" Ada 400 ribuan TKI di sini. 50 ribu anak-anak mereka itu buta huruf semua," kata Soepeno kepada detikcom di kantor KJRI Sabah, Lorong Kemajuan, Karamunsing, Kota Kinabalu Sabah, Malaysia, Jumat (27/7/2012).
Pada awal dia menginjakan di perkebunan-perkebunan sawit, banyak anak-anak TKI ini sudah memakai HP. Namun saat mengisi surat keterangan mereka tidak bisa mengisinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendapati realitas ini, dia lalu menggeber Konsulat Jenderal RI (KJRI) untuk membuat program mengajar bagi anak-anak Indonesia tersebut. Namun kendala muncul yaitu perizinan lembaga sekolah dari pemerintah Malaysia.
"Kita tidak bisa asal mendirikan sekolah, ini negara orang," kisah Soepeno.
Lantas dia mulai menyusun strategi yaitu yang pertama dilakukan adalah mendatangi para pemilik perusahaan kelapa sawit. Soepeno lalu melobi perusahaan kelapa sawit ini untuk mengalokasikan dana Coorporate Social Responsibility (SCR) untuk dikucurkan bagi pendidikan anak-anak TKI ini.
Langkah selanjutnya yaitu mempersiapkan sarana belajar, buku guru dan insentif guru. Karena alasan mendesak dan darurat, untuk guru cukup lulusan SMA sudah diperkenankan mengajar. "Asalkan bisa mengajar 3M yaitu membaca, menghitung dan menulis, silahkan mengajar. Mereka umumnya relawan dari TKI yang bekerja di sini," bebernya.
Selanjutnya dilakukanlah berbagai lobi antar pejabat kedua negara. Sehingga Kerajaan Malaysia mengizinkan lembaga Learning Center (LC) di berbagai penjuru Sabah. Momentum ini langsung bersambut dengan mendirikan LC hingga lebih dari 100 kelompok LC tetapi Pemerintah Malaysia baru meloloskan 6 LC. Diharapkan dengan adanya LC ini, ribuan anak-anak buta huruf bisa melek dan menjadi warga negara Indonesia yang baik.
"Kalau untuk TKI, dari 400 ribu an orang, 90 persen bekerja di ladang sawit. Sisanya di bekerja di bagian konstruksi, manufacture, kilang/pabrik, jasa dan PRT," kata Soepeno.
(asp/ahy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini