"Penanganan kasus Misran oleh LKBH KORPRI KUKAR merupakan kepedulian dan empati atas ketidak-adilan hukum yang dirasakan perawat yang bertugas di daerah terpencil," kata Muhlis saat berbincang dengan detikcom, Kamis (29/6/2011).
Di sebuah gedung yang dinaungi pepohonan rimbun, sepelemparan batu dari pusat kota Kutai Kertanegara, Muhlis bersama rekan-rekannya menyusun materi gugatan atas UU Kesehatan. Di sebuah ruangan ukuran 4x5 meter, Muhlis selalu memeriksa berkas perkara dengan cermat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran Grogot, Kalimantan Timur 41 tahun itulah yang menyusun strategi berperang di MK. Lewat pengacara Ardiansyah, kasus Misran menjadi sebuah konstruksi hukum yang bisa meyakinkan hakim konstitusi. Konstruksi gugatan inilah yang akhirnya membuat telinga Menteri Kesehatan dan praktisi kesehatan memerah.
"Sejak 2009 sampai 2010 sudah menangani 15 perkara pidana selain perkara perdata. Perkara pidana sebagian besar didominasi kasus korupsi," ungkap Muhlis.
Kemenangan ini semakin cemerlang karena Tim LKBH Korpri tidak melibatkan ahli hukum terkemuka di Indonesia. Lewat sumber daya manusia (SDM) asli Kaltim, mereka bahu membahu meruntuhkan logika hukum UU Kesehatan yang dibuat parleman.
"Sengaja semua asli Kaltim, supaya kami yang di daerah bisa membuktikan, bahwa daerah pun bisa berkiprah di kancah nasional," tambah Ardiansyah.
Kasus mantri desa tersebut bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri, memvonis Misran dengan pidana 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara pada 19 November 2009. Misran dianggap melanggar UU 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan.
Misran dinyatakan tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Merasa dizalimi, Misran akhirnya mengguat UU tersebut ke MK. Oleh MK, permohonan Misran dikabulkan pada Senin lalu.
(asp/vit)