Lepaskan Koruptor Rp 1,2 Triliun, Independensi Hakim Bukan Selera Pribadi

Lepaskan Koruptor Rp 1,2 Triliun, Independensi Hakim Bukan Selera Pribadi

Andi Saputra - detikNews
Senin, 02 Sep 2013 12:27 WIB
Dr Mudzakir
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) melepaskan Sudjiono Timan yang divonis 15 tahun karena korupsi Rp 1,2 triliun. Majelis hakim yang diketuai oleh Suhadi menegaskan putusan tersebut dibuat dengan independen tanpa pengaruh apa pun.

Namun hal itu masih menjadi tanda tanya banyak kalangan, sebab dengan pertimbangan hukum yang sama, mengapa MA bisa menjatuhkan putusan yang berbeda di tahapan kasasi dan PK?

Berikut wawancara detikcom dengan pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Mudzakkir, Senin (2/9/2013):

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa muncul PK Timan, padahal pertimbangan PK sudah diadili di kasasi?

Itulah yang menjadi catatan, dengan pertimbangan hukum yang sama, tanpa novum mengapa bisa berbeda antara vonis kasasi dan PK? Ini menjadi tanda tanya, manajemen MA bagaimana dan produk MA seperti apa sesungguhnya. Apakah yurisprudensi MA itu kasasinya atau PK-nya? Mengapa dalam situasi yang sama tetapi putusannya berbeda? Saya kira itu catatan penting.

Bagaimana dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang mengatur terpidana harus hadir di persidangan? Sementara Timan tidak hadir karena buron?

Ini catatan penting juga. Jangan sampai hakim agung justru melecehkan terhadap SEMA itu sendiri. Bagaimana MA meminta hakim lain terutama bawahan untuk taat terhadap aturan MA, semetara hakim agung saja tidak taat aturan yang dibuatnya.

Hakim agung seharusnya memberi contoh bagi yang lain. Putusan itu menjadi tanda tanya.

Bagaimana dampaknya ke depan?

Kalau itu menjadi yurisprudensi tanpa ada evaluasi dari MA sendiri, nanti MA akan melahirkan produk hukum yang merusak MA itu sendiri karena dia akan menjadi yurisprudensi hukum. Yurisprudensi yang tidak berkualitas akan menghasilkan produk hukum yang tidak berkualitas.

MA tidak ada lembaga yang menata ulang terhadap produk ulang terhadap yurispudensi itu. Seperti kasus Yamani cs soal hukuman mati, tidak ada yang meralat sampai hari ini. Itu artinya jadi yurisprudensi. Jadi jika saya akan menjatuhkan hukuman serupa bagaimana? Bagaimana meralat hal itu?

Ini yang penting, harus ada lembaga yang mengontrol produk MA yang menyimpangi prinsip hukum yang telah ada, bukan yang menginovasi hukum baru.

Yamani menganulir vonis mati gembong narkoba Hengky Gunawan dengan alasan hukuman mati melanggar HAM dan UUD 1945. Padahal hukuman mati masih diakui di KUHP dan hukuman mati belum diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Bukankah ada prinsip independensi hakim sehingga hakim bebas mengadili perkara?

Independensi hakim harus diartikan, apakah bebas semaunya sendiri atau bebas dalam koridor hukum yang harus ditaati. Nah ini yang saya kira kata-kata independesi harus diterjemahkan 'bebas dalam koridor hukum'.

Independensi hakim alatnya ilmu pengetahuan, bukan interpretasi hukum seenaknya sendiri terhadap kaidah hukum yang ada. (Kasus Timan) Itulah produk hukum yang hakim agung pun tidak konsisten dengan pemikiran-pemikiran hukum produk sendiri.

Independensi hakim tepatnya diartikan sebagai apa?

Dalam rangka mengembangkan hukum ada inovasi hukum tetapi dalam koridor ilmu pengetahuan hukum selama ini tidak dilakukan. Selama ini karena selera pribadi, tidak berdasarkan ilmiah ilmu pengetahuan hukum. Namanya itu selera pribadi, padahal harus ada penjelasan ilmiah.

Bagaimana vonis PK yang mengadopsi putusan PN?

Kalau itu sudah diangkat di kasasi, ibaratnya kan sudah diuji oleh MA.

Kalau suap vonis Timan terbukti?

Problemnya, menurut saya catatan penting, kalau ada produk hukum terbukti hakim itu menerima suap, maka putusan itu harus direvisi oleh hakim yang lebih tinggi. Harus diuji ulang. Kalau sekarang belum ada. Seharusnya diuji ulang, baik oleh banding, kasasi. Kalau masih ada sudah suap juga, PK.

Bagaimana jika suapnya di PK?

Di PK yang kedua. PK kedua ada kemungkinan sekali, kalau putusan itu salah karena kejahatan, bisa diralat.

Kalau PK atas vonis mati, kapan dieksekusinya kalau ada PK kedua dan seterusnya?

Harus ada masa tunggu. Harus diberi kesempatan dalam 5 tahun, kalau tidak ada PK lagi atau selama 5 tahun mengajukan PK tetapi ditolak, maka dieksekusi mati.

(asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads