SPOTLIGHT

Yang Muda yang Bercerai

Cinta yang diikrarkan di pelaminan kian mudah gugur di pengadilan agama. Perceraian tertinggi justru dialami oleh perkawinan muda di bawah satu lustrum.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 4 November 2025

Rika—bukan nama sebenarnya—masih ingat betul hari ketika suaminya melamar. Ia merasa segalanya sudah tepat. Usia cukup, pekerjaan mapan, dan restu orang tua sudah di tangan. Ia menikah pada Oktober 2020, setahun setelah lulus kuliah.

“Saya pikir semua baik, pekerjaannya juga baik, akhlaknya baik,” kata perempuan 28 tahun asal Solo itu kepada detikX.

Empat tahun kemudian, semuanya runtuh. Maret 2025, pernikahan yang ia bayangkan akan panjang berakhir di meja sidang pengadilan agama.

“Ada ketidakjujuran dan orang ketiga,” ujarnya via sambungan telepon.

Awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan mulus. Suami Rika sudah bekerja sebagai pegawai tetap di salah satu bank BUMN, sementara ia diminta tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Setelah delapan bulan menikah, Rika mengandung anak pertama.

“Awalnya dia perhatian banget,” kenangnya. “Tapi setelah punya anak, rasanya berubah.”

Perubahan itu makin terasa ketika orang tua Rika berangkat haji pada 2024. Ia pulang ke Solo untuk menemani adiknya, sementara suaminya tetap di Jakarta. Saat itulah, retakan mulai tampak.

“Saya nggak curiga apa-apa,” ujarnya. “Sampai akhirnya ada teman yang kasih tahu kalau dia sering nongkrong bareng teman kantornya sampai malam.”

Kecurigaan itu terkonfirmasi beberapa bulan kemudian. Suaminya mengaku berselingkuh dengan rekan kerja. Namun pengakuan itu bukan satu-satunya pukulan. Dari situ, Rika juga mengetahui suaminya menumpuk utang hingga ratusan juta rupiah. Uang simpanan Rika sebelum menikah, juga pinjaman uang beli hunian dari orang tua Rika, pun raib di tangan suaminya.

“Namaku juga dipakai buat pinjaman di bank tempat dia bekerja,” kata Rika. Uang yang awalnya disebut untuk ‘main saham’ rupanya menguap tanpa hasil.

“Saya baru tahu belakangan, ternyata sebagian dipakai buat hal yang lebih parah,” imbuhnya.

Beberapa rekan menyebut ada dugaan uang itu juga habis untuk judi online, meski suaminya tak pernah mengakui secara langsung.

Ketika kedua keluarga bertemu untuk mediasi, Rika sempat ingin memberi kesempatan. “Saya minta dia resign dan pindah ke Solo supaya jauh dari kantor,” katanya. Namun harapan itu kandas.

“Waktu orang tua saya ke Jakarta, di rumah mertua saya malah ada selingkuhannya,” ujarnya. “Akhirnya dia menalak saya di depan orang tua saya,” lanjutnya.

Proses perceraian berjalan selama tujuh bulan, dengan 14 kali sidang. Semua biaya perkara ditanggung oleh keluarga mantan suami. Rika memenangkan hak asuh anak tunggal mereka, yang kini berusia tiga setengah tahun.

Namun beban mental jauh lebih berat dari proses hukum. “Saya sempat drop banget, sampai dirawat di UGD karena demam tinggi,” tuturnya. “Kehilangan kepercayaan diri, bahkan pernah merasa hidup ini sudah nggak ada artinya.”

Yang membuatnya tetap berdiri hanyalah satu hal: anaknya. “Kalau pengin anaknya happy, aku harus happy,” katanya. Kini ia sedang berjuang memulai hidup baru, mencari pekerjaan, dan membangun kembali rasa percaya pada diri sendiri.

“Kamu berhak bahagia,” pesan Rika kepada para perempuan yang senasib dengannya. “Jangan bertahan hanya karena takut dicap gagal. Kadang melepaskan adalah bentuk cinta terbesar, untuk diri sendiri dan anak.”

Kisah serupa juga dialami oleh Nadia—bukan nama sebenarnya. Ia menikah pada usia 24 tahun, dengan seseorang yang ia kenal sejak lama.

“Kami teman lama yang sempat dekat lagi setelah pandemi,” katanya. Nadya tak pernah melihat tanda bahaya selama masa pacaran.

“Nggak ada red flag. Kami jarang berantem, komunikasinya juga bagus.”

Namun, delapan bulan setelah menikah, semua runtuh. Ia menemukan suaminya masih berkomunikasi dengan mantan pacar, bukan sekadar basa-basi, tapi intens, bahkan sejak sebelum mereka menikah.

“Awalnya saya kira cuma urusan kerjaan, tapi ternyata mereka masih punya hubungan emosional,” ujarnya.

Nadya sempat mencoba memberi kesempatan. Ia berpikir mungkin suaminya hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan pernikahan. Namun kebohongan demi kebohongan membuatnya hilang kepercayaan.

“Dia sering nggak jujur soal hal kecil. Dari situ saya sadar, kalau terus dipaksakan, yang rusak bukan cuma hubungan, tapi diri saya sendiri,” tuturnya sedikit bergetar.

Delapan bulan setelah akad, Nadya mengajukan gugatan cerai. “Saya nggak mau menyia-nyiakan waktu seumur hidup dengan orang yang nggak bisa jujur,” katanya tegas.





Setelah perceraian itu, Nadya kembali ke rumah orang tuanya di Depok, Jawa Barat. Sebelum menikah, ia bekerja di perusahaan kreatif, tapi sempat berhenti karena diminta fokus jadi istri. “Pas bercerai, saya benar-benar mulai dari nol. Nggak punya pekerjaan, nggak punya penghasilan, dan harus menata hidup sendiri.”

Kini ia mulai bangkit lagi. Nadya ikut beberapa kursus daring untuk meningkatkan keterampilannya: desain, copywriting, dan manajemen media sosial.

“Saya belajar lagi, supaya bisa mandiri,” katanya.

Meski berat, ia tak menyesal dengan keputusannya, “Lebih baik menjanda daripada kehilangan diri sendiri,” katanya. “Saya nggak mau hidup dengan orang yang nggak saya percaya,” tandas Nadia.

Kisah Rika dan Nadia hanyalah dua dari ratusan ribu rumah tangga muda yang kandas dalam usia pernikahan singkat. Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama menunjukkan, dalam periode 2020-2024, perceraian paling banyak terjadi pada usia pernikahan di bawah lima tahun: mencapai 604.463 kasus.

Angka itu jauh melampaui kelompok usia pernikahan 5-10 tahun, yang mencatat 583.130 kasus, serta usia 11-15 tahun dengan 398.548 kasus. Setelah itu, jumlahnya menurun drastis seiring lamanya usia pernikahan.

Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenag Thobib Al Asyhar mengatakan tren perceraian pasangan muda sebagai salah satu fenomena yang mengkhawatirkan.

“Ada kecenderungan kenaikan angka perceraian dari keluarga dengan usia pernikahan kurang dari 5 tahun. Artinya, perceraian di usia muda rawan terhadap masalah, baik ekonomi (kemiskinan) maupun sosial, yang di dalamnya terkait potensi kerawanan terhadap perlindungan anak akibat perceraian,” jelas Thobib.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, mencoba merespons fenomena tersebut lewat berbagai program pembinaan. Salah satunya adalah Bimbingan Perkawinan (Bimwin), yang tak hanya ditujukan bagi calon pengantin, tapi juga bagi pasangan muda yang sudah menikah.

“Kami terus memperkuat ketahanan keluarga sejak sebelum menikah hingga di masa pernikahan,” kata Thobib.

Selain itu, Kemenag juga mengembangkan program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), yang menanamkan pemahaman soal relasi sehat dan kesiapan emosional sejak dini. Melalui penghulu, penyuluh agama, serta relawan Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), lembaga ini berupaya menekan angka perceraian yang terus meningkat setiap tahun.

Tekanan ekonomi menjadi salah satu faktor terbanyak disebut sebagai pemicu perceraian. Direktur Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, menilai kemampuan negara dalam menyediakan lapangan kerja berpengaruh besar terhadap ketahanan rumah tangga.

“Sangat berpengaruh,” ujarnya. “Tapi kita juga perlu bijaksana melihat bahwa setiap wilayah berangkat dari situasi yang berbeda. Pemerintah perlu memprioritaskan daerah-daerah yang sumber dayanya kurang untuk penyediaan lapangan kerja.”


Amalia menegaskan problem ekonomi kerap menjadi awal dari masalah sosial lain dalam rumah tangga, dari stres, kekerasan, hingga perceraian. Karena itu, kebijakan ekonomi dan sosial harus berjalan beriringan.

“Meskipun semua warga berhak hidup layak, kekuatan pemerintah tentu perlu bertahap. Prioritaskan dulu wilayah yang paling rentan, baru diratakan,” ujarnya.

Psikolog pernikahan Elizabeth T Santosa melihat tingginya angka perceraian pada perkawinan muda sebagai hasil dari perubahan sosial yang lebih luas, bukan sekadar kegagalan rumah tangga. Ia menyebut generasi muda saat ini tumbuh dalam iklim nilai yang jauh lebih individualistis dan terbuka dibandingkan generasi sebelumnya.

“Kalau dulu norma sosialnya apa? Kalau cerai itu malu. Sekarang nggak. Perspektif sosialnya sudah bergeser. Tidak ada lagi sanksi sosial yang berat bagi orang yang bercerai,” kata Elizabeth.

Fenomena itu, menurutnya, membuat keputusan bercerai kini lebih mudah diambil. Bukan karena generasi muda lebih lemah, tapi karena mereka tahu apa yang mereka inginkan dan tidak mau bertahan dalam hubungan yang dianggap tidak sehat.

“Mereka sangat independen. They know what they want,” ujarnya. “Kalau pernikahan tidak membuat bahagia, kenapa harus dipertahankan?”

Elizabeth menambahkan perubahan ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran soal self-love dan kesehatan mental, terutama di media sosial. Cerita tentang keberanian keluar dari pernikahan yang toksik kini lebih sering muncul ketimbang kampanye untuk mempertahankan rumah tangga.

“Kalaupun ada program konseling gratis, saya belum melihat yang gencar dipromosikan. Justru yang viral malah cerita cerai,” ujarnya.

Bagi Elizabeth, fenomena perceraian pada usia muda juga erat dengan tekanan ekonomi. “Tekanan hidup makin berat. Banyak orang melihat perceraian sebagai jalan keluar untuk mengurangi beban,” katanya.

Ia mencontohkan, sebagian istri memutuskan berpisah karena tak lagi dinafkahi, sementara sebagian suami merasa terbebani dengan tuntutan ekonomi. “Ketika hidup sudah berat, manusia cenderung akan mengeliminasi beban-beban yang tidak dibutuhkan,” katanya.

Namun Elizabeth mengingatkan bahwa keputusan bercerai seharusnya tidak diambil secara impulsif. “Sebelum mengambil keputusan, konsultasikan dulu. Jangan ke pengacara perceraian, tapi ke psikolog atau pemuka agama. Kalau akhirnya tetap bercerai setelah konseling, artinya keputusanmu matang,” ujarnya.

Menurutnya, langkah itu penting agar perceraian tidak menjadi tindakan spontan akibat emosi, tapi keputusan sadar yang disertai rencana hidup setelahnya, termasuk soal anak dan co-parenting.


Reporter: Ani Mardatila
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE