Ronald Rofiandri: Pola Komunikasi Proyek Bermasalah, DPR Rugi Sendiri

Ronald Rofiandri: Pola Komunikasi Proyek Bermasalah, DPR Rugi Sendiri

- detikNews
Kamis, 12 Jan 2012 14:09 WIB
Jakarta - Publik meradang. Sebab diam-diam ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR direnovasi dan menyerap dana Rp 20 miliar lebih. Pola komunikasi dalam penyampaian proyek pengadaan barang dan jasa dikritik. Jika komunikasinya tidak berubah, DPR bakal rugi sendiri.

"Kelemahan pengadaan yang terkomunikasikan itu selama ini kan soal angka, jadi wajar kalau reaksinya negatif. Apalagi kalau angkanya dinilai tidak rasional. Apa memang benar renovasi ini dibutuhkan? Apakah memang relokasi ini sampai harus ada pengerjaan baru sama sekali atau bagaimana? Yang seperti ini harus dikomunikasikan kepada publik," kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri.

Menurut dia, yang jadi masalah bukan hanya soal pengadaan ruang baru, tapi gaya komunikasi DPR. "Repotnya begini ini kalau pola komunikasinya seperti sekarang. Kalau ke depan DPR ingin pengadaan tenaga ahli atau peneliti dan karena benar-benar butuh, harus dimunculkan dulu seberapa butuh. Kalau muncul angka dulu, apalagi yang tidak rasional, maka ruginya di DPR sendiri," imbuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut ini wawancara detikcom dengan Ronald, Rabu (11/1/2012):

Banggar merenovasi ruang rapatnya dengan anggaran lebih dari Rp 20 miliar. Pendapat Anda?

Soal renovasi ini saya juga baru belakangan mengetahui. Kalau niat baik bersikap transparan sudah sejak awal disosialisasikan, saya kira tidak gaduh begini. Seperti dulu saat pembangunan gedung baru, ada sosialisasi yang disampaikan di website DPR. Sosialisasi ini dilakukan jauh sebelum pengadaan. Meski kemudian batal karena angka yang dinilai terlalu besar dan terkait kebutuhan DPR sendiri.

Kalau diumumkan pada saat pengadaan, ini namanya bukan sosialisasi. Sikap transparannya dipertanyakan. Kita ingin menanyakan konsistensi anggota Dewan untuk bersikap transparan.

Anggarannya yang lebih dari Rp 20 miliar, menurut Anda wajar?Β 

Saya tidak begitu tahu detail teknisnya seperti apa, apakah ada perpindahan ruang atau bagimana. Tapi logikanya kalau hanya renovasi tidak harus sampai Rp 20 miliar. Saya kira DPR bisa mengoptimalkan yang sudah ada. Rp 20 miliar saya kira terlalu besar.

Kelemahan pengadaan yang terkomunikasikan itu selama ini kan soal angka, jadi wajar kalau reaksinya negatif. Apalagi kalau angkanya dinilai tidak rasional. Apa memang benar renovasi ini dibutuhkan? Apakah memang relokasi ini sampai harus ada pengerjaan baru sama sekali atau bagaimana? Yang seperti ini harus dikomunikasikan kepada publik.

Jadi ini bukan hanya soal pengadaan ruang baru, tapi gaya komunikasi. Repotnya begini ini kalau pola komunikasinya seperti sekarang. Kalau ke depan DPR ingin pengadaan tenaga ahli atau peneliti dan karena benar-benar butuh, harus dimunculkan dulu seberapa butuh. Kalau muncul angka dulu, apalagi yang tidak rasional, maka ruginya di DPR sendiri.

Renovasi dilakukan pada saat reses sehingga ada kalangan yang menganggap kegiatan ini dilakukan diam-diam. Menurut Anda?

Di luar masa reses atau di masa reses, kesempatan untuk transparan itu tersedia. Seperti rencana gedung baru, jauh sebelum pengadaan sudah dilakukan sosialisasi. Seharusnya proyek-proyek DPR itu itu semuanya transparan. Perlu disosialisasikan di awal tahun, proyek apa saja yang akan dilakukan sepanjang 2012. Soal rencana pengadaan itu bakal terlaksana atau tidak kan urusan nanti. Jangan hanya transparan di awal saja. Dialog dengan publik relatif bisa mengurangi risiko.

