Maulwi Saelan, Menikmati Masa Senja Membina Sekolah Berdasar Nilai HAMKA dan BK

Maulwi Saelan, Menikmati Masa Senja Membina Sekolah Berdasar Nilai HAMKA dan BK

Mulya Nurbilkis - detikNews
Selasa, 07 Okt 2014 12:38 WIB
(Foto: Mulya Nurbilkis/detikcom)
Jakarta - Maulwi Saelan (88) ini mengalami masa-masa perjuangan kemerdekaan hingga sempat terseret gelombang politik di usia produktifnya. Tahun 1962-1965 tidak akan hilang dari ingatannya. Menjadi pengawal Bung Karno, pimpinan di Tjakrabirawa dan dituding komunis. Namun di masa senja, Maulwi masih mengabdikan diri di bidang pendidikan, membina sekolah yang dibentuk dengan nilai warisan Buya HAMKA dan Bung Karno.

Pria kelahiran Makassar 8 Agustus 1926 dulunya bernama Surachman. Saat duduk di sekolah dasar, nama Surachman sangat sulit disebut salah seorang gurunya di Frater School. Guru itu mencari nama lain yang yang kearab-araban dan dipilihlah Maulwi yang dipakainya hingga kini.

Ia tinggal dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Makassar. Ia mengecap bagaimana para pejuang Makassar bersama-sama mendapatkan kemerdekaan Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal kariernya sebagai anggota Resimen Tjakrabirawa dimulai saat ia masih menjadi Komandan Batalyon Corps Polisi Militer (CPM) Makassar. Saat itu ia hendak memimpin pasukan yang ditugaskan ke Irian Barat. Namun takdir membawanya ke Jakarta untuk jadi bagian Resimen Tjakrabirawa yang dibentuk Presiden Soekarno tahun 1962.

"Itu betul-betul penghormatan untuk saya bisa mengawal Bung Karno," kata Maulwi saat berbincang dengan detikcom di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (1/10/2014).

Ia tercatat sebagai Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa. Posisinya sebagai ring 1 Bung Karno membuatnya disebut sebagai bagian dari sejarah Gerakan 30 September yang menjadi awal keruntuhan kepemimpinan Soekarno. Maulwi menceritakan masa gejolak politik terkelam dalam sejarah Indonesia modern itu dalam buku "Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno" yang ditulis Asvi Warman Adam dkk. Bak puzzle, buku ini dijadikannya untuk konfirmasi dan melengkapi sejarah agar rakyat Indonesia bisa melihat Gerakan 30 September dari sisi orang terdekat Soekarno. Hal ini karena sejarah versi Orde Baru mencatat resimennya turut ambil bagian dalam konspirasi Soekarno dalam gerakan tersebut.

"Tjakrabirawa dinilai ikut gerakan G30S. Padahal itu tidak benar," tegasnya.

Tuduhan itu membawanya dipenjara selama 5 tahun dari tahun 1967 hingga 1972. Sejarah hitam ini berdampak panjang bagi dirinya dan keluarganya. Saat dipenjara, Tjitji Awasi yang dipersuntingnya sebagai istri akhirnya tinggal bersama keluarganya. Istri dan anak-anaknya dibiayai oleh orang tua mereka yang masih hidup saat itu.

Waktu berlalu hingga akhirnya ia dibebaskan. Masa-masa itu adalah salah satu bagian terberat dalam hidupnya. Catatan sebagai bagian dari G30S membuat haknya menerima uang pensiun dicabut. Usianya saat itu sudah 45 tahun. Sudah cukup tua dan tak punya apa-apa membuatnya harus putar otak untuk tetap bisa hidup meski harus memulainya dari nol.

"Waktu keluar (penjara) ya terima nasib biasa saja.‎ Harus menerima kenyataan," ucapnya.

Ajaran Bung Karno ia jadikan pijakan yakni, seseorang harus bisa bergaul dengan seluruh kalangan. Ia mencoba memulai kembali hidupnya dari awal‎.

Beruntung karena ia berkenalan dengan seorang rekannya yang mengajaknya bekerja di perusahaan kontraktor. ‎Saat itu ia diberi posisi bagian perdagangan yang merupakan hal baru buatnya. Namun, kepercayaan yang diberikan padanya dibayar dengan kerja keras hingga berada di posisi sebagai direktur.

"Itu belajar dari nol lagi karena saya mana tahu tentang perdagangan atau industri. Di sana saya sampai jadi direktur. Sampai saya ke Hong Kong untuk membangun industri itu," ujarnya.

Rekannya ini mengantarkan Maulwi bertemu ulama besar Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Maulwi rajin mempelajari pemikiran HAMKA saat dipenjara dari buku pemberian istrinya. Saat dikenalkan kepada HAMKA oleh rekannya itu, Maulwi senang bukan kepalang.

Pertemuan inilah yang menjadi awal kariernya di dunia pendidikan. Saat itu, HAMKA memintanya membantu mengurus sekolah yang baru didirikan di Kebayoran Baru. Kepercayaan itu kembali dibayarnya dengan pengembangan sekolah yang sangat pesat. Daya tampung yang terus bertambah, membuat Maulwi membuka cabang di Kemang, Jakarta Selatan, yang kini dikenal sebagai Al Azhar Syifa Budi Kemang.

Dalam mengelola sekolah yang didirikan HAMKA itu, ia memadukan nilai dari Soekarno dan Buya HAMKA. Nasionalis, kejujuran, dan ketegasan Soekarno ia gabungkan dengan ilmu agama dari Buya HAMKA.

"Karena saya di penjara, istri saya dapat banyak buku dari Buya HAMKA tentang agama. Waktu saya tahu soal kenasionalan dari Bung Karno dan itu saya gabungan dengan memajukan semua dalam agama dalam satu bidang dari Buya HAMKA," ucap pria yang hobi membaca ini.

Sekolah inilah menjadi medan pengabdiannya saat ini. Saat ini, Al Azhar Syifa Budi yang diketuainya sudah memiliki 16 mitra di seluruh Indonesia.

Ia punya misi besar untuk sekolah itu. Ia ingin generasi saat ini menjadi generasi yang mengerti sejarah. Generasi yang dapat membawa nilai-nilai Bung Karno dalam kehidupan sehari-harinya.

‎"Sekolah ini harus mencerdaskan bangsa. Anak-anak (didiknya) jadi orang yang jujur, amanah dan disiplin. ‎Semangat untuk bisa bergaul dari golongan atas sampai golongan bawah dan itu yang diturunkan kepada keluarga dan orang sekitarnya," tutur Maulwi di atas kursi rodanya.

(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads