Jelang 70 Tahun, Hakim Agung Komariah Kangen Makan di Tepi Jalan

Jelang 70 Tahun, Hakim Agung Komariah Kangen Makan di Tepi Jalan

- detikNews
Senin, 29 Jul 2013 10:53 WIB
Prof Komariah E Sapardjaja (ari/detikcom)
Jakarta - Kode etik profesi hakim bisa jadi menjadi kode etik paling ketat di antara profesi lain. Seperti bertutur harus santun, tidak boleh marah hingga tidak boleh makan-makanan di kaki lima pinggir jalan.

Hal ini sangat dirasakan oleh hakim agung Komariah Emong Sapardjaja yang akan purna tugas pada (31/7) lusa saat memasuki usia 70 tahun. Apalagi, sebelum menjadi hakim agung, Komariah sehari-hari sebagai guru besar Universitas Padjadjaran (Unpadj) yang aturannya tidak seketat dibanding hakim agung.

"Keluarga lebih senang saya jadi guru besar saja karena boleh makan di pinggir jalan. Sebagai hakim agung nggak boleh makan di mana saja," kata Komariah sambil tertawa saat berbincang dengan detikcom di lantai 3 gedung Mahkamah Agung (MA) Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (29/7/2013).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski demikian, pakar hukum pidana ini buru-buru mengaku aturan tidak boleh makan di pinggir jalan bukan masalah besar. Hal-hal seperti itu bisa dia terima karena memang hakim agung harus benar-benar menjaga harkat dan martabat secara total.

"Kalau hanya persoalan begitu saja bukan prinsip. Saya mudah menyesuaikan diri. Tapi keluarga juga mendukung saya jadi hakim agung karena gajinya lebih besar dibanding guru besar," ujar istri dr Wage Sapardjaja ini.

Ditemani sebuah laptop dan setumpuk berkas, Komariah menghabiskan hari-harinya memeriksa berkas perkara yang menumpuk. Saking banyaknya berkas, ruang ukuran 4x6 meter itu tidak cukup menampung dan dibiarkan berkas bermap merah menumpuk di lantai. Belum lagi ruangan kecil itu juga diisi sofa dan meja sederhana untuk menerima tamu.

Adakalanya dia harus pulang pukul 20.00 WIB saat masa penahanan terdakwa habis.

"Tidak tentu sehari berapa berkas yang diadili. Dulu sebagai hakim anggota 1 ada yang kadang sampai 15. Kalau yang gampang-gampang bisa banyak. Kalau yang sulit sehari satu berkas pun tidak bisa," cerita ibu 3 anak.

Meski posisi berbeda, namun tanggung jawab sebagai akademisi dan hakim agung dinilai sama-sama berat. Sebab sebagai guru besar, Komariah menilai tidak boleh mentransfer ilmu asal-asalan dan tetap memegang teguh nilai akademik.

"Kedua-duanyanya saya enjoy. Duitnya lebih baik jadi hakim agung. Guru besar berapa sih? Plus capai-capai membimbing bertahun-tahun, berbulan-bulan," terang Komariah.

"Bukankah gaji hakim agung sekarang kalah dibanding hakim tinggi?" tanya detikcom. Saat ini, gaji hakim tinggi lebih tinggi sekitar Rp 5 juta dibanding hakim agung.

"Ah, masa bodoh. Ini lebih banyak daripada di kampus kan," jawab nenek 1 cucu ini.


(asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads