Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 05 November 2025Angka perceraian pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) meningkat di sebagian wilayah Indonesia. Salah satunya di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Mayoritas cerai gugat diajukan PPPK dan pada usia produktif.
“Yang mengajukan perceraian itu memang mayoritas perempuan,” ujar Retno Arisna, Kepala Bidang Kesejahteraan, Pembinaan, dan Penilaian Kinerja Aparatur Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Kabupaten Blitar, kepada detikX.
Retno menuturkan alasan yang paling banyak muncul adalah ketidakharmonisan rumah tangga akibat persoalan ekonomi dan perpisahan tempat tinggal. Namun, ia menegaskan, sejauh pengamatannya, kasus kekerasan (fisik) dalam rumah tangga belum ditemukan dalam laporan-laporan yang masuk ke instansinya.
"Mayoritas itu karena ekonomi,” katanya.
Proses pengajuan perceraian bagi ASN tidak berlangsung mudah dan singkat. Setiap pegawai, kata Retno, harus melalui tahap pembinaan berjenjang. Pembinaan mulai dari atasan langsung di unit kerja, kemudian kepala perangkat daerah, sebelum berkasnya sampai ke bupati/wali kota.
Sementara ini nggak ada. Kebetulan di BKPSDM juga tidak ada ASN yang berlatar pendidikan psikolog.”
“Kami nasihati, kami undang terpisah dulu, lalu kami pertemukan dan mediasi. Kami maunya sih tidak berpisah, tapi kan mereka yang menjalani,” ujar Retno.
Pembinaan itu, menurutnya, berfokus pada upaya menjaga keutuhan rumah tangga. ASN diingatkan tentang tanggung jawab terhadap anak. Namun, ia mengakui, BKPSDM tidak memiliki tenaga psikolog dalam proses tersebut.
“Sementara ini nggak ada. Kebetulan di BKPSDM juga tidak ada ASN yang berlatar pendidikan psikolog,” ujarnya.
Dalam praktiknya, keputusan akhir tetap berada di tangan pemimpin pemerintah daerah. Jika tim menilai konflik rumah tangga masih bisa diperbaiki, misalnya karena pasangan masih muda atau permasalahan belum terlalu berat, BKPSDM dapat merekomendasikan agar permohonan ditolak. Namun, jika pasangan sudah lama berpisah, tidak saling menafkahi, atau ada unsur pidana, pengajuan perceraian biasanya disetujui.
“Kalau memang masih bisa diperbaiki, kami mengajukan ke Bupati itu untuk ditolak saja dulu,” kata Retno.
Retno mengakui peningkatan jumlah pengajuan perceraian setiap tahun menjadi keprihatinan tersendiri. Hingga 2025, tercatat 42 ASN telah mengajukan perceraian, dengan rentang usia mayoritas 30 hingga 40 tahun.
“Setiap bertambah tahun kok meningkat, itu juga sedih,” ucapnya.
Ia menegaskan instansi pemerintah telah berupaya menekan angka perceraian melalui pembinaan dan koordinasi dengan dinas pendidikan serta kesehatan, dua sektor yang paling banyak menyumbang kasus.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar, mengatakan perceraian di kalangan ASN kebanyakan disebabkan oleh tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah ketidakhadiran dukungan finansial dari suami, peran gender yang tidak seimbang, dan komunikasi yang buruk dalam rumah tangga.
Terkait hal tersebut, Kemenag mengklaim terus berupaya memperkuat ketahanan keluarga dengan sejumlah program Bimbingan Perkawinan (Bimwin). Menurut Thobib, program-program itu diselenggarakan sejak sebelum dan pada masa menikah. Bahkan ada yang sejak masih usia sekolah lewat program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).
"Kami mengoptimalkan peran para penghulu, penyuluh agama, dan relawan dan aktivis BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) untuk terus berperan aktif pencegahan perceraian di Indonesia," kata Thobib kepada detikX.
Thobib mengatakan, secara umum, ada kecenderungan kenaikan angka perceraian di keluarga dengan usia pernikahan kurang dari lima tahun. Pernikahan usia muda rawan diterpa masalah ekonomi (kemiskinan) dan masalah sosial lainnya.
Fenomena meningkatnya jumlah ASN perempuan yang mengajukan cerai setelah diterima sebagai pegawai PPPK memunculkan banyak tafsir di ruang publik. Tak sedikit yang menuding perempuan menjadi lebih berani berpisah setelah punya penghasilan sendiri. Namun, bagi Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, Indiah Wahyu Andari, anggapan semacam itu terlalu dangkal.
“Kalau referensinya kasus-kasus yang di Rifka, rata-rata memang karena perempuannya menjadi korban kekerasan,” ucap Indiah kepada detikX.
Ia menekankan keputusan berpisah hampir selalu menjadi jalan terakhir setelah berbagai upaya penyelesaian gagal. Menurutnya, ketika seorang perempuan menjadi korban kekerasan, yang pertama muncul dalam pikirannya adalah bagaimana menghentikan kekerasan itu.
“Perempuan akan berupaya berbagai cara, berdiskusi dengan pasangan, melibatkan keluarga, bahkan aparat desa. Tapi, kalau kekerasan itu tidak berubah, pilihan paling masuk akal adalah meninggalkan pelaku,” katanya.
Baca Juga : Yang Muda yang Bercerai
Keputusan pergi tidak terjadi tiba-tiba. Dibutuhkan waktu panjang, keberanian, dan terutama daya, sumber kekuatan yang memungkinkan seseorang keluar dari lingkar kekerasan. Dalam banyak kasus, kata Indiah, sumber daya ekonomi menjadi penentu.
“Jadi, ketika dia diterima kerja, punya penghasilan, dia mendapatkan power untuk meninggalkan siklus kekerasan yang dialami,” ujarnya.
Namun Indiah mengingatkan agar publik tidak keliru memahami fenomena ini. “Kalau kita menyoroti seolah-olah, begitu perempuan punya pekerjaan, pasti cerai, itu berbahaya. Nanti muncul anggapan bahwa perempuan tidak boleh punya penghasilan lebih tinggi dari suaminya. Padahal yang perlu dipertanyakan adalah kenapa situasi rumah tangganya sampai membuat dia ingin pergi?”
Fenomena ini, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan dari budaya ketimpangan gender yang masih kuat. Dalam banyak masyarakat, laki-laki diharapkan menjadi kepala keluarga, dominan, dan pengambil keputusan.
“Tidak semua laki-laki siap memikul tanggung jawab sebesar itu, tapi lingkungan sosial mewajibkan. Terjadilah krisis maskulinitas yang sering berujung pada perilaku kekerasan,” jelas Indiah.
Kekerasan, dalam pandangannya, bukan hanya soal fisik. Ada kekerasan ekonomi, psikologis, hingga kontrol yang berlebihan.
“Kepala rumah tangga yang baik dianggap yang bisa mengatur. Akhirnya kontrol berubah jadi kekerasan,” katanya.
Ketika kekerasan terus berulang dan tak ada resolusi sehat, perempuan yang akhirnya punya sumber daya sendiri akan memilih pergi.
“Banyak juga yang terbunuh karena tidak sempat keluar dari siklus kekerasan,” ucapnya.
Indiah menilai akar masalahnya sering kali sudah muncul sejak awal pernikahan. Banyak pasangan menikah tanpa pemahaman yang cukup tentang kehidupan bersama. Padahal, untuk hidup bersama, diperlukan penyesuaian ekonomi, budaya, keluarga, dan bahkan urusan seksualitas. Kursus pranikah seharusnya jadi ruang mitigasi. Sayangnya, lembaga-lembaga pembekalan pernikahan, seperti KUA, belum memiliki rumusan baku yang memadai.
“Kami di Rifka pernah coba kerja sama dengan BP4 KUA, tapi belum sampai pada hasil besar. Bentuk dan isi pembekalan masih sangat konservatif, bahkan sering hanya formalitas. Ujung-ujungnya disuruh tepuk sakinah, selesai masalah,” ucapnya.
Bagi Indiah, pembekalan pernikahan seharusnya menjadi ruang belajar kesetaraan, bukan sekadar menjejali dengan nasihat moral. “Masalah pernikahan itu bukan cuma soal akhlak, tapi persoalan struktur yang timpang. Satu pihak diberi kuasa penuh tapi tidak siap, sementara pihak lain dibebani urusan rumah dan anak tanpa dukungan,” ujarnya.
Ia menyebut beban perempuan sering kali berlapis. Perempuan dibebani dua hal, kodrat biologis sekaligus beban sosial. Perempuan sehabis melahirkan misalnya. Ia diharapkan langsung mengasuh, memberi ASI, menerima tamu, memastikan semuanya berjalan lancar. Padahal dia sendiri kelelahan. Sedangkan suami sering kali tidak peka, merasa urusan selesai setelah bayi lahir. Situasi itu berimplikasi lebih jauh pada tumbuh kembang anak.
Bagi Indiah, akar masalahnya tidak ada kesadaran terkait tanggung jawab bersama. Urusan ekonomi, pengasuhan, dan pekerjaan seharusnya dibagi setara.
"Perempuan dididik (oleh kultur maskulin) berharap pada sosok laki-laki ideal yang kaya dan kuat, padahal realitasnya banyak hidup pas-pasan. Di sisi lain, laki-laki diajari untuk jangan terlihat lemah, jangan kalah dari perempuan. Maka setiap perubahan posisi ekonomi langsung dianggap ancaman,” ujarnya.
Kegagalan negara menjamin pemerataan kesejahteraan berpengaruh besar pada kerentanan rumah tangga. Daerah dengan sumber daya alam terbatas dan memiliki kondisi ekstrem, seperti wilayah pesisir yang sering terdampak banjir rob atau kawasan tandus, cenderung memiliki angka kekerasan dan perceraian lebih tinggi.
“Karena ekonomi itu persoalan paling riil, soal makan dan tidak makan. Di situ, materi jadi ukuran segalanya, termasuk ukuran pernikahan,” katanya.
Namun, di daerah yang lebih sejahtera, konflik rumah tangga justru sering muncul karena hal-hal nonekonomi, seperti perbedaan prinsip atau ketidakcocokan nilai.
“Kalau di tempat yang makmur, orang kenyang, jadi materi bukan prioritas. Ukurannya bisa jadi soal kesamaan nilai atau perlakuan,” ucapnya.
Karena itu, menurut Indiah, solusi tidak bisa satu resep untuk semua wilayah. Pemerintah perlu memahami konteks sosial dan memperluas akses lapangan kerja, terutama di daerah miskin sumber daya.
“Yang penting bukan menahan perempuan agar tetap tinggal, tapi menciptakan hubungan yang setara dan sehat," pungkasnya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban