani enggak? Demikian juga sekarang. Polisi ada apa, tentara ada apa. Menyelam ke bawah, temukan akar masalahnya.

Terkait hak pilih TNI yang tiap lima tahun menjadi polemik, menurut pandangan Anda?

Kita kan lain dengan negara besar seperti Amerika. Di sini kita sudah pecah dua: (Koalisi) Merah Putih dan (Koalisi) Indonesia Hebat. Apa tentara mau Merah Putih atau Indonesia Hebat juga? Kalau tentara sudah seperti partai, itu bahaya. Belum waktunya kita. Kapan? Ya, mungkin seratus tahun lagi. (Tapi dalam) satu-dua tahun, tidak mungkinlah.

Sebetulnya hak tentara itu sudah habis untuk negara. Contohnya, ada seorang tentara mau nikah. Bapaknya, ibunya, mertuanya, semuanya setuju. Lalu dia menghadap komandan, dan tak diizinkan. Ya sudah, tentara tidak boleh melawan. Kalau melawan, keluar dari tentara. Jadi hak dirinya sudah habis, apalagi hak politik.

Sekarang saja sudah dibilang tidak netral, apalagi kalau diberi kesempatan, tambah tidak netral. Orang kan banyak (kasih) iming-iming, โ€œKalau nanti partai ini menang, kamu jadi panglima atau begini-begini.โ€ Ya sudah, rusak. Jadi, dalam situasi seperti ini, belum dimungkinkan kita ikut-ikut seperti itu.

(pal/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads