Sejak kecil Ade Munadi telah terbiasa dengan arus sungai Green Canyon. Sejak Green Canyon belum dibuka sebagai tempat wisata hingga namanya banyak dikenal orang hingga saat ini, Ade tak juga berubah. Dia adalah 'si penunggu' Green Canyon.
Sungai berwarna hijau toska itu adalah tempat Ade kecil belajar berenang. Hingga Ade duduk di bangku SD, dia melihat ada beberapa turis yang datang ke area Green Canyon. Dia pun menawarkan jasa perahu kepada para turis itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari para bule itu, Ade bisa menghasilkan uang sendiri. Sehingga untuk uang saku dan uang keperluan sekolah, dia tidak banyak bergantung pada orang tua. Itu makanya dia memilih tidak melanjutkan sekolah dan menjadi 'penunggu' Green Canyon.
"Sudah keenakan mencari uang, nggak bergantung sama orang tua, makanya saya keasyikan. Kalau saja waktu itu saya melanjutkan sekolah, mungkin hidup saya jauh lebih baik. Tapi mau bagaimana lagi, saya kan sudah memilih jalan ini. Yang penting jadi orang baik dan menjalaninya dengan baik," papar ayah satu putra ini.
Menurut dia, nama Green Canyon dipopulerkan seorang dari Prancis yang datang ke sungai tersebut pada 1993. Orang tersebut berperahu dan berenang-renang di alur sungai itu. Sejak itulah banyak berdatangan turis-turis asing ke Green Canyon.
Dituturkan Ade, dia menjadi anak buah kapal (ABK) dari perahu-perahu yang diorganisir pemda di Green Canyon sejak sekitar 1998. Dulunya perahu-perahu itu tidak ada yang mengorganisir sehingga warga beberapa kali ada yang bertengkar. Pemda pun turun tangan. Saat ini satu perahu yang bisa mengangkut 5 orang disewakan dengan harga Rp 75 ribu.
Tak hanya menemani penumpang berperahu motor, Ade pun siap memandu pengunjung yang hendak berenang di kolam alam. Bersama Ade, pengunjung bisa berenang melawan arus dengan menggunakan rompi pelampung sepanjang beberapa ratus meter. Untuk layanan ini, Ade dan teman-teman yang memiliki pekerjaan serupa bisa mengantongi Rp 100 ribu dalam sehari.
"Kalau ramai, bisa dapat Rp 100 ribu. Tapi kalau sedang sepi bisa nggak dapat apa-apa sama sekali. Malah kalau sepi, pengeluaran lebih banyak dari pendapatan. Pendapatan nol, tapi ada biaya untuk menunggu penumpang," terang Ade.
Ada suka duka Ade selama menjadi 'penunggu' Green Canyon. Sukanya, dia bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang. Malahan dia berteman juga dengan orang-orang asing.
"Dukanya ya paling kalau sepi. Hanya saja buat saya lebih banyak sukanya," ucap dia.
Dituturkannya, teman-teman dia banyak yang meninggalkan Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Ciamis, untuk mengadu nasib di Ibukota Jakarta. Terkadang Ade tergiur juga untuk menjadi bagian dari Ibukota. Namun dia tidak yakin bisa mendapatkan apa yang telah dia dapatkan di desa kecil itu.
"Iya yang saya bisa, ya sudah saya nikmati saja. Bisa menghidupi anak-istri saja sudah cukup. Bisa hidup nggak kekurangan saja sudah bersyukur. Yang penting menikmati. Intinya itu menikmati apa yang kita lakukan, pasti senang," sambung Ade.
Sampai kapan akan bekerja di sini? "Selagi saya masih bisa di sini dan masih kuat di sini, saya akan terus jalani. Lagi pula selain jadi ABK, saya juga masih bisa mengurus kebun di dekat rumah juga," ucapnya.
Dia berharap Green Canyon semakin menarik pengunjung, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Karena itu, bersama teman-temannya dia pun mengenalkan tempat wisata itu melalui greencanyoninfo.blogspot.com
"Di situ ada informasi tentang hotel dan sebagainya. Pokoknya kami ingin menyampaikan kalau di Green Canyon itu banyak fasilitas pendukung, sehingga nggak akan kesulitan kalau datang ke sini. Mau siapa lagi yang mau mempromosikan, kalau bukan kami, anak-anak sini?" tutur pria 33 tahun ini.
Menjadi 'penunggu' Green Canyon, bagi Ade adalah wujud pengabdian. Pengabdian pada keluarga dan pengabdian pada tanah kelahirannya.
(vit/nwk)