"Dulu saya mimpi bisa main di mal, di gedung berbintang. Lalu akhirnya saya bisa main di mal dan gedung berbintang. Mimpi kami sekarang, yakin main di Istana. Saya percaya," ucap Harry dengan nada optimis.
Hal itu disampaikan dia dalam bincang-bincang bertajuk 'Betawi Punye Gaye' di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (25/4/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, saat ini gambang gromong seperti musik yang tersisih. Padahal mulanya gambang kromong termasuk musik yang elite. Grup pemusik gambang kromong dulu main di kelas 'mister'. Namun karena penjajah Belanda tak mau tersaingi, maka orang Betawi pemusik gambang kromong pun tersingkir dari tengah Jakarta.
"Banyak yang terusir ke Tangerang, termasuk nenek saya. Akhirnya gambang kromong berkembang dengan segala kesederhanaannya," imbuh pria kelahiran Jakarta 24 September 1947 ini.
Harry memimpin grup musik gambang kromong lantaran meneruskan jerih payah sang nenek. Dulu nenek Harry adalah pemimpin grup lenong dan gambang kromong. 8 Tahun lalu, grup musik pimpinan Harry mengiringi koor di gereja. Kemudian mereka diundang ke berbagai acara untuk memainkan keroncong.
"Keroncong saya adalah keroncong Jakarta yang hidup. Keroncong ini berbeda dengan keroncong Solo yang mendayu-dayu," terangnya.
Kemudian Harry mengusung gambang kromong orkestra. Hal ini untuk mewadahi perkawinan unsur tradisional dan modern. Ada sekitar 18 instrumen yang dimainkan grup Harry. Grup musiknya terdiri dari sekitar 25 orang dari berbagai kalangan dan usia.
Apa yang dilakukan Harry ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan Betawi. Dia berharap semakin banyak orang di Jakarta yang merayakan ulang tahun atau pernikahan dengan memperdengarkan gambang kromong.
"Agar musik tradisonal jadi tuan tumah di negeri sendiri dan tidak diakui negara lain," ucap Harry.
Karena rajin berlatih, grup musik yang dipimpin Harry pun selalu tampil baik. Sehingga grup yang diberi nama Harry's Palmer Orchestra dipercaya tampil di TVRI.
"Di TVRI per 2-3 bulan kasih kesempatan untuk tampil. Baru di TVRI, kalau di televisi swasta mahal. Saya pernah ditawari tampil 20 menit, diminta Rp 25 juta. Swasta masih susah ditembus," terangnya.
Harry Palmer sebenarnya hanyalah nama populer. Sedangkan nama aslinya adalah Herry Sunandar. Gara-gara orang bule yang memanggilnya dengan 'Harry', maka nama itu dipakai sebagai nickname. Agar berbeda dengan Harry lainnya, dia pun menyematkan identitas tempat tinggalnya, Palmerah.
"Harry Palmerah kurang keren. Harry Palmer saja," terangnya sambil tertawa.
Harry adalah anak dari seorang pria pengusaha batik. Sedangkan ibunya adalah seorang dari Tangerang. Sebelum menekuni dunia musik tradisional Betawi, Harry berkecimpung di dunia desain jas selama belasan tahun. Jas karyanya dilabeli 'Harry's Palmer'. Banyak artis yang mempercayakan pembuatan jasnya kepada Harry.
(vit/nrl)