Pelayanan "Berantakan" RS Fatmawati

Suara Pembaca

Pelayanan "Berantakan" RS Fatmawati

- detikNews
Kamis, 30 Sep 2010 18:36 WIB
Keluhan
Tanggal 28 September 2010 sekitar jam 14.00 WIB saya berobat ke UGD RS Fatmawati dengan keadaan darurat. Mata saya terkena seprotan lem Alteco yang bocor. Setibanya di UGD bukannya langsung ditindak medis malah diminta untuk mendaftar dulu. Ini sangat aneh dan menjengkelkan. Bagaimana bisa pasien yang membutuhkan tindakan medis dengan segera karena yang sakit ada organ vital (mata).

Setelah suami saya membentak dokter dan sejumlah mahasiswa kedokteran yang koas baru mereka bertindak. Tapi, tidak dengan menangani. Justru menyuruh duduk untuk menunggu sampai 15 menit. Kemudian bertanya apa kasus yang dihadapi. Kemudian dokter menyerahkan tindakan kepada mahasiswa kedokteran yang koas untuk melakukan tindakkan medis sesuai instruksi dokter tersebut.

Saya memang bukan satu-satunya pasien yang harus segera ditindak medis. Bahkan, terlalu banyak malah pasien, berjubel, tapi yang membuat miris adalah, bagaimana bisa manajemen rumah sakit menerapkan sistem yang kacau balau demikian. Apalagi dengan rumah sakit ber-title "Rumah Sakit Umum Pusat". Kenapa saya katakan kacau? Karena:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Saya lihat di ruang pemeriksaan bagian depan hanya terdapat satu orang dokter dibantu dua orang mahasiswa koas dengan begitu banyak pasien yang memerlukan tindakan darurat. Bahkan, keluarga pasien harus berdesakan, berebut, untuk mendapatkan pelayanan dokter dengan segera. Sampai-sampai ada keluarga pasien yang harus bertanya kepada dokter langsung apakah tempat tidur pasien yang sedang kosong (sedang dilipat) boleh digunakan karena pasien tersebut sudah tak kuat berdiri.

2. Jelas-jelas pasien dalam keadaan darurat kenapa harus mendaftar dulu. Seharusnya ditindak dulu baru dengan bersamaan dilakukan pendaftaran oleh pihak keluarga. Sebab pengalaman suami saya yang pernah masuk UGD RS lain sekelas tidak demikian.

Begitu suami saya turun dari mobil satpam dan suster langsung datang membimbing pasien. Dari pihak UGD pun langsung bertindak cepat. Dokter datang hanya dalam waktu 2 menit, pemeriksaan, langung pemasang infus, ambil darah, proses lab, dalam waktu yang tidak sampai 1 jam semua selesai untuk diputuskan dilakukan opname atau tidak. Baru kemudian keluarga pasien melakukan pendaftaran. Bukan ujuk-ujuk begitu datang mendaftar dulu. Jangan-jangan keburu mati pasien dalam proses menunggu pendaftaran.

3. Sebagai rumah sakit umum pusat seharusnya meletakan dokter jangan cuma 1 orang. Coba dilihat kapasitas pasien. Jangan 1:100.

4. Menempatkan mahasiswa/ dokter koas boleh-boleh saja. Tapi, dikontrollah kemampuangnya. Jangan dibiarkan menangani pasien begitu saja yang ada malah pasien tambah sakit karena si dokter koas tidak tepat melakukan tindakan medis dengan baik.

5. Saya melihat banyak pasien yang harus diinpus tidur dilorong ruang UDG. Bahkan, ada anak kecil yang baru berusia 5 tahun harus tidur di bangku ruang tunggu UGD menunggu ruang opname. Bagaimana bisa. Rumah sakit sebesar itu bisa membiarkan pasien terlunta-lunta. Kalau memang tidak ada tempat dirujuk ke rumah sakit lain. Jangan dibiarkan berjam-jam menunggu. Bahkan, ada pasien yang sudah menunggu 2 jam lebih untuk diambil darah tapi belum juga ditindak.

6. Ruang UDG yang kotor, ada sampah berserakan, bekas roti, air yang tumpah dilantai, bungkus infus yang jatuh tapi dibiarkan berserakan di lantai.

7. Satpam jangan diam bediri-berdiri saja. Multifungsilah. Kalau tidak ada yang perlu diamankan jangan mematung saja. Coba cek di kursi-kursi ruang tunggu. Ada keluarga pasien yang membawa tikar, mengulung, mengibas-ngibaskan di dalam ruangan. Padahal banyak debu yang bertebangan di samping kanan kiri ada anak-anak yang sakit dan orang tua yang terbatuk-batuk.

8. Kasir tolong memanggil nama pasien untuk pembayaran sesuai dengan antriannya. Walaupun tidak ada nomor antrian tapi sesuaikan dengan berkas tumpukan antrian. Jangan mendahulukan seenak hati anda. Sebab, di hari yang sama saya berobat kami mununggu lebih dari 30 menit untuk melakukan pembayaran. Padahal, hanya sekitar 3 orang yang duduk menunggu proses pembayaran.

Setelah suami saya bertanya dengan sedikit marah baru kasir sibuk mencari berkas kami. Itu pun tidak mencari dulu tapi berteriak bertanya kepada rekannya yang berada jauh 3 meter darinya. Padahal, berkas kwitansi saya berada tepat di depan mukanya (mungkin kalau berkas itu ular, sudah keburu dicaplok si petugas tersebut) malah suami saya yang menyodorkan berkas pembayaran tersebut.

9. Menempatkan orang-orang yang benar-benar bisa untuk posisi yang vital. Seperti pengambilan darah di labor, sebab terdapat seorang petugas baru pengambil sample darah jangan menusuk nadi orang seenaknya. Bahkan, sampai tusukan keenam tidak berhasil juga, yang ada malah tangan pasien yang bengkak.

Itu tidak hanya dialami oleh satu orang pasien saja tapi ada beberapa orang. Seorang Ibu yang berpenyakit diabetes baru beberapa minggu hilang bengkak di tangannya karena tindakan si petugas tersebut. Apa tidak salah. Bukannya orang yang menderita diabetes sulit untuk sehat ketika terdapat luka.

Bahkan, seorang anak usia 4 tahun harus menjerit-jerit berjam-jam karena tindak petugas yang tidak profesional tersebut. Seorang anak balita harus menerima 4 tusukan jarus suntik dan dengan santai sang petugas beralasan pasienlah yang teganglah, yang tidak rilekslah, nadinya bermasalahlah, kemudian menyarankan untuk mengompres dengan air panas. Ini bukan soal kompresan. Tapi, soal profesional anda sebagai petugas medis.

10. Esok harinya tanggal 29 September saya ke poliklinik sebagai tindak lanjut dari kunjungan IGD saya. Masih saja saya dibuat kecewa, kenapa? Karena nomor antrian saya harus lewat begitu saja dengan antrian pasien lain yang jelas-jelas 5 nomor di atas saya, dikarenakan sang pasien tersebut memiliki keluarga yang bekerja di rumah sakit ini. Padahal, pasien tersebut bukan pasien darurat yang harus didahulukan.

Bukan cuma saya yang diperlakukan demikian. Tapi, ada beberapa pasien lain yang akhirnya hanya bisa ngomel sendiri. Itu tidak hanya satu orang pegawai rumah sakit yang nepotisme tapi ada 5 orang pegawai (yang saya hitung) yang meminta didahulukan keluarganya (orang tua, sepupu, mertua, dll) dan pegawai bahu-bahu membahu untuk mendahulukan mulai dari proses administrasi sampai perawat yang memanggil.

Hebatnya lagi setelah saya menunggu dua jam untuk diperiksa dokter datang dua orang yang salah satunya pasien dengan anaknya yang pegawai rumah sakit (jelas baju yang dipakai adalah seragam RS yang berwarna coklat bergaris) kakak si pegawai duduk di sebelah kiri saya sang pegawai memegang kertas pendaftaran dari administrasi (bagian bawah) untuk dimasukkan ke bagian administrasi klinik mata dan melakukan pembayaran. Ternyata pasien dari pegawai tersebut langsung dilayani.

Masuk ke dalam ruang periksa mata (seperti lab). Ketika seorang Ibu di sebelah kanan saya protes dengan kata-kata sindiri, "enak ya punya anak kerja di sini, bisa didahulukan". Dengan santai sang pegawai menjawab bahwa ia sudah mendaftar dari pagi. Padahal, dengan jelas baru 5 menit lalu ia memegang kertas pendaftaran di depan kami.

Kami yang tidak punya koneksi ini sudah antri menunggu 2 jam lamanya dilangkahi oleh orang yang punya koneksi. Tidak cukup sampai di sini saja. Ketika saya dan tiga orang Ibu berada dalam ruang periksa dokter si pegawai tadi masuk begitu saja dan mendesak dokter untuk segera melihat keluarganya yang jadi pasien untuk tindakan berikutnya. Padahal, dokter sudah mengatakan untuk ia menunggu karena hasil tindakan belum sesuai dengan waktunya (itu ucapan dokter yang saya dengar). Bahkan, dokter pun marah dan bergumam, "tidak tahu aturan antrian." Dengan kesal dokter tersebut meminta dokter koas melihat/ menanganinya.

Ini adalah beberapa masalah yang saya alami dan lihat dari pelayanan RS Fatmawati Jakarta Selatan. Ada pun hal ini saya tulis bukan untuk menurunkan kredibiltas RS terbebut, membuat fitnah, atau apa pun. Saya juga tidak ingin mengulang kisah Prita.

Saya ingin pihak manajemen RS Fatmawati memperbaiki sistem dan pelayanan sebab rumah sakit adalah pelayanan publik yang vital. Saya pun tidak melihat adanya media kritik dan saran yang disediakan (setahu saya). Mungkin saja pasien lain juga pernah mengalami hal tidak mengenakkan seperti yang saya alami.

Atas perhatiannya pihak RS Fatmawati saya ucapkan terima kasih.

Devie Savitri
Jl Taman Brawijaya 3 Jakarta Selatan
dh3_vi3@yahoo.com
08126756349





Keluhan diatas belum ditanggapi oleh pihak terkait

(msh/msh)
Kirimkan keluhan atau tanggapan Anda yang berkaitan dengan pelayanan publik. Redaksi detikcom mengutamakan surat yang ditulis dengan baik dan disertai dengan identitas yang jelas. Klik disini untuk kirimkan keluhan atau tanggapan anda.



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads