"Saya lihat kecenderungannya SBY melakukan berbagai strategi soft landing," ujar dosen komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Gun Gun Heryanto.
"Twitnya Presiden itu jangan sesuatu yang terlampau yang orang sering lihat di TV. Hendaknya fleksibel bahasanya, bukan bahasa teks pidato," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istana Kepresidenan menyusul Presiden SBY dan baru saja Gita Wirjawan membuat akun twitter, ini tujuannya Pemilu 2014 atau hanya ingin mendekatkan diri pada rakyat?
Saya melihat memang penggunaan sosial media bagaimanapun adalah keniscayaan, sebuah saluran yang sudah dipakai banyak orang kelompok menengah kritis perkotaan. Twitter berbeda dengan Facebook. Twitter karakteristiknya saluran yang banyak dipakai, yang di situ bila diidentifikasi ada publisis, progagandis, hacktivis dan diseminator, segala macem ada di situ.
Saya lihat kecenderungannya SBY melakukan berbagai strategi soft landing. Seperti silaturahmi dengan tokoh-tokoh, Prabowo, 7 jenderal, ormas Islam.
Sentralisasi power di internal Partai Demokrat ini dengan konvensi ini mendistribusikan tanggung jawab dia soal elektabilitas partai. Sekarang kan dia tidak bisa berkelit, naik-turunnya PD ditentukan faktor SBY. Pencitraan model baru, konvensi, di sini masalahnya, konvensi diterapkan PD belum jelas standar outputnya, standardidasi konvensi seperti apa atau hanya political marketing saja.
Terakhir, twitter ini mata rantai proses membangun hubungan yang jauh lebih postitif. Ini mengubah persepsi di khalayak. Selama ini SBY terkesan sangat berjarak, high context, tidak terlampau down to earth, bukan populis.
Ingat kasus blusukannya SBY? Itu juga mata rantai. Kini dia jauh lebih possible, ngetwit itu bagian dari treatment, stimulan, memperbaiki persepsi negatif ke netral, syukur-syukur positif. Itu namanya mengubah kuadran persepsi publik. Rumusannya negatif-netral-positif.
Tentu salah satu strategi, bagaimanapun membangun attention-interest-confliction-action sudah sangat populer mengalihkan perhatian, menarik minat, hasrat untuk berkomunikasi, ada proses menimbang-nimbang sisi positif, bisa saja menimbulkan respek.
Apakah cara ini cukup efektif untuk berkomunikasi dengan warga?
Ini bisa menjadi salah satunya, karena efektifivitas twitter ini banyak saluran komunikasi. Ini sudah masuk generasi ketiga komunikasi politik, setelah retorika mainstream media dan social media.
Di Twitter, seluruh elemen termasuk presiden, ada. Di Twitter bisa bercengkerama, sharing dengan banyak orang, harus respek di tengah berbagai persoalan kepartaian. Pak SBY ingin berkomunikasi kita harus apresiasi dia, bagus-bagus saja meski ya masih banyak indikator lain yang harus diukur.
Apakah SBY tetap dengan pakemnya, pemimpin high context, protokoler, menjaga wibawa lebih utama di twitter?
Istana dan Gita Wirjawan membuat twitter dalam waktu hampir bersamaan, menurut Anda apakah ini sinyal bahwa partai penguasa akan mengusung Gita sebagai capres PD?
Bisa saja dihubung-hubungkan, tapi bagi saya terlalu simplikatif. Pembuatan akun @istanarakyat menjadi obrolan lantas apa kepikiran buat akun juga? Gita misalnya, kita lihat kecenderungan didukung daftar konvensi atau nggak.
Di twitter itu kan cukup bebas ya, dari ngomong yang paling sopan hingga paling kasar ada, nah menurut Anda, apakah BY sudah siap mental menghadapi warga di dunia maya ini?
Tentunya mungkin dia harus familiar dengan twitter ya, belajar ketat dengan tim-timnya, bukan sesatu yang gampang karena dunia cyber termasuk twitter tidak ada presiden, tidak ada rakyat jelata, harus paham itu. Siap dihujat, dijadikan objek bully, siap kemudian dengan skenario banyak banget follower.
Akun pribadi yang resmi itu jangan artifisial, jangan terlalu dominan sebetulnya orang-orang yang mengendalikan dengan SBY paham, dengan presiden tidak terlampaui banyak waktu untuk ngetwit, atau akun atas nama presiden tapi dibuat oleh orang lain. Harus ada personalisasi, saluran media itu harusnya menunjukkan representasi dari SBY.
Kalau formalitik sama saja dengan media konvensional, bahasanya tertata, pernyataannya, unpredictable, nggak seperti bicara di TV. Kalau sama nggak perlu twitter, harusnya fleksibel dan personal.
Sekarang ada revisi KUHP yang menyangkut pasal penghinaan presiden. Menurut Anda apakah aturan itu juga disiapkan untuk mencegah penghinaan presiden di dunia maya seperti ini?
Nggak sih, sosial media jauh lebih makro. Saya nggak setuju dengan UU itu, terlalu membatasi, terlalu pasal karet. Bahwa itu dipersiapkan untuk social media, saya kira nggak juga. Juga harusnya paham dan tahu ada UU ITE.
SBY berani muncul dengan akun twitternya mau memanfaatkan saluran komunikasi rigid, orang bisa ngetwit memuji setinggi langit, atau menghujat sedalam bumi. Jadi menurut saya harus paham betul karakteristik itu media borderless, unrestricted, twit itu adalah revolusi 2.0, pelaku atau netizen bisa sebagai produsen juga konsumen berita.
SBY harus paham itu sehingga lebih bersifat tidak berjarak, ada segala macam merepresentasikan dirinya. Terlampai rigid dengan protokoler publik tidak akan suka.
Kalau hanya formalistik, palsu, berjarak, diisi orang-orang yang sebetulnya berada di lingkungan dia, publik lama-lama tahu. Seperti SMS, banyak ber-SMS, setelah tahu twitnya nggak dibalas atau ditindaklanjuti, lama-lama orang malas.
Apakah cara SBY kali ini mengadopsi cara Presiden AS Barack Obama?
Kalau itu sih biasa, apa yang dilakukan Obama contoh dari Twitter presiden yang fleksibel. Baca twitnya Obama, baca saja informatif, kerap kali sederhana, mempunyai kehidupan yang ingin diungkapkan tapi tidak kayak ABG.
Twitnya presiden itu jangan sesuatu yang terlampau yang orang sering lihat di TV. Hendaknya fleksibel bahasanya, bukan bahasa teks pidato.
Ke depan, untuk 2014, apakah social media mampu merangkul pemilih muda dan swing voter?
Klaster pemilih rasional saya kira swing voter bisa saja social media membantu reinforcement proses penentuan informasi. Sekarang anak-anak muda lihat TV itu seperti outsider dari dia, berita jadi outsider dari dia. Twitter atau FB, kelas menengah rasional lebih memilih twitter, dianggap lifetsyle, mempengaruhi dia, dunia dalam genggamannya betul-betul terwujud. Dia bisa dapat link di twitter, memasang link di twitter, banyak info yang dia baca dari twitter dulu.
2014 memang tren penggunanan social media untuk politik akan meningkat. Ada beberapa tipikal pengguna, publisis untuk popularitas, propagandis untuk legitimasi pihak lawan dan dirinya, hacktivist yang melawan informasi, disseminator yang mengolah isu harian dan membagikan.
Bahkan sudah ada penanganan ahli social media spesialist, jadi spin doctor bagi banyak partai dan kandidat, sehari-hari mengendalikan banyak akun by design. Nah profesi ini merambah ke politik, banyak kliennya, parpol dan kandidat terutama di kota-kota besar. Jadi perang nanti tidak hanya di mainstream media, tapi juga di social media.
(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini