Kini tak banyak warga yang dapat membaca naskah kuno yang hampir punah itu. Salah satu yang mampu membacanya adalah Siti Maryam Salahuddin yang merupakan putri dari Sultan Bima ke XXIV, Sultan Muhammad Salahuddin.
Kini Maryam atau yang kerap disapa oleh penduduk setempat dengan sebutan Ina Kau Mary (Ibu Besar Maryam) telah berusia 88 tahun dan tidak memiliki keturunan. Putri keenam Sultan Muhammad Salahuddin ini meraih gelar doktor bidang filologi Fakultas Sastra Unpad pada usia 83 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang lelah, tapi kalau bukan saya siapa lagi. Karena anak muda sekarang tidak banyak yang tertarik dengan sejarah," ujar Maryam saat ditemui di kediamannya, Jl Gajah Mada 1, Bima, NTB beberapa waktu lalu.
Menurut Maryam, saat ini sudah ada 2 orang didikannya yang mampu membaca aksara Bima. Mereka adalah dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima. Maryam tak segan meminjamkan naskah-naskah kuno warisan dari orang tuanya itu sebagai media belajar bagi siapapun.
Maryam telah menterjemahkan naskah Bo Sangaji Kai ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya banyak tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia. Hanya saja, kemampuannya membaca aksara Bima masih belum banyak yang mewarisi.
Meski demikian, ia tetap giat menyebarkan ilmu filologi. Dari Wikipedia, filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik.
Maryam masih cukup sering menghadiri seminar-seminar tentang filologi, sejarah hingga arkeologi. Perempuan yang dikenal gesit di masa mudanya ini masih kuat bolak-balik NTB-Jakarta untuk menghadiri undangan-undangan seminar dan dialog serta pameran filologi.
Maryam mengenyam pendidikan S1 dan S2-nya di bidang hukum Universitas Indonesia pada tahun 1953 hingga 1960. Ia sempat menjadi Staf Khusus Bidang Kehakiman pada tahun 1957-1964. Maryam juga pernah menjadi anggota DPR RI tahun 1966-1968, Asisten Administrasi Sekretaris Wilayah Daerah NTB tahun 1964-1968 dan juga sebagai dosen di Universitas Mataram. Maryam sangat concern dengan budaya dan kesenian Bima. Ia mengelola sanggar tari bernama Paju Monca di Bima dan Mataram hingga saat ini.
Dalam usianya yang hampir 90 tahun ini, Maryam masih peduli dengan perkembangan generasi muda, khususnya di Bima. Ia menyayangkan sikap pemuda Bima yang saat ini mudah tersulut emosinya. Maryam pernah menjadi mediator bagi 2 desa yang berperang di Bima hingga menimbulkan korban, yaitu Desa Ngali dan Desa Renda.
"Mereka kecewa dengan pemerintah. Tapi saya bilang, kalian juga salah. Kalian pintar buat senjata, tapi untuk apa kalau hanya digunakan bunuh orang. Mending buat pesawat, lebih berguna," cerita Maryam.
Setelah mediasi tersebut, kini kedua desa itu tak lagi bertikai. Maryam berpesan agar pembangunan karakter bagi pemuda khususnya di Bima ditingkatkan lagi.
"Banyak yang potensial di Bima. Tapi yang bagus tertutup dengan yang jelek-jelek," keluhnya.
(kff/nwk)