"Nggak pernah diuwongke (dimanusiakan, red), nggak pernah diajak ngomong sama manajemen. Sekarang pembantu saja kalau nggak diajak ngomong keluar, apalagi pilot. Diajak ngomong dong kalau misalnya, mau sewa pesawat, siapa tahu ada ide-ide dari pilot-pilot," ujar pakar penerbangan independen yang juga mantan pilot Garuda Indonesia, Capt Rendy Sasmita Adjiwibowo.
Berikut wawancara lengkap Capt Rendy yang sudah malang melintang di dunia penerbangan lebih dari 30 tahun ketika berbincang dengan detikcom, Kamis (28/7/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu (gaji) hanya pemicunya saja sebenarnya, sudah ada api dalam sekam. Kenapa? Manajemen itu kalau mau beli pesawat pilotnya tidak diajak ngomong.
Emang apa urusannya sama penambahan pesawat? Di Indonesia, khususnya di dunia pada umumnya, sekarang lagi kekurangan pilot. Supply dan demand, lebih banyak demand daripada supply.
Kita berbicara untuk Indonesia saja, dengan 8 sekolah penerbangan termasuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug dengan (meluluskan pilot) kecepatan penuh pun kurang. Mereka maksimum melakukan pendidikan penerbangan untuk mengisi kebutuhan domestik saja kurang. Sedangkan pengembangan airlines di Indonesia luar biasa, airline bisa menambah pesawat.
Pesawat nambah 1 saja, misalnya Boeing 737, itu dibutuhkan 5 set kru, ya 5 pilot, 5 kopilot dan awaknya. Kalau nambah 10 pesawat berapa set kru yang dibutuhkan? Nah, ini harusnya diomongkan sama pilotnya, saya mau nambah pesawat, solusinya bagaimana, cutinya dikurangi begitu mungkin, atau pendidikan pengayaan penerbangan untuk menambah wawasan mungkin bisa dikurangi. Atau mungkin dikurangi istirahat dari 3 hari menjadi 2,5 hari. Itu saja negotiable.
Apa yang terjadi selama ini nggak pernah ngomong, tahu-tahu pilot kena getahnya saja. Garuda pusing kepala, dia pasang iklan di luar, dibutuhkan pilot di maskapai Asia Tenggara, ternyata Garuda yang memakai. Setiap sewa pilot baru kinyis-kinyis antara USD 5 ribu hingga USD 6 ribu. Yang stres kalau ditanya mau ke mana paling bengong dia, nginapnya di hotel bintang lima. Sementara kalau pilot yang sudah bekerja di Garuda di kompleks perumahan apa.
Jadi ya kalau kapten (domestik) gajinya USD 4 ribu sekian, kopilotnya (asing) beda kasta jadi USD 5 ribu atau USD 6 ribu atau USD 7 ribu, lebih tinggi dari pilotnya. Itu menambah jengkel, sudah ada api dalam sekam, nggak diajak ngomong, tahu-tahu sewa pilot asing, kastanya dibedakan. Memang tidak pakai asuransi, nggak pakai kesehatan, tapi tetap saja kan lebih gede, mau nggak mau Garuda harus memasuki dunia penerbangan yang sebenarnya, yaitu multinasional.
Contoh Malaysian Airline, sudah lama ada pilot Indonesia, Australia dan pilot mana pun tidak ada masalah karena pilot lokal Malaysia gajinya paling gede. Karena Malaysia nasionalismenya tinggi, pilot baru masuk tetap di bawah pilot lokal. Termasuk Korean Air dan penerbangan Asia lainnya, termasuk Bangladesh.
Kalau dibilang pilot gajinya lebih besar, dibandingkan apa dulu, sama sopir bajaj, tapi bukan itu, karena supply dan demand, lebih tinggi demand. Kalau manajemen bilang nggak mau keluar saja, ya nanti keluar betul semuanya.
Cepat atau lambat tren dunia penerbangan regional bahwa namanya pilot mahal harganya. Nanti kalau ada yang bilang nanti orang teknik protes, orang IT juga protes ya silakan saja protes minta gaji naik, dikeluarkan. Kalau orang teknik dan IT dipecat bisa ada 100 yang daftar, kalau pramugari-pramugara pilot dipecat, ada 1000 yang daftar. Kalau pilot dipecat 1 saja, nunggu sampe bertahun-tahun.
Tidak bisa disamakan dengan pilot, manakala tetap mogok dipecat saja, nggak bisa begitu. Untuk menjadi kapten pilot saja, nggak bisa yang lulusan 5 tahun lalu, jam terbangnya kurang. Untuk jadi kapten, ongkosnya mahal, berapa ribu jam terbang dapat ditempuh, berapa tahun. Di Garuda, butuh 15 tahun baru jadi kapten.
Banyak pilot-pilot Garuda diiming-imingi kerja di airline lain, ya boleh saja, tapi pernah ada kejadian dalam waktu 24 jam suatu airlines keluar landasan. Gaji itu jadi pemicu saja.
Sebenarnya berapa seharusnya standar pendapatan pilot? Apakah seharusnya sama standar pilot asing dengan pilot lokal, atau standar pilot pegawai tetap dengan kontrak?
Yang namanya pesawat terbang Operating Cost-nya di pesawat ada depresiasi, harus ada ongkos bayar kembali sewanya itu. Biaya untuk membayar pesawatnya, biaya bensin itu fix cost, di dunia mana pun juga sama, dalam US Dollar, ada standarnya.
Standarnya (gaji pilot) rata-rata USD 10 ribu, kalau seperti Federal Express (FedEx) itu bisa sampai USD 22 ribu itu, paling tinggi di dunia.
Costnya sama, dengan Singapore Airlines, sama cost sewa pesawatnya, harga avturnya, pilot Garuda dibayar murah. Sampai pilot Garuda kurang, nyewa pilot asing dengan standar internasional, dianggap apa sampai tahu sewa pesawat nggak pernah diajak ngomong. Itu alasannya sewa barakhir tahun 2011 atau awal 2012, memang sudah nggak sewa lagi? Karena kekurangan pilot, Garuda itu nggak mungkin nggak sewa pilot.
Pilot asing yang disewa sekarang ini 80 orang, kalau sudah kelar kontraknya akhir tahun kan belum cukup orang Indonesia sampai akhir tahun (memenuhi kebutuhan pilot).
Kalau ada yang bilang, keterlaluan banget ini di tengah ekonomi Indonesia yang begini, jangan bilang begitu, ini dunia penerbangan. Kadang-kadang kurang jujur manajemen, bahwa operating cost-nya standar internasional, yang dikasih ke pilot Garuda berapa, nggak jelas.
Kalai lihat internet di Google, rata-rata pilot USD 10 ribu - USD 12 ribu , kopilot USD 8 ribu. Nggak bisa kita bilang karena di Indonesia prihatin, demi bangsa dan negara.
Bagaimana mengenai kualitas pilot domestik dibanding dengan kualitas pilot asing?
Berbicara kualitas pilot, pilot yang mendaftar di Garuda itu berarti sudah nggak laku di negaranya. Tapi kalau pilot Garuda yang mendaftar keluar, penerbangan asing, dia biasanya menjadi instruktur karena kualitasnya tinggi. Pilot Garuda itu pintar-pintar sekali karena sekolahnya di Inggris, Amerika, Australia dan sebagian dari Curug.
Kalau dibanding kualitas dengan pilot baru-baru ini (yang asing), namanya baru ya nggak tahu apa-apa. Pilot-pilot Indonesia itu yang ngajarin mereka terbang di negara lain.
Jadi masalahnya komunikasi?
Nggak pernah diuwongke, nggak pernah diajak ngomong sama manajemen. Sekarang punya pembantu diajak ngomong, apalagi pilot. Diajak ngomong misalnya mau sewa pesawat, diajak ngomong, siapa tahu ada ide dari pilot-pilot.
Mengenai perjanjian kerja bersama (PKB) antara manajemen dan pegawainya, itu dari tahun 2006 sudah habis, sampai sekarang tetap dipakai, nggak ada penggantinya. Ribut terus, nggak pernah ada titik temu. Ini bisa dibilang sudah muntab.
Tolonglah diajaka ngomong, kalau pembantu nggak diajak ngomong keluar apalagi pilot. Dimanusiakan, diuwongke. Kalau nggak dimanusiakan nanti cepat meledak.
Bagaimana cara untuk mengurangi defisit pilot di Indonesia?
Bukan cuma di Indonesia, di seluruh dunia pada tahun 2050 dengan keadaan seperti ini baru seimbang antara demand dan supply pada tahun 2050. Kalau sekarang lihat di Paris Air Show, banyak tanda tangan pesawat baru, ratusan pesawat dijual, terus siapa yang menerbangkan? Dari mana? Kalay begitu lulus sekolah pilot, nggak bisa dia langsung menerbangkan pesawat A-330, nggak gampang, karena harus menerbangkan pesawat kecil-kecil dulu.
Sudah memadaikah sekolah pilot di Indonesia?
Kalau UMPTN siapa saja boleh daftar, yang pakai kacamata, yang giginya bagaimana-bagaimana, boleh mendaftar. Kalau pilot, ada persyaratan tertentu. Nggak semua orang bisa. Mungkin dia bisa bayar, tapi nafasnya kurang bagus, ada sakit dalam.
Di pilot itu, 90 persen rontok karena alasan medis. Dari 1000 orang yang mendaftar, 900 itu gagal karena alasan kesehatan. Tinggal 100, tes yang lain-lain, begitu sekolah yang lulus tinggal 20 orang. Ini mencari orang yang terbaik. Bagaimana bisa sekarang, lihat lulusan SMA saja sudah merokok, banyak main komputer, harus pakai kacamata.
Syaratnya memang berat, kalau 8 sekolah penerbang itu ada di Indonesia, walaupun orang bisa bayar sampai selesai, karena kesehatan nggak bagus ya nggak bisa. Sudah 20 jam nggak bisa terbang sendiri, di-drop juga. Ini dunia penerbangan, kalau di atas nggak bisa minta tolong siapa-siapa, cuma bisa minta tolong sama Allag.
Itu untuk pilot ada aturannya, Civil Aviation Safety Regulation, harus ada medicak record, dijabarkan itu dalam Peraturan Pemerintah. Alasannya, untuk keselamatan, di dalam penerbangan, safety nomor 1. Nggak bisa kompromi. Baru kemudian ketepatan waktu, kenyamanan penumpang, kemudian baru keekonomian.
Dengan adanya open sky policy di ASEAN pada tahun 2015, siapkah pilot-pilot Indonesia bersaing di tingkat ASEAN?
Dari dulu kalau pilot Garuda itu sudah open sky, sudah bekerja di airline-airline luar negeri sejak tahun 1980-an, sangat mumpuni.
Yang perlu ditanya, siapkah airline Indonesia jadi perusahaan yang mengutamakan safety, ketepatan waktu nomor satu. Kalau biaya membengkak, kan nggak bisa untuk airline-nya.
Dan Pemerintah RI, mampukah membendung airline asing, jangan sampai nanti Singapore Airlines terbang Bandung-Surabaya-Mataram, nanti airline pada klepek-klepek gulung tikar semuanya. Sudahkah pemerintah mengantisipasi seperti ini, karena mau tidak mau mereka terbang di Indonesia. Seperti Air Asia itu kan sebenarnya dari Malaysia.
Sekali lagi, kalau yang ribut pilotnya Garuda, gampang saja, di airline luar bisa diterima. Tapi setelah dibelah dadanya, merah putih, rasa nasionalismenya tinggi. Kalau nggak, sudah kabur ke mana-mana. Mereka mau terbang karena NKRI, nggak usah ditakut-takuti karena justru sekarang ini manajemen Garuda yang tak mengikuti Pancasila, musyawarah mufakat dan keadilan sosial bagi pilotnya. Kita memang masih dijajah asing.
Asal tahu saja, pilot pesawatnya Presiden Libya Moammar Gaddafi itu dari Indonesia lo, bekas pilot Garuda juga. Garuda sudah saatnya dipimpin pemimpin yang tahu mengenai dunia penerbangan.
(nwk/anw)