Setiap kali mau keluar uang, DPR ini selalu disorot. Misalnya pembangunan gedung baru, renovasi toilet, finger print. Karena jadi sorotan akhirnya proyek dibatalkan atau diturunkan anggarannya. Mungkinkah karena hal ini membuat mereka diam-diam?

Ini namanya modusnya memanfaatkan kelengahan masyarakat. Karena mungkin juga di tengah masyarakat lagi ada banyak isu terkait panggung politik nasional.

Bahwa kemudian banyak pengadaan DPR yang ditolak publik, seperti saya katakan tadi, itu soal komunikasi perencanaannya. Kalau diam-diam dilakukan, belakangan juga akan ketahuan. Ini kan soal menunggu kebobrokan terbuka. Kalau saja rencana ini dibuka sejak awal, sebelum tahap pengadaan, saya yakin bisa mengurangi resistensi.

Sosialisasi pengadaan barang dan jasa sejak jauh hari ini besar kemungkinan bisa dilakukan?

Bisa saja. Karena yang namanya pengadaan itu kan tidak muncul mendadak. Ada tahap tender, prosedur, jauh sebelum itu bisa sosialisai. Dari sosialisasi itu bisa mengetahui bagaimana tanggapan publik.

Misalnya DPR butuh tempat parkir, nah ini harus didahului dengan survei kebutuhan pada pengunjung atau tamu bahwa mereka memang butuh. Karena parkir kan memang harus disediakan untuk tamu, masyarakat, atau rombongan pemerintah. Lalu kalau misalnya DPR butuh tenaga peneliti atau perencana, hal itu bisa dilihat dari kelambanan DPR merespons isu dari luar, dan sebagainya.

Sosialisasi sejak awal ini penting juga untuk meminimalkan keluarnya anggaran awal dari suatu proyek yang dibatalkan?

Betul, ini bisa mengindari pemborosan seperti itu. Ini juga demi kebaikan DPR sendiri. Kalau muncul angkanya dulu tanpa diberi tahu apa kebutuhan DPR, akhirnya dicurigai. Harus diubah komunikasi dalam bidang pengadaan ini. Kalau diam-diam melakukan pengadaan, lalu ketahuan, nanti jeleknya kena di DPR sendiri.

Kalau Anda lihat, transparansi pembangunan dan penggunaan anggaran DPR selama ini bagaimana?

Kalau memang dulu pengadaan gedung baru sebenarnya kan sudah transparan. Disosialisasikan ke publik dulu, kemudian dimunculkan angka. Pada akhirnya perdebatannya itu kan kebutuhannya apa, apakah sudah melakukan assessment kebutuhan. Untuk tahu apa yang benar-benar dibutuhkan bisa survei ke anggota, survei ke penggunanya dulu. Lalu dijelaskan kondisi yang ada bagaimana. Jadi bukan kehebohannya dulu yang dimunculkan sehingga tidak produktif.

Selain sosialisasi sejak awal, apa yang harus dilakukan DPR agar lebih transparan?

Jadi pertama, soal skema waktu. Kebutuhan DPR dan rencana pengadaan disampaikan di awal. Ini akan memberikan pemahaman yang lebih lengkap kepada publik.

Kedua, hindari lebih dulu komunikasi soal angka. Misalnya soal gedung baru, saya termasuk sedikit orang yang tahu bahwa sebenarnya sudah ada survei tenaga ahli yang disuarakan perguruan tinggi. Tapi informasi ini hanya diketahui sedikit orang dan tidak pernah muncul secara masif. Yang muncul kan angka, jadinya gaduh dan tidak produktif.

Ketiga, pola komunikasi. DPR juga bisa mengoptimalkan website yang dimiliki. Sekarang website belum bisa secara masif digunakan sebagai rujukan. Tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi verbal yang rawan atas validitas angka.

(vit/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads