Sejak akhir 2010 lalu, Dita dipercaya sebagai staf ahli sekaligus juga juru bicara Menakertras Muhaimin Iskandar. Merapat ke lingkaran pembuat kebijakan membuat kegiatannya superpadat.
"Saya sudah turun 3 kg ini, Mbak. 3 Bulan turun 3 kg," cetus Dita sambil tertawa saat berbincang dengan detikcom, Rabu (16/2/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya biasanya pulang pukul 20.00 WIB atau 21.00 WIB. Kadang kalau Sabtu atau Minggu ke luar kota karena ada pekerjaan. Ini semua bagian dari tantangan," imbuh ibu dari Tito Karno ini.
Kendati sibuk dengan aktivitasnya, namun Dita tidak mau meninggalkan ritual pagi bersama putra kesayangannya. Setiap pagi, Dita hampir tidak pernah absen memandikan, menyuapi dan mengantar putranya ke sekolah.
"Kalau harus datang pagi-pagi sekali ke kantor karena ada meeting, misalnya, saya kalau bisa tidak melewatkan 'ritual' itu," lanjut Dita.
Perempuan kelahiran Medan 38 tahun yang lalu itu menuturkan awal mula dirinya bergabung dalam lingkaran birokrasi. Beberapa bulan lalu, dia ditawari oleh Muhaimin Iskandar untuk bergabung di Kemenakertrans. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Dita setuju untuk bergabung.
"Selama ini saya selalu di luar sistem, selalu oposisi. Tapi saya juga berpikir bagaimana saya bisa berkontribusi pemikiran yang lebih efektif. Cak Imin sendiri orangnya terbuka pada ide baru dan ingin melakukan terobosan yang signifikan atas suatu masalah, jadi saya bersedia," tuturnya.
Dita mengaku tidak memiliki kedekatan dengan Muhaimin sebelumnya. Hanya saja mereka sama-sama pengagum Gus Dur. Atas dasar itu dan karakter Muhaimin, Dita menerima tantangan yang disodorkan kepadanya.
"Ada yang mendukung saya, tapi ada juga yang mengeluhkan keputusan saya. Yang mendukung mengatakan, sayang kalau pengalaman yang saya punya tidak dimanfaatkan. Sedangkan yang tidak mendukung menyayangkan saya bergabung dengan pemerintah yang dinilai banyak melakukan kesalahan," beber jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Banyak orang yang khawatir Dita akan terseret dalam sistem sehingga mengubah sosoknya bukan lagi Dita yang dulu, bukan lagi Dita yang pro buruh. Namun Dita menegaskan, tidak ada yang berubah dari dirinya. 18 Tahun menjadi aktivis buruh bukanlah waktu yang singkat. Selama itu karakternya ditempa dengan berbagai peristiwa yang dialaminya.
Dita pernah ditangkap saat sedang memimpin aksi di Tandes, Surabaya, pada Juli 1996. Dita dan teman-temannya kemudian dijatuhi hukuman delapan tahun penjara lantaran Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), organisasi tempat Dita bernaung, dianggap sebagai organisasi terlarang.
"18-20 Tahun itu bukan waktu sebentar untuk membentuk karakter saya. Sejak 20 tahun saya jadi aktivis, dan itu bukan waktu singkat," kisahnya.
Apa yang dialami Dita selama menjadi aktivis seolah menjadi pintu gerbang yang luar biasa kokoh sehingga pengaruh baru tidak bisa begitu saja masuk. Dita percaya diri kalau dirinya tidak akan mengkhianati apa yang telah dijalaninya.
"Kalau ada yang skeptis ya lihat saja. Saya percaya diri cukup punya pengalaman, dan akan saya buktikan," tambah perempuan yang pernah menjadi Ketum Partai Persatuan Oposisi Rakyat (popor) ini.
Dita bersyukur, dengan kegiatannya sekarang, dia masih punya banyak teman dan bahkan jaringannya bertambah. Terkadang teman-teman saat dia masih aktivis dulu datang padanya dan meminta bantuan. Misalnya saja, ada temannya dari serikat buruh yang ingin mengadukan kasus, maka Dita bisa ikut membantu memfasilitasi.
"Saya jarang ketemuan dengan teman-teman (aktivis). Paling komunikasi SMS, Facebook, atau e-mail. Kadang mereka ke sini, karena mau mengadukan kasus jadi kadang sekalian saja bertukar kabar," tutur perempuan yang hobi bermain piano ini.
(vit/nrl)