Hemas lantas menceritakan pengalamannya kala perempuan hamil di bangku sekolah masih didiskriminasi pemerintah dengan tidak boleh mengikuti Ujian Nasional (UN).
"Anak perempuan yang hamil tidak boleh mengikuti ujian, apa-apaan. Laki-laki yang menghamili boleh ikut ujian. Di Papua, jadi tersangka pemerkosa saja bisa ikut ujian, perempuan kok tidak boleh," demikian gugat GKR Hemas saat bertandang ke detikcom, Jalan Warung Buncit Raya 75, Jakarta Selatan, Rabu (18/4/2012) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permaisuri Sultan Hamengkubuwono X ini lantas melanjutkan bahwa dirinya pernah memperjuangkan perempuan hamil korban pemerkosaan agar terus bersekolah sampai tamat.
"Saya pernah memperjuangkan anak 14 tahun, hamil karena diperkosa sopirnya. Malam saya ajak jalan-jalan pakai mobil. Selama hamil dia tidak sekolah. Setelah melahirkan, kita pindahkan sekolahnya ke tempat lain," jelasnya.
Hemas juga geregetan melihat perempuan tidak leluasa berperan di sektor publik setelah menikah. Lagi-lagi karena budaya patriarki, sehingga perempuan tidak bisa memilih dan menyerah pada peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga.
"Kalau kita mau lihat di strata bawah, orang desa bekerja di satu tempat. Terus ditanya, bagaimana, kalau kawin masih mau kerja nggak? Ya terserah suami," demikian Hemas menirukan warga desa yang pernah ditemuinya itu.
Hal-hal seperti ini juga dirinya temukan pada warga yang mengenyam pendidikan tinggi. "Dia sarjana UGM, saat itu mendapat beasiswa. Ketika ditanya ibu ambil nggak? Nggak, biar suami dulu deh," jelas Hemas.
Dari hal-hal di atas, Hemas menilai ketidakadilan gender masih sangat kental. Di setiap sisi, menurutnya, perempuan juga tak jarang dieksploitasi.
"Selalu yang diutamakan adalah laki-laki, padahal perempuan punya kemampuan yang sama. Kesempatan yang sama. Pekerjaaan yang sama bisa beda upah laki-laki dan perempuan karena dianggap bekerja bukan yang utama, hanya membantu suami. Dalam sektor publik atau yang lain, upahnya kadang jauh di bawah standar, padahal bebannya sama," keluh Hemas.
Untuk itulah, Kaukus Perempuan Parlemen DPD dan DPR RI sedang mendorong draft RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang dibahas di DPR bisa gol. Hemas juga menyoroti banyak aturan-aturan diskriminatif pada perempuan di daerah melalui Perda.
Namun, upaya menggolkan RUU KKG untuk kesetaraan gender ini ini masih disalahartikan sebagai upaya liberalisasi, meniru barat hingga menimbulkan resistensi dari pemuka agama.
"Kita minta pendapat kelompok perspektif agama, akademisi dalam kegiatan penelitian bidang sosial dan berbagai hal yang bersentuhan. Banyak penolakan, kita ingin UU ini dapat diterima," tutur Hemas.
(nwk/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini