Kabar menyesakkan seperti itu bukan pertama kali terjadi. Potret buram buruh migran sepertinya masih menjadi 'pemandangan' klasik. Sosiolog Ida Ruwaida mengatakan, sudah saatnya paradigma dalam melihat TKW berubah. TKW bukan sekadar sumber devisa, tapi mereka juga duta bangsa.
Sebagai duta, sudah seharusnya para TKW dipersiapkan dengan baik agar meningkatkan martabat bangsa. Berikut ini wawancara detikcom dengan pengajar di Universitas Indonesia, Selasa (16/11/2010):
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita harus pahami peluang pekerjaan di daerah asal relatif terbatas. Mereka memilih jadi buruh migran lebih karena faktor ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan keluarga, baik yang sudah menikah maupun belum. Karena peluang kerja terbatas, maka pilihannya migrasi.
Bisa saja bekerja di kota besar, tetapi tentu image-nya berbeda dengan bekerja di luar negeri. Jadi saya rasa mereka bukan saja mencari pekerjaan tetapi juga terkait image. Bagi sebagian perempuan, bekerja di luar negeri lebih membanggakan ketimbang bekerja di Jakarta, misalnya.
Selain itu ada referensi kalau kerja di daerah Timur Tengah nanti bisa naik haji. Meskipun sekarang juga banyak yang bekerja di Taiwan, Hong Kong. Makanya ada sebutan TKW Ringgit, TKW Dinar dan sebagainya. Dan daerah tujuan itu sangat ditentukan latar belakang pendidikannya. Ada indikasi, sebetulnya, kalau Timur Tengah tingkat pendidikannya lebih rendah daripada yang di Hong Kong.
Pilihan negeri asal juga terkait jaringan atau social network. Misalnya yang berasal dari Malang Selatan cenderung ke Hong Kong karena di sana banyak teman. Figur keberhasilan teman-teman menjadikan inspirasi sebagian buruh migran. Kalau pengalaman negatif sebagian orang, ini tidak membuat takut karena terkait sikap mental. Banyak yang memaknai itu sebagai rezeki. Kalau ada TKW dianiaya ya dikatakan nasib dan rezekinya memang begitu. Itu sudah bagian nasib.
Apakah tenaga kerja dari negara lain juga mengalami nasib serupa?
Kita itu lebih emosional dan lebih ke jaringan. Berbeda dengan Filipina yang lebih rasional. Kasus yang menimpa buruh migran kita terkait dengan misunderstanding, cross culture communication. Ini terkait dengan kesiapan mental mereka dan kemampuan kerja yang masih terbatas. Yang jadi masalah adalah bagaimana menumbuhkan kinerja sebagai dasar profesionalitas.
Filipina menjual 'profesional' tapi kalau kita masih belum. Makanya UU Penempatan Tenaga Kerja sedang diperjuangkan.
Sebenarnya kalau di Hong Kong, orang-orang sana lebih profesional. Ada kontrak kerja yang baik. Tenaga kerja kita diberi happy hour dan ada jam kerja yang jelas. Kita harus dorong mereka-mereka ini sebagai pekerja rumah tangga bukan pembantu yang membuat mereka lemah. Mereka bukan domestic servant, tetapi pekerja rumah tangga yang punya hak jelas.
Banyak yang memperlakukan TKW kita sebagai budak sehingga kasus kekerasan sering terdengar?
Sebenarnya ini perbudakan zaman modern. Komoditi yang laku di pasar ya tenaga kerja. Karena itu pula ada perempuan yang jadi korban perdagangan orang. Kultur masih mengenal hal tersebut.
Malaysia mungkin nggak punya kultur perbudakan, tapi TKW kita banyak yang diperbudak. Karena dikenal kalau TKW itu gaji rendah tapi kuat kerja. Ini selain karena kedekatan budaya ya. Dibanding Filipina, mereka lebih suka memakai TKW kita. Posisi tawar menjadi lemah karena perlindungan yang lemah juga.
Kalau hanya dilihat sebagai penambah devisa tetapi tidak dianggap sebagai pekerja maka akan menjadi masalah.
Kenapa masalah ini seakan berlarut-larut?
Karena memang masih lemah perlindungan terhadap mereka. Kita cenderung pakai pendekatan kuratif daripada preventif. Jadi ya gitu, reaksioner.
Kalau kita punya sistem yang memadai seperti aturan main yang jelas dari sejak rekrutmen, pelatihan, pembekalan, pemberangkatan dipenuhi maka nggak akan ada kasus. Saya pernah bareng sama buruh migran yang mengisi data di imigrasi saja sulit karena under qualified. Kalau begini dengan sendirinya akan merendahkan martabat bangsa.
Yang skilled worker kita juga mengirim seperti misalnya perawat. Yang sering ada masalah ini kan yang unskilled worker karena sebagai pembantu yang dipikirnya melakukan pekerjaan perempuan seperti memasak dan menyeterika maka dianggap tidak perlu ada pelatihan memadai. Akhirnya dilatih ala kadarnya.
Bandingkan dengan perawat yang dikasih kursus bahasa, ada sertifikasi. Kalau TKW masih dilihat sebagai komoditi yang menguntungkan, ini pemikiran jangka pendek. Tidak punya orientasi jangka panjang karena sistem manajemen tidak cukup memadai untuk menangani buruh migran.
Kalau low skilled worker, kesannya jadi kita yang butuh kerja. Padahal mereka (negara penerima) juga butuh kita. Harusnya dilihat sama-sama butuh, sehingga tidak semena-mena.
Apakah kita harus menghentikan pengiriman TKW?
Harus seperti itu kalau mau tegas, musti ada reaksi di daerah dan ini jadi tantangan yang harus dihadapi. Ketika bicara buruh migran, pemerintah punya kewajiban untuk perlindungan. Kalau nasib mereka di sana nggak jelas ya cara melindunginya dengan menghentikan.
Buruh migran perempuan ini jadi korban di beberapa level. Di daerahnya terlilit utang karena kalau mau pergi ke luar negeri banyak yang pinjam uang ke rentenir. Lalu di PJTKI ada yang mengalami masalah keterbatasan makanan. Kadang yang dipikirkan itu hanya bagaimana mengirim banyak (orang) tapi tidak menekankan kualitas dan profesionalitas.
Masalah buruh migran terlalu kompleks?
Iya ini terlalu kompleks. Yang jelas butuh ketegasan pemerintah dalam upaya perlindungan yang banyak orang. Jangan berlarut-larut sehingga nggak ada penyelesaian. Lalu yang harus dilakukan juga adalah bagaimana memberikan penguatan ekonomi ke masyarakat.
Selama tawarannya ke luar negeri menguntungkan, maka masih banyak yang berpikir kerja di luar negeri lebih menguntungkan. Apalagi ini ada daya dorong (ekonomi) besar di masyarakat.
Keran dorongan dari dalam juga kencang. Yang juga penting, kalau tetap dilakukan pengiriman ya benahi sistem dan ubah paradigma. Bagaimanapun mereka adalah ujung tombak bangsa. Yang jadi duta bukan hanya tim kesenian Indonesia yang pentas di negara lain. Pekerja kita yang ini juga duta, bahkan ambassador.
Kenapa kita nggak berpikir begitu. Mereka itu bukan benda tapi manusia yang bisa meningkatkan potensi bangsa yang lain. Ada multiplier effect-nya. Karena dari hulu sampai hilir sudah carut marut, kalau nggak ada ketegasan ya akan terus begini.
(vit/asy)