Rudi Syaf, Sang Entrepreneur Sosial dari Jambi

Rudi Syaf, Sang Entrepreneur Sosial dari Jambi

- detikNews
Rabu, 04 Apr 2012 16:59 WIB
Jakarta - Memperjuangkan hak kelola rakyat tak melelahkan Rudi Syaf. Pria paruh baya ini sudah sejak muda memang selalu menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan.

Bakat dan kemampuan Rudi di bidang ini sudah menonjol ketika masih berstatus mahasiswa. Kala masih menginjakkan tahun kedua kuliah, Rudi sudah mengorganisir kawan-kawannya untuk membangun kepedulian pada lingkungan dan masyarakat. Diawali dengan mendirikan Perkumpulan Gita Buana pada tahun 1987 hingga kemudian Warsi tahun 1991, dan sejumlah lembaga lainnya, untuk membela kepentingan masyarakat dan perlindungan kawasan hutan.

Di Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi), Rudi sudah dua periode menjabat sebagai direktur eksekutif. Bersama Warsi pula perjuangan ayah tiga anak ini terus berkembang. Diawali pada tahun 1997, Rudi dan kawan-kawannya di Warsi melihat telah terjadi ketidakseimbangan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini kemudian memiskinkan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat adat, seperti komunitas Orang Rimba, Bathin IX dan Talang Mamak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama Warsi, dari penelitian dan analisis lapangan diketahui bahwa kehidupan suku-suku asli minoritas semakin terdesak akibat pola pembangunan yang diterapkan pemerintah. "Sebagai contoh untuk Orang Rimba yang hidupnya sangat bergantung kepada hutan, tetapi hutan mereka dibabat dan digantikan dengan hutan monokultur, kebun sawit, transmigrasi. Akibatnya Orang Rimba tergusur dari tanah mereka sendiri," tutur pria kelahiran Jambi 11 Juni 1967 ini kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Rudi dan kawan-kawan kemudian melakukan pendekatan pada Orang Rimba. Maklumlah pada saat itu Orang Rimba sangat marginal. Dia memilih menyisihkan separuh waktu di hidupnya dari komunitas dari luar mereka. Ketika hutan yang menjadi rumah mereka tergusur Orang Rimba memilih menghindar, namun kondisi ini tentu tidak bisa terus bertahan, karena lahan semakin sempit dan Orang Rimba semakin terjepit. Cukup panjang waktu yang dibutuhkan hingga kemudian Rudi dan Warsi bisa diterima Orang Rimba.

"Kegiatan pertama yang kita lakukan adalah mengenali adat kebiasaan Orang Rimba untuk kemudian menemukan kebutuhan mendasar mereka, dari analisis dan kajian kita melihat bahwa ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Sedangkan penguasaan kawasan oleh korporasi meningkat drastis, Orang Rimba harus berjuang untuk mendapatkan haknya, jika tidak pada saatnya mereka akan kehilangan semuanya," papar Manager Komunikasi Warsi ini.

Seperti kawasan Hidup Orang Rimba di Bukit Duabelas, kala itu hutan dataran rendah di jantung Provinsi Jambi berstatus cagar Biosfir Bukit Duabelas dengan luas 37 ribu ha. Sedangkan di bagian utara kawasan telah diberikan izin konsesi untuk perusahaan HTI. Padahal di bagian utara ini juga terdapat komunitas Orang Rimba.

"Untuk itu bersama Orang Rimba kita suarakan untuk pengakuan hak hidupOrang Rimba, perjuangan kita berlangsung dari bawah hingga ke level menteri. Alhamdulillah setelah tiga tahun berjuang menteri mengabulkan permintaan kita dan Orang Rimba, dengan dicabutnya izin konsesi sejumlah HTI di utara Cagar Biosfir Bukit Duabelas dan dengan tegas dalam SK yang dikeluarkan Menhut Kala itu, Nur Mahmudi. disebutkan bahwa kawasan seluas 60.500 ha di Bukit Duabelas diperuntukkan bagi Orang Rimba dengan status kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas," papar Alumnus Universitas Jambi ini.

Tak hanya pengakuan kawasan hidup, perjuangan juga dilebarkan untuk adanya pengakuan hak dasar berkehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik. "Ini yang kita advokasikan ke pemerintah dan berbagai stakeholder, tidak hanya Orang Rimba, tetapi juga Talang Mamak, Bathin IX dan suku-suku marginal lainnya," lanjut dia.

