Lahir pada saat era perjuangan kemerdekaan, 17 Maret 1938 di Magelang, Jawa Tengah, menjadikan Kris sebagai sosok nasionalis sejati.
Dijumpai usai peringatan kemerdekaan RI ke-63 di Tugu Proklamasi, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu (17/8/2008), veteran Trikora ini menceritakan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kris yang masih terlihat gagah disaat usianya telah menginjak 70 tahun, bercerita bahwa rasa nasionalisme dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia sudah tidak lagi seperti dulu.
Β
"Kalau kita menyanyikan Indonesia Raya, Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya (sambil ia nyanyikan sepenuh hati). Pemerintah sekarang ini hanya bicara soal badan. Soal institusi, soal bagaimana APBN harus gagah. Jiwa yang kelihatannya maya, tidak dibangun," kritiknya.
Dalam buku biografinya, 'Manisnya Ditolak' yang telah masuk cetakan kedua, Kris berbagi kisah mengenai makna semangat nasionalisme bagi dirinya pribadi.
"Dulu yang namanya jatah makan siang, bukan ayam Kentucky. Tapi namanya daun waru isinya nasi 200 gram dan tempe di atasnya. Terus kita disuruh lari dari Magelang ke Muntilan, 17 km. Ternyata kekuatan bangsa bukan hanya dari perut, bukan hanya dari nasi, tetapi dari semangat. Orang menjadi tua jika kehilangan semangat," kenang Kris saat dirinya menjadi prajurit PETA.
Kris yang mengenakan seragam tentara PETA warna hijau lengkap dengan atributnya tampak penuh semangat memaparkan perasaannya saat hormat kepada Bendera Merah Putih.
"Percaya atau tidak, ada seribu satu macam kenangan yang tidak bisa dihapus dan menjadi satu saat saya hormat," tuturnya. (vna/mok)