Bagi Didi Kwartanada, sumber penulisan sejarah tak melulu berupa dokumen langka di sudut-sudut perpustakaan. Iklan kematian di surat kabar pun bisa menjadi sumber informasi cukup sahih. Hal ini ia lakukan antara lain untuk mengumpulkan data tentang orang-orang WNI keturunan Tionghoa yang masuk menjadi anggota TNI.
βKarena, biasanya pas meninggal dunia itu nama Tionghoanya ditulis lengkap,β kata pria yang pernah mengikuti program doktor bidang sejarah dari National University Singapore itu.
Dari penelisikan Didi, sebetulnya cukup banyak orang Tionghoa yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan, baik sebagai prajurit maupun membantu di bidang lain sesuai keahliannya. Termasuk di era Orde Baru hingga saat ini. Untuk lebih jelasnya, berikut ini petikan perbincangan Majalah Detik dengan Didi di kantornya, Yayasan Nabil di kawasan Permata Hijau, Rabu (29/1/2014) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya mau kilas balik untuk menjawabnya. Jadi, saat menjajah Indonesia, pemerintah kolonial membagi tiga lapisan masyarakat, yaitu kelompok minoritas yang merupakan orang-orang Eropa, seperti Belanda dan Inggris. Juga kemudian Jepang masuk kelompok ini. Lalu ada kelompok pribumi atau inlander sebagai mayoritas, dan kelompok perantara yang berada di tengah-tengah. Kelompok terakhir ini ada Tionghoa, Arab, dan India. Kebijakan divide et impera ini efektif mencegah kemungkinan munculnya persatuan yang berpotensi membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial.
Ketika Jepang masuk pada 1942, dia bukan memperbaiki struktur masyarakat, tapi malah memperkuat segregasi antara masing-masing kelompok tersebut. Di masa penjajahan Jepang, etnis Tionghoa semakin diperlakukan berbeda dan dikenai pajak layaknya orang asing. Padahal di antara masyarakat Tionghoa itu tentu saja tak semuanya totok atau pendatang baru dari daratan Tiongkok, tapi ada peranakan. Tapi semua diperlakukan sama.
Kondisi tersebut berpengaruh saat pecah revolusi fisik. Sejarawan Jerman, Mary Frances Somers-Heidhues, yang meneliti soal Politik Peranakan sewaktu kuliah di Universitas Cornell, Amerika Serikat, menyebut ada tiga sikap politik yang muncul dari kalangan etnis Tionghoa di Indonesia ketika revolusi kemerdekaan.
Pertama, yang mayoritas adalah bersikap netral karena merasa perang kemerdekaan itu urusan Indonesia dan penjajahnya, yakni Belanda.
Kedua, justru bersikap aktif dengan turut menjadi pejuang dalam pertempuran, penyelundup senjata, membantu logistik lewat dapur umum atau lewat relawan kesehatan. Dan ketiga adalah mereka yang menghendaki perlindungan dari Republik Tiongkok di bawah Chiang Kai-shek. Kan waktu itu Cina termasuk βThe Big Fiveβ, yang mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itulah yang bisa menjelaskan kenapa kelompok etnis Tionghoa tidak padu dalam menyokong perang kemerdekaan Indonesia. Tapi sebetulnya di kalangan pribumi sendiri juga ada orang-orang yang ikut jadi serdadu Belanda. Bahkan, ketika Van Mook melakukan perundingan, misalnya, dia mengutus Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo, bangsawan Jawa.
Dengan latar belakang seperti itu, Anda bisa menyebutkan orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam perjuangan....Ketika memasuki masa revolusi, sebetulnya ada beberapa orang Tionghoa yang bergabung dengan TNI. Saya menemukan kliping koran pada 1940-an yang memberitakan tentang tertangkapnya seorang keturunan Tionghoa oleh tentara Belanda karena membawa dokumen-dokumen tentara.
Lalu di Taman Makam Pahlawan Jurug, Surakarta, itu juga ada satu makam tentara pelajar: Ferry Sie King Lien, yang tewas saat angkat senjata melawan Belanda. Kurun waktunya sekitar 1948-1949. Kami juga sedang mengumpulkan nama-nama Tionghoa yang dimakamkan di TMP di berbagai daerah. Atau mereka yang mendapatkan bintang jasa atau penghargaan, seperti bintang gerilya dan lain-lain.
Di Riau, misalnya, ada Tang Kim Teng, anggota Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah pimpinan Hassan Basri. Dia bertugas mencari senjata, bahan peledak, seragam tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya di Singapura. Di Jambi cukup banyak keturunan Tionghoa yang menjadi veteran dan mendapat penghargaan. Cuma, selama ini peran dan kiprah mereka memang belum banyak diekspos.
Di awal tadi disebut ada tiga etnis asing, yakni Tionghoa, Arab, dan India. Tapi kenapa cuma Tionghoa yang sepertinya mendapat perhatian khusus?
Itu bisa dipahami karena Tionghoa secara demografi jumlahnya lebih besar. Sementara golongan Arab, karena memiliki kesamaan agama dengan penduduk mayoritas, tentu turut mempengaruhi eksistensi mereka.
Artinya, bila mayoritas pribumi nonmuslim, tentu etnis keturunan Arab dan India yang.... Belum tentu juga. Di Manado itu hubungan etnis Arab dengan penduduk setempat yang mayoritas Protestan tidak kesulitan. Itu menarik sekali.
Benarkah di era Orde Baru etnis Tionghoa terlarang masuk birokrasi dan ABRI?
Nah, memasuki masa republik yang stabil, rupanya TNI Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Laut (AL) itu lebih dulu mencatat nama-nama Tionghoa di kesatuannya. Di AL, sejak berdiri, ada nama John Lie.
Di AU pun, ketika mengirim pilot-pilotnya ke Taloa (Academy of Aeronautics, Transocean Airlines Oakland Airport di Minterfield-California, pada 1950), dua di antaranya adalah keturunan Tionghoa. Salah satunya mencapai pangkat bintang satu, yakni Soegandhi (Gandhi). Dia salah satu penerbang terbaik Hercules yang menerbangkan Moerdani dalam operasi pembebasan Irian Barat. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata. Para lulusan Taloa itu antara lain Oemar Dhani dan Saleh Basarah, yang kemudian menjadi KSAU. (Juga Sri Mulyono Herlambang, red).
Sedangkan di AD, saya menangkap kesan sepertinya agak lambat. Baru tahun 1960-an pemuda-pemuda Tionghoa masuk, seperti Brigjen Teddy Yusuf. Juga ada Agung Harmono yang seangkatan dengan Pak Kuntara dan Sintong Panjaitan. Pak Agung itu pernah berjuang bersama Feisal Tanjung di Papua.
Tapi sejak 1970-an, yang masuk tentara lebih banyak lewat jalur ikatan dinas, seperti dokter dan hukum....Sepertinya memang demikian, tapi data saya masih terbatas. Salah satu upaya saya menelisik data-data orang Tionghoa yang masuk TNI itu antara lain dari iklan kematian di surat kabar. Karena, biasanya pas meninggal dunia itu nama Tionghoanya ditulis lengkap.
Atau, bila ada orang tua Tionghoa meninggal dunia, di deretan yang berduka biasanya ada nama anak-anak yang ternyata berpangkat kemiliteran, maka itu menjadi indikasi yang bersangkutan keturunan Tionghoa. Tapi, kalau dokter itu dari masa Dwikora dan Trikora itu sudah banyak orang keturunan Tionghoa yang masuk TNI. Seperti sepupu saya dari kedokteran, waktu operasi di Irian Barat itu ikut bergabung.
*) Isi dari artikel ini sudah dimuat dalam Majalah Detik Edisi 114 yang terbit 3 Februari 2014
(alx/nwk)