Keterbatasan fisik bukan menjadi halangan untuk meraih kesuksesan. Setidaknya hal inilah yang dibuktikan oleh dua penyandang disabilitas, yakni Dedi Mulia dan Rachmita Harahap.
Dedi merupakan penyandang tunanetra. Menakjubkannya, dia memiliki dua gelar sarjana dan telah menyabet pula gelar master.
"Saya S1 di Fakultas Perikanan & Kelautan IPB dan UNJ. Selanjutnya, S2 di UPI Bandung. Dan saya juga sekarang aktif mengajar di salah satu universitas di Serang, Banten," terangnya kepada perwakilan Ditjen Dikti Kemendikbud, Eva Wany, Kasie Sistem Pembelajaran Dikti Kemdikbud dan Widyo Dinarso Kepala Studi Kemahasiswaan Sub Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan di kantornya, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (12/3/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya memang buta, tapi saya tidak buta hati. Hak saya adalah mendaftar dan melanjutkan kuliah," tuturnya kala itu kepada panitia pendaftaran.
Deni mengaku tidak ada kesulitan atau pun hambatan selama mengikuti perkuliahan. Sehingga, dia mendorong pemerintah agar tidak membatasi kesempatan penyandang disabilitas untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi merupakan salah satu tiket seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
"Perguruan Tinggi menjadi salah satu jembatan pengantar kami mendapat pekerjaan, kalau ini saja dibatasi bagaimana kami bisa bekerja? Ini (persyaratan SNMPTN) bukan membuat kehidupan kami lebih baik, tapi malah membuatnya semakin jatuh," tukasnya.
Kisah yang berbeda diutarakan Rachmita Harahap. Perempuan yang mengalami tunarungu sejak lahir ini menuturkan, dia berhasil menamatkan pendidikan S1 jurusan arsitektur di Universitas Mercu Buana (UMB), Jakarta dan S2 jurusan arsitektur interior di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bahkan saat ini ia tengah melanjutkan pendidikan S3-nya jurusan arsitektur interior di UMB.
"S1 dan S2 saya berhasil lulus lebih awal dengan predikat cumlaude. Apa bedanya kalau tunarugu punya potensi? Tunarungu memang tidak mendengar, tapi saya menggunakan mata untuk mendengar," kata Mita, sapaan akrab Rachmita.
Dia pun menceritakan tidak mengalami hambatan yang berarti selama mengikuti perkuliahan. Ini membuktikan, kalau jurusan arsitektur bisa diikuti oleh penyandang tunarungu dengan baik.
"Komunikasi nggak ada masalah. Saya tetap bisa ngikutin perkuliahan, yang penting otaknya mampu," imbuh Mita yang menggunakan alat bantu dengar ini.
Menurut Mita, ketertinggalan penyandang tunarungu dalam negeri dan luar negeri adalah diskriminasi seperti ini. Tak ayal, ia memiliki mimpi untuk membangun universitas tunarungu agar tidak lagi terus dipandang sebelah mata.
"Saya harap kepada panitia tolong hapus (syarat SNMPTN yang tak boleh menyandang disabilitas) karena kita bisa berpikir seperti orang normal. Kita ini sama-sama ciptaan Tuhan. Tunarugu di luar negeri maju, sementara di Indonesia tertinggal. Hapuskan diskriminasi!" gugatnya.
(nwk/gah)