Dikritik Meutya Hafid, Hakim Agung Surya Jaya: Kami Sangat Sensitif Gender

KDRT Kakek Sidarta

Dikritik Meutya Hafid, Hakim Agung Surya Jaya: Kami Sangat Sensitif Gender

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 24 Des 2014 10:23 WIB
Prof Dr Surya Jaya (rachman/detikcom)
Jakarta -

Hakim agung Prof Dr Surya Jaya menegaskan Mahkamah Agung (MA) sensitif gender, terutama soal isu-isu perempuan di kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal ini menanggapi kritikan Ketua International Forum of Parlementarian on Population and Development (IFPPD) Indonesia Meutya Hafid yang menilai putusan kakek Sidarta dalam kasus KDRT sebagai langkah mundur MA.

Di ruangannya di lantai 4 Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Surya Jaya menerima detikcom dengan ramah. Namun saat berbicara tentang isu-isu perempuan, ekspresi guru besar Universitas Hasanuddin itu langsung berubah menjadi serius.

"Kami sensitif gender, kami sangat sensitif," kata Surya Jaya. Putusan kasus Sidarta diputus oleh ketua majelis Zaharuddin Utama dengan anggota Suhadi dan Surya Jaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut petikan lengkap wawancara detikcom di ruangannya yang dilakukan Selasa (23/12/2014) sore:

Bagaimana sebetulnya dengan posisi perkara Sidarta?

MA tidak membebaskan atau melepaskan terdakwa. MA menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak diterima. Kalau argumentatif membebaskan terdakwa, memang tidak tepat untuk dipersoalkan. Tapi putusan bukan membebaskan.

Jadi apa yang diputuskan?

Tidak menerima dakwaan penuntut umum karana adanya alasan pencabutan. Masak perkara dilanjutkan kalau perkaranya sudah dicabut?

Putusan memang tidak masuk ke substansi perkara. Sama sekali tidak menyangkut unsur pasalnya terbukti/tidak. Yang dipertimbangan, korban mencabut aduannya. Itu saja. Orang mencabut aduan karena ada alasan. Itulah alasan-alasan di pertimbangan untuk membenarkan adanya pencabutan korban.

(Kamini melaporkan kekerasan yang dialaminya karena dipukul suaminya, Sidarta, pada Januari 2012. Enam bulan setelahnya, Kamini mencabut aduannya karena telah memaafkan Sidarta).

Pencabutan berdasarkan Pasal 75 KUHP dibatasi maksimal 3 bulan setelah aduan diterima. Tapi ini disimpangi MA. Bagaimana ini?

Ya itulah alasan MA di pertimbangan tadi. Ada semacam politik hukum dalam putusan itu. Sebenarnya das solen pencabutan itu jangan dibatasi dalam waktu 3 bulan, ke depannya mungkin 6 bulan atau sebelum diputus. Itu lebih memberikan memberikan nuansa keadilan, ketimbang orang dibatasi.

Bagaimana jika 3 bulan 5 hari baru mencabut karena rasa keadilan? Ini terobosan hukum, memberikan nuansa pembaruan hukum, ketentuan yang mungkin hari ini sudah tidak adil lagi diterapkan.

Apakah semua pencabutan bisa langsung diamini/dikabulkan?

Pencabutan harus dilihat alasan-alasannya. Apakah ini sudah berulang dilakukan, bagaimana keadaan korban, apakah direkayasa, semua harus dipertimbangkan. Kalau misalnya dia cabut, ternyata rekayasa, masak kita mau kabulkan?

Bagaimana dengan kritikan Meutya Hafid?

Kita sependapat dari segi substantif dengan Ibu Meutya Hafid. Tapi pergerakan putusan bukan di substansi, tapi di pencabutan. Kalau berulang, direkayasa, nggak mungkin lah kita lolosin, pasti kita hukum berat. Kalau substansi kita (Surya dan Meutya) sama, tidak ada bedanya.

Ada kekhawatiran, putusan ini akan menjadi preseden buruk dalam memerangi KDRT?

Tidak semua kasus harus diperlakukan sama. Masak yang sudah babak belur dengan yang tidak ada dampaknya tiba-tiba diputuskan sama.

(asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads