Berikut wawancara dengan putri proklamator itu usai pengesahan UU Pornografi di Gedung DPR, Senayan, Kamis (30/10/2008).
Apakah disahkannya RUU Pornografi ini mengancam kebebasan perempuan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa beda dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi?
Kalau dulu memang RUU APP memang demikian, mengatur orang, mengatur pakaian dan menimbulkan perilaku yang menimbulkan gejolak. Tapi oleh DPR sudah diubah, usulan-usulan yang banyak dari masyarakat dan pemerintah sudah diakomodir oleh DPR dan akhirnya DPR keluar dengan undang-undang seperti ini.
Dalam definisi pasal 1, frasa 'gerak tubuh' kan tidak dihilangkan. Bagaimana dengan Inul dan Dewi Persik misalnya?
Bedakan antara seni keindahan dan pornografi. Itu tidak termasuk, tetapi kalau yang bertujuan untuk seksual atau percabulan. Hal-hal seperti itu sudah diatur dan diperhatikan.
Bagaimana menghindari penilaian subjektif atas undang-undang tersebut?
Kalau misalnya ditangkap kan penilaian pengadilan sudah ada. Subjektif atau tidak termuat di situ sebagai dasar, tapi ini secara umumnya dan tujuan-tujuannya. Kalau memang striptis misalnya, untuk tujuan percabulan, kita harus bedakan.
Terkait dengan sosialisasi yang harus dilakukan. Apa tanggapan Ibu?
Ya secepatnya melakukan sosialisasi. Departemen, ormas dan LSM harus terlibat dalam menyosialisasikan undang-undang ini.
Bagaimana tanggapan Ibu dengan peran masyarakat untuk pencegahan pornografi yang diatur dalam pasal 14?
Kalau peran masyarakat pun ada aturannya, tidak ada sweeping dan sebagainya. Tidak demikian.
Bagaimana dengan mereka yang menolak?
Yang saya sesalkan kenapa adalah orang tidak mau berubah pikirannya dari ini (undang-undang) mengatur individu menjadi menjaga bangsa.
Ini ada seratus juta orang Indonesia dalam risiko bahaya pornografi, kenapa undang-undang tidak boleh ada? Coba kita pikirkan ke sana. (ken/iy)