Tidak hanya berkegiatan bersama komunitas, seiring dengan perkembangan waktu Rudi Syaf juga aktif mendorong pengakuan hak kelola rakyat dengan skema Hutan Adat, Hutan Desa, dan Hutan kemasyarakatan. "Kita melihat peluang untuk pengakuan hak kelola rakyat seiring dengan mulai terbukanya pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola hutan, suatu kemajuan yang cukup baik setelah sebelumnya pengelolaan hutan hanya diberikan kepada korporasi," sebut pria yang juga aktif sebagai pengurus (board) PKBI Jambi, Yayasan Alam Sumatera Riau, dan Cipta Lestari Jakarta ini.

Untuk menjamin keberadaan kawasan kelola rakyat ini perlu didorong kebijakan di level provinsi dan kabupaten untuk mengakomodasikan dalam penataan ruang wilayah. "Sehubungan dengan ini kita memberikan input pada pemerintah untuk memberikan ruang dalam revisi RTRW baikdi tingkat Provinsi maupun kabupaten," papar Rudi.

Apalagi sekarang untuk menyusun RTRW harus mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Untuk tingkat Provinsi Jambi, Rudi duduk sebagai salah satu anggota tim KLHS dan aktif mendorong pelaksanaan KLHS pada RTRW provinsi Jambi dansat ini juga mendorong KLHS menjadi acuan untuk menyusun RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Provinsi Jambi.

Atas dedikasinya dalam bidang sosial ini Rudi sejak 2004 sudah masuk menjadi anggota Fellow Ashoka, yaitu lembaga internasional yang memilih anggotanya berdasarkan kriteria sebagai entrepreneur sosial. Dengan jaringan Fellow Ashoka yang ada di seluruh dunia, Rudi aktif mengungkapkan keberadaan suku asli minoritas dan upaya-upaya yang dilakukan untuk pengakuan hak kelola rakyat.

Hak kelola rakyat sangat penting untuk diperjuangkan, apalagi jika dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, dampak perubahan iklim yang paling dahulu merasakannya adalah masyarakat miskin. Hal ini karena rendahnya kemampuan mereka untuk adaptasi. Sebagai contoh ketika musim tanam mengalami pergeseran, petani mulai kekurangan pangan, hingga kemudian mengkonsumsi persediaan bibit.

"Kita harus melakukan peningkatan perekonomian masyarakat sekaligus memberikanpemahaman dan peningkatan kapasitas mereka untuk adaptasi dan migitasi perubahan iklim," lanjut pria yang semasa kuliahnya sempat menjalani ikatan dinas namun kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan menjadi abdi negara dan memilih menjadi agen perubahan sosial.

Hal-hal seperti ini juga menjadi fokus Rudi, dan disuarakannya di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Dalam kegiatan UNFCC di Bali 2007 hingga Kopenhagen serta Durban serta sejumlah pertemuan internasional lainnya.

"Pada prinsipnya yang kita komunikasikan adalah kondisi dan sumbangan riil dari masyarakat lokal untuk iklim global, hutan terjaga masyarakat sejahtera," ucap Rudi.

Pada dasarnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan, apalagi setelah diberikan pengakuan hak kelola, sudah terbukti mampu mengelola hutannya secara lestari dengan nilai-nilai lokal yang mereka miliki. Kenyataan ini merupakan nilai lebih yang harus diakui oleh pihak lain yang turut menikmati udara dan air bersih yang dihasilkan dari hutan yang dijaga masyarakat.

Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga hutannya ini, dilakukan dengan berbagai konsep sesuai dengan daerahnya. Masyarakat hulu Jambi mengenal istilah hutan hulu air, rimbo larangan, lubuk larangan, rimbo pusako, kemudian ada parak di Sumatera Barat dan sejumlah istilah lain di lain daerah.

"Kearifan ini belum terlihat secara nyata diakomodasi dalam skema-skema yang terus diperbincangkan di COP 13 Bali hingga Cop 17 Durban," kata pria yang menghadiri sejumlah COP ini.

Untuk itu, lanjut pria yang baru saja menjadi narasumber untuk kegiatan lokakarya pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema hutan Desa di Berau Kalimantan Timur ini, pengakuan hak kelola rakyat ini harus terus ditingkatkan. Sehingga cita-cita untuk mensejahterakan masyarakat melalui hutan dapat tercapai.

(cha/